"Marijo, Torang Samua Makang!"
Hari Pengucapan Syukur yang dinanti-nanti akhirnya tiba juga. Pagar dan pintu semua rumah di Kota Bitung, Sulawesi Utara, terbuka lebar bagi siapa pun.
Hari Pengucapan Syukur yang dinanti-nanti akhirnya tiba juga. Pagar dan pintu semua rumah di Kota Bitung, Sulawesi Utara, terbuka lebar bagi siapa pun. Maka, berbahagialah orang yang lapar dan haus di hari Pengucapan Syukur, karena mereka akan dipuaskan!
Kebaktian di Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM) Sentrum Bitung belum rampung hingga pukul 11.20 Wita, Minggu (6/10/2019). Wali Kota Manado Vicky Lumentut yang diundang menjadi penatua dalam ibadah itu belum selesai membacakan doa syafaat.
Namun, satu per satu umat yang tampak resah sepanjang ibadah mulai beranjak pergi. Mau bagaimana lagi? Banyak yang harus disiapkan di rumah. Menata kursi-kursi plastik, memasang keyboard, mikrofon, sampai menyalakan perangkat pengeras suara, semuanya harus sempurna.
Wadah-wadah makanan juga harus ditata di meja depan rumah. Jangan sampai makanan belum tersaji waktu kerabat dan tamu dari luar kota tiba. Wajar saja kalau umat gelisah karena sejak pukul 10.30 Wita Jalan Raya Manado-Bitung sudah dipadati mobil berisi orang-orang yang siap dijamu. Tak sedikit mobil pikap yang mengangkut lima hingga sepuluh orang di baknya.
Perjamuan serupa juga digelar Wali Kota Bitung Max Lomban dan istrinya, Khouni Lomban-Rawung, di rumah dinas di Bilangan Bitung Barat 1. Namun, persiapan tentu bukan masalah bagi mereka.
Di rumah dinas, warga dari segala kalangan berkumpul. Beragam makanan sudah tersedia. Ikan mayones, cakalang bakar, ayam kecap, sate babi, capcay, puding, es buah…. Pilihan seakan tak terbatas. Tinggal diambil sesuai selera, lalu disantap sambil menikmati penampilan penyanyi diiringi organ tunggal.
Kami bagi ruangannya agar warga tidak menumpuk di satu titik.
Yang istimewa adalah sashibi alias sashimi bitung. Daging ikan tuna mentah merah itu terasa gurih saat dinikmati dengan bumbu kecap manis-pedas-asam.
Ratusan wadah makanan tersebut disajikan di halaman depan, ruang pertemuan, sampai ruang menonton televisi. "Kami bagi ruangannya agar warga tidak menumpuk di satu titik," kata Fian, staf Bagian Hubungan Masyarakat Pemkot Bitung. Inilah Pengucapan Syukur, thanksgiving ala Minahasa.
Dalam sambutan di gereja sebelum jamuan, Wali Kota Bitung Max Lomban mengimbau semua warga untuk membuka pintu selebar-lebarnya bagi kerabat, tamu, atau siapa saja yang datang dari luar Bitung. Ia sendiri menjamu Wali Kota Manado Vicky Lumentut, anggota DPRD Sulut Victor Mailangkay, dan pejabat lainnya. “Orang Bitung harus bisa jadi tuan rumah yang baik,” katanya.
Sementara itu, istri Wali Kota Bitung, Khouni, mengatakan, kebanyakan hidangan yang disajikan saat Pengucapan Syukur di Bitung adalah berbahan ikan. Mulai dari tuna, cakalang, kakap putih, dan kerapu. Berbeda dengan di kota lain, misalnya Tomohon, tidak ada daging satwa liar.
Saya selalu mengimbau warga untuk tidak makan daging satwa liar, apalagi yang endemik.
“Saya, kan, duta Selamatkan Yaki (monyet hitam sulawesi/Macaca nigra). Saya selalu mengimbau warga untuk tidak makan daging satwa liar, apalagi yang endemik. Soalnya, satwa itu kan sangat berharga buat ekosistem kita. Jadi, menu andalan kami adalah ikan,” kata Khouni.
Ikan merupakan komoditas unggulan kota yang menjadi salah satu sentra industri penangkapan dan pengolahan ikan nasional tersebut. Data Pelabuhan Perikanan Samudera Bitung, produksi ikan tangkap selama Januari-November 2018 mencapai 42.600 ton.
Terlepas dari itu, hari Pengucapan Syukur adalah sarana bagi warga Bitung mengekspresikan syukur atas segala kebaikan yang telah diterima sepanjang tahun. Bagi pemerintah kota, kata Khouni, jamuan ini juga untuk mensyukuri keamanan, kedamaian, dan kesejahteraan Bitung. “Selain itu, kami juga akan mengadakan Festival Pesona Selat Lembeh, besok (Senin, 7/10), dilanjutkan ulang tahun kota, Kamis (10/10)," ujarnya.
Sederhana
Melodi dan irama organ tunggal juga mendentum kuat di bilangan Aertembaga I, Kelurahan Aertembaga. Gelegar yang membahana ke segala penjuru gang itu berasal dari amplifier besar di depan pagar kompleks kos pegawai PT Putra Jaya Kota.
Sampai sekarang kami masih diberi kebugaran, masih kuat bekerja mencari ikan untuk menafkahi anak dan istri.
Usai makan, para penghuni kos itu menyanyi bergantian. Dengan bebas mereka berdendang dan berjoget diiringi lagu Terajana, Tua-tua Keladi, dan sebagainya. Siapa pun terundang untuk makan dan minum. “Ini adalah bentuk syukur kami. Sampai sekarang kami masih diberi kebugaran, masih kuat bekerja mencari ikan untuk menafkahi anak dan istri,” kata Anderson Maluengseng (48), seorang nakhoda penghuni kos itu.
PT Putra Jaya Kota adalah perusahaan perikanan yang memiliki sarana produksi mulai dari kapal tangkap hingga pabrik ikan. Seperti Anderson, para penghuni kos itu adalah pekerja perusahaan, mulai dari nakhoda, anak buah kapal, hingga staf di pabrik.
Bukan hanya penghuni beragama Kristen, para penghuni kos yang beragama Islam pun larut dalam kebahagiaan bersama saudara-saudara mereka hari itu. Sebanyak lima dari sepuluh keluarga di kos itu adalah Muslim.
“Kami sudah tak membeda-bedakan. Semua sudah menjadi warga Bitung, dan kami patut mengucap syukur atas keadaan kami. Supaya semua bisa merayakan, menu yang kami sediakan hanya ikan laut dan ayam,” kata Anderson.
Baca juga: Pengusaha Perikanan Enggan Gunakan Jalur Bitung-Davao
Hal serupa juga tampak di Kelurahan Manembo-nembo, Kecamatan Matuari. Di tepi Jalan Dumais, lima ekor cakalang, rahang tuna, dan beberapa ikan lainnya ditutup daun pisang di atas meja kayu, dijaga seorang wanita berkerudung. “Silakan, langsung ambil saja kemudian makan,” katanya.
Kelurahan Manembo-nembo didominasi oleh para nelayan dan pedagang hasil tangkapan laut. Mereka berasal dari suku Minahasa, Gorontalo, Sangir, Talaud, hingga Bugis. Umat Kristen dan Islam pun hidup harmonis berdampingan, termasuk saat Pengucapan Syukur.
Nur Afni Macpal (36), salah satu warga, mengakui Pengucapan Syukur bukanlah tradisi umat Islam, tetapi tak jadi masalah. “Lihat saja di dalam (permukiman), banyak warga Muslim juga ikut merayakan. Ini bentuk syukur kami sebagai warga Bitung. Tangkapan ikan selalu ada buat kami,” kata Nur yang sehari-hari menjual cumi-cumi segar.
Hal senada dikatakan Samuel Pungus (47), warga lainnya yang beragama Kristen. “Di sini kami sudah keluarga, tidak perlu dibeda-bedakan. Bersyukur dan makan bersama,” katanya.
Perkembangan positif
Mulanya, Pengucapan Syukur adalah tradisi etnis Minahasa untuk mensyukuri panen padi ladang. Pengajar Fakultas Teologi Universitas Kristen Indonesia Tomohon Denni Pinontoan mengatakan, perayaan didampingi ritual persembahan korban yang disebut Rumages kepada Tuhan yang disebut Opo Wananatas.
Namun, antara dekade 1970 dan 1980-an, Pengucapan Syukur diambilalih oleh gereja. “Saat itu, tiap kampung merayakan pengucapan syukur di waktu yang berbeda-beda sesuai panen hasil bumi, seperti padi dan cengkeh. Baru tiga tahun terakhir ini, Pengucapan Syukur dijadwalkan pemerintah kota,” kata Denni.
Menurut Denni, ini membelokkan tujuan Pengucapan Syukur menjadi penopang sektor pariwisata. Pengadaannya pun berdekatan dengan festival unggulan kota, seperti Festival Pesona Selat Lembeh di Bitung.
“Tapi, satu hal yang masih kuat adalah budaya makan-makannya. Selain itu, dari dulu, Pengucapan Syukur memang untuk mengucap syukur, apa pun hasil panennya. Ritual-ritual adat yang digantikan tradisi gerejawi membuktikan bahwa budaya itu selalu berubah, tidak pernah hilang, hanya direkonstruksi ulang,” katanya.
Baca juga: Incar Wisman, Bitung Poles Festival Selat Lembeh
Denni menambahkan, Bitung adalah kota pelabuhan yang multikultural. Keterlibatan komunitas Muslim dalam pengucapan syukur, diiringi penyesuaian menu makanan, adalah perkembangan positif. Artinya, penjadwalan oleh pemerintah berhasil memperkuat relasi lintas iman warga kota.
Bersyukur memang dianjurkan di setiap saat, dalam keadaan apa pun. Tak ada salahnya juga merayakannya secara besar-besaran sekali setahun dalam nuansa persaudaraan. Marijo, torang samua makang! Mari, kita semua makan!