Mantan Dirut PLN Sofyan Basir Dituntut 5 Tahun Penjara
Mantan Direktur Utama PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) Sofyan Basir dinilai membantu terjadinya tindak pidana suap dalam proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap Riau-1.
Oleh
I GUSTI AGUNG BAGUS ANGGA PUTRA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Jaksa penuntut umum dari Komisi Pemberantasan Korupsi menuntut mantan Direktur Utama PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) Sofyan Basir lima tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider tiga bulan kurungan. Jaksa menilai Sofyan terbukti membantu terjadinya tindak pidana suap dalam proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap Riau-1.
Sofyan Basir dinilai jaksa melanggar Pasal 12 Huruf a juncto Pasal 15 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 56 ke-2 KUHP.
Tuntutan tertuang dalam dokumen setebal 647 halaman yang materinya terbagi menjadi delapan bab. Tuntutan dibacakan Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi Ronald Worotikan, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Senin (7/10/2019).
Ronald mengatakan, hal yang memberatkan Sofyan adalah dia tidak mendukung program pemerintah dalam pemberantasan korupsi.
”Hal yang meringankan, terdakwa berlaku sopan, belum pernah dihukum, dan tidak ikut menikmati pidana suap yang telah dibantunya,” ujar Ronald.
Selama jaksa membacakan tuntutan, Sofyan terlihat gelisah. Sorot matanya menatap majelis hakim lekat-lekat, sesekali ia memperhatikan jaksa yang sedang membacakan tuntutan. Kakinya tak berhenti bergoyang saat mendengarkan tuntutan jaksa.
Atas tuntutan tersebut, Sofyan dan penasihat hukumnya, Soesilo Aribowo, menyatakan akan melakukan pembelaan dua pekan kemudian atau Senin (21/10/2019). Ketua Majelis Hakim Hariono mengabulkan permohonan itu.
”Kami akan mengajukan dua pembelaan, dari terdakwa sendiri dan dari penasihat hukum,” kata Soesilo.
Memfasilitasi pertemuan
Jaksa menilai Sofyan terbukti terlibat memfasilitasi pertemuan antara mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR Eni Maulani Saragih, mantan Sekretaris Jenderal Partai Golkar Idrus Marham, dan pengusaha Johannes Budisutrisno Kotjo dengan jajaran direksi PT PLN (Persero).
Pertemuan itu untuk mempercepat proses kesepakatan proyek Independent Power Producer PLTU Riau-1 antara PT Pembangkitan Jawa Bali Investasi dengan Blackgold Natural Resources (BNR) dan China Huadian Engineering Company Limited yang dibawa Kotjo.
Jaksa menyebut Sofyan mengetahui Eni dan Idrus akan memperoleh sejumlah uang atau imbalan dari Kotjo terkait proyek itu. Mereka mendapat hadiah uang secara bertahap dari Kotjo sebesar Rp 4,75 miliar. Sofyan juga mengetahui Eni ditugaskan oleh Setya Novanto, Ketua Umum Partai Golkar saat itu, untuk mengawal perusahaan Kotjo agar memperoleh proyek PLTU.
Mengawal kepentingan
Dari fakta-fakta persidangan yang dibacakan Ronald, mantan Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto disebut memperkenalkan Kotjo dan Eni. Novanto meminta Eni mengawal kepentingan Kotjo dalam proyek PLTU Riau-1.
Merespons permintaan Novanto, Eni lantas mengatakan kepada Sofyan bahwa dirinya ditugasi Novanto mengawal perusahaan Kotjo dalam proyek pembangunan PLTU Riau-1. Permintaan Novanto itu sekaligus sebagai kepentingan mencari dana untuk Partai Golkar dan Pemilu Legislatif Partai Golkar. Eni Maulani Saragih meminta Sofyan melakukan pertemuan dengan Setya Novanto di rumah Setya Novanto yang disanggupi Sofyan.
Dalam pertemuan di rumah Novanto itu, ada permintaan agar perusahaan Kotjo dapat menangani proyek PLTGU Jawa III. Namun, Sofyan menyampaikan, sudah ada calon perusahaan lain untuk mengerjakan proyek itu.
Pada pertemuan selanjutnya di Hotel Mulia, Senayan, Sofyan berkata pada Kotjo untuk ikut proyek PLTU Riau-1 saja.
Kotjo pun menyanggupi. Menurut jaksa, Sofyan kemudian mengarahkan agar proposal dari perusahaan Kotjo diserahkan langsung kepada Supangkat Iwan Santoso (Direktur Pengadaan Strategis 2 PT PLN).
Setidaknya ada delapan pertemuan yang dilakukan Sofyan, baik dengan Eni, Kotjo, Idrus, maupun Novanto. Ujungnya, muncul arahan dari Sofyan agar power purchased agreement (PPA) proyek PLTU Riau-1 berkapasitas 2 x 300 megawatt yang bernilai hingga Rp 12 triliun itu segera ditandatangani. PPA pun ditandatangani Sofyan pada 6 Oktober 2017 sebelum letter of intent (LOI) diterbitkan.
Setelah memfasilitasi pertemuan yang mempercepat proses kesepakatan proyek, Eni dan Idrus menerima imbalan uang total Rp 4,75 miliar. Uang tersebut diterima bertahap melalui tenaga ahli Eni di kantor Kotjo.
Pemberian uang itu pada 18 Desember 2018 senilai Rp 2 miliar, kemudian pada 14 Maret 2018 sejumlah Rp 2 miliar, lalu 8 Juni 2018 sebesar Rp 250 juta, dan pada 13 Juli 2018 sejumlah Rp 500 juta.
Dari total penerimaan uang sejumlah Rp 4,75 miliar dari Kotjo, sebesar Rp 713 juta diserahkan Eni selaku bendahara Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) Partai Golkar 2017 kepada Muhammad Sarmuji selaku Wakil Sekretaris Steering Committee Munaslub Partai Golkar. Sisa uangnya digunakan Eni untuk kepentingan kampanye suaminya dalam Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah.