Tegar Menyingkap Kelam di Riuh Jalanan
Meski telah memiliki Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, persamaan hak mendapat penghidupan yang layak belum dirasakan semua tunanetra. Terdesak kebutuhan, mereka berjuang di jalanan kota.
”Mengasihani diri sendiri merupakan musuh terburuk kita dan jika kita menyerah pada itu, kita tidak akan pernah bisa melakukan sesuatu yang bijaksana di dunia ini.”
(Helen Keller, 1880-1968)
Bukan pilihan Made Astawa (29) lahir tanpa kemampuan menikmati warna-warni dunia. Namun, ia punya angan hidup layak, sama seperti mereka yang bisa melihat. Sayangnya, hingga kini, harapan itu terasa jauh dari jangkauannya.
Awan mendung menggantung di langit Manado, Sulawesi Utara, Jumat (4/10/2019) siang. Made berdiri di persimpangan antara Boulevard Piere Tendean dan Jalan Ahmad Yani 13. Kakinya yang berdebu beralaskan sandal jepit.
Mata Made tampak setengah tertutup. Ia hanya berdiri di atas trotoar sambil mengangkat sebungkus tisu di tangan kanannya. Tanpa Made berseru, pengendara sepeda motor dan mobil yang melalui persimpangan mendekat lalu membeli tisunya atau sekadar memberi uang. Saat didekati, Made mencoba membuka lebar matanya. ”Hanya kelihatan bayang-bayang. Sudah dari lahir,” ucapnya.
Siang itu, empat bungkus tisu sudah terjual. Di dalam tas pria kelahiran Tumokang Baru, Dumoga Utara, Bolaang Mongondow, itu masih ada 10 bungkus lagi. ”Sejak pindah ke Manado pas Susilo Bambang Yudhoyono jadi presiden (2004), saya sudah jualan tisu. Sehari saya jual 15 bungkus, masing-masing Rp 3.500. Di kos di Paal IV, sedia sekotak isi 60,” tuturnya.
Seharusnya, ia menghasilkan Rp 52.500 sehari. Namun, pendapatannya bisa sampai Rp 100.000-Rp 200.000 lantaran para pengguna jalan kerap memberikan uang saja tanpa mengambil tisunya. Dalam rentang 30 menit, ada empat orang berhenti untuk memberinya lembaran Rp 2.000 hingga Rp 10.000 cuma-cuma.
”Lihat sendiri, kan, saya tidak minta-minta, tetapi orang kasih uang. Gara-gara ini saya ditangkap dua kali sama Dinas Sosial Kota (Manado). Alasannya, saya jualan di pinggir jalan. Padahal, saya berdiri di atas trotoar. Kalau enggak kerja begini, siapa mau kasih makan saya?” katanya.
Baca juga: Brexit, Pemulih Harkat Penyandang Tunanetra
Made sebenarnya pernah mengenyam pendidikan di salah satu SD luar biasa di Kotamobagu. Setelah lulus, dia membantu orangtuanya beternak. Baru pada tahun 1999, ia bisa mengenyam pendidikan SMP luar biasa di Kecamatan Lolayan.
Di dalam hatinya, Made yang lahir dari keluarga transmigran Bali, menyimpan iri. Konon, dari cerita yang ia dengar, orang buta di Bali tidak ada yang harus terlunta-lunta di pinggir jalan. ”Mereka masih bisa main gamelan Bali. Di sini, saya malah jadi bulan-bulanan dinas,” keluhnya.
Sekitar 1,5 kilometer dari tempat Made berdiri, di Jalan Sam Ratulangi 12, tersuguh perjuangan penyandang disabilitas netra lain di jantung Kota Manado. Kawasan itu tak pernah sepi dari mobil yang merayap lambat untuk menyeberang dari Boulevard Piere Tendean ke Jalan Sam Ratulangi.
Di satu titik, para pengendara mobil mesti melintas pelan dan berhati-hati agar tidak menyenggol tangan empat penyandang tunanetra lanjut usia yang menyodorkan kacang goreng dan tisu di kanan jalan. Salah satunya adalah Mien Retor (65).
”(Pengendara) oto di sini sudah mengerti. Mereka pasti akan belok sedikit. Ada juga yang tidak peduli dan menabrak tangan saya. Tapi tidak apa-apa karena itu sudah jadi risiko yang saya harus jalani untuk kerja begini,” kata Mien.
(Pengendara) oto di sini sudah mengerti. Mereka pasti akan belok sedikit. Ada juga yang tidak peduli dan menabrak tangan saya. Tapi tidak apa-apa karena itu sudah jadi risiko. (Mien Retor-tunanetra)
Pada awal 1980-an, mata Mien terasa gatal-gatal. Makin hari, penglihatannya kian redup hingga ia kehilangan salah satu dari panca inderanya tersebut sama sekali. Hingga kini, wanita asal Modoinding, Minahasa Selatan, itu tidak mengetahui penyakit apa yang dideritanya.
Pada 1985, saat usianya 31 tahun, Mien hijrah dari Palu, Sulawesi Tengah, ke Manado. Ia terdaftar untuk mengikuti pelatihan khusus tunanetra di Sasana Rehabilitasi Pendidikan Cacat Netra (SRPCN) di bilangan Paal IV, Tikala. Di sana, para peserta diberi tempat tinggal serta diberi pelatihan kehidupan sehari-hari, seperti berjalan, memasak, hingga mencuci piring.
Lebih khusus, Mien mendapat kursus pijat. ”Kami belajar teori dulu, mulai dari anatomi tulang, fisiologi, dan patologi. Baru kemudian latihan memijat,” katanya.
Baca juga: Tunanetra Mencari Kemerdekaan Berjalan di Trotoar
Pelan-pelan, SRPCN membantu Mien membangun hidupnya lagi. Ia bertemu dengan Benny, lalu menikah meski tak tahu rupa sosok satu sama lain. Mereka kini memiliki satu anak dan tinggal di sebuah indekos di daerah Paal IV.
Pada 1989, Mien keluar dari SRPCN dan mulai bekerja di sebuah panti pijat. Namun, penghasilan dari pekerjaan itu tak seberapa. ”Tidak setiap hari ada pasien. Kalaupun ada, pendapatan harus dibagi dua dengan yang punya panti pijat. Karena itu, kami putuskan untuk jualan,” katanya.
Setelah bertahun berjualan berkeliling, lima tahun terakhir Mien dan Benny memilih Jalan Sam Ratulangi 12 sebagai tempat tetap untuk menjual kacang goreng.
Baca juga:Indonesia Perlukan 60.000 Penderma Kornea
Belum hadir
Bagi Mien, selain pelatihan pada 1985, pemerintah tak sepenuhnya hadir bagi ia dan suaminya. Justru Mien berkali-kali ditangkap Satpol PP dengan tuduhan meminta-minta dan menghambat lalu lintas. Padahal, banyak pengendara mobil yang hanya memberikan uang tanpa mengambil kacang gorengnya. Mien pun hanya menerima sambil berseru, ”Terima kasih, diberkati.”
”Kalau pemerintah memang tidak mau kami jualan begini sampai-sampai dikira mengemis, jaminlah kehidupan kami,” kata Mien.
Di Manado, kawasan Paal IV adalah pilihan utama tempat tinggal bagi para tunanetra. Hendi (30), misalnya, telah memiliki rumah sendiri di perkampungan itu. Sore hari, dituntun anaknya yang asik menonton video di ponsel pintar, ia meninggalkan rumah menuju Jalan Sam Ratulangi untuk berjualan tisu.
Sebagian adalah penerima bantuan Balai Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas Sensorik Netra Tu Mou Tou Manado yang dulunya SRPCN. Panti itu bertugas mengembalikan fungsi sosial para penyandang tunanetra dengan terapi fisik, sosial, dan kehidupan.
Harusnya para tunanetra bisa menggunakan keterampilan yang diajarkan. Tapi, banyak orang yang mau hidup gampangnya saja.
Sutrisno, kepala tata usaha Balai Netra Tu Mou Tou, punya pandangan lain terkait masih banyaknya tunanetra yang menyambung hidup dengan berjualan di jalanan. ”Harusnya para tunanetra bisa menggunakan keterampilan yang diajarkan di sini. Tapi, banyak orang mau hidup gampangnya saja. Saya tahu kacang dan tisu itu sering tidak diambil. Orang Manado terbiasa memberi atas dasar budaya kasih,” ujarnya.
Sutrisno menambahkan, saat masih berstatus sebagai penghuni panti rehabilitasi, para penyandang tunanetra diberi pelatihan memijat, bermain musik, hingga olahraga. Bahkan, pelatihan spot massage dan pijat shiatsu diberikan oleh pelatih dengan kualifikasi internasional.
”Kalau niat, mereka pasti berhasil. Di bidang olahraga, misalnya, ada atlet lari Susan Unggu (29) asal Maluku Utara yang dulu dilatih di sini. Dia berprestasi di PON dan SEA Games,” kata Sutrisno.
Saat ini, tercatat 50 penyandang tunanetra dari Sulawesi, Maluku, dan Papua yang mengikuti program di balai. Di luar itu, 300 orang mendapatkan bantuan dari program Family Support, Pengembangan Fungsional Model Pemelajaran, serta Respons Kasus.
Namun, kebanyakan dari program itu hanya diikuti peserta satu kali. Sutrisno mengakui, cukup sulit mewujudkan dampak berkepanjangan. Apalagi, para penyandang tunanetra harus bersaing di pasar tenaga kerja.
”Harusnya ada tindak lanjut dari pemerintah daerah, misalnya menyediakan tempat berjualan atau panti pijat khusus untuk mereka. Dana kami setahun juga sedikit, hanya Rp 7 miliar termasuk untuk gaji pegawai,” katanya.
Mien Retor mengatakan, selama ini keluarganya hanya mendapatkan bantuan bahan pokok satu kali setahun. Bantuan itu antara lain 15 kilogram (kg) beras, 10 kg gula, 20 sachet deterjen, 10 botol kecil minyak goreng, 10 buah pasta gigi, 12 botol sampo, dan sikat gigi. ”Sisanya harus kami perjuangkan sendiri,” kata Mien.
Kepala Dinas Sosial (Dinsos) Manado Sammy Kaawoan mengatakan, pemerintah kota sebenarnya tidak menginginkan para penyandang tunanetra berjualan kacang atau tisu di tepi jalan. Kegiatan itu ia nilai mengganggu ketertiban dan lalu lintas. ”Tapi mereka sudah terbiasa berjualan di situ," katanya.
Terkait tindak lanjut pelatihan di Balai Netra Tu Mou Tou, Sammy mengatakan, pihaknya hanya memberikan pelatihan sekali setahun. Penyandang segala jenis disabilitas diberi pelatihan usaha ekonomi produktif. Dinsos tak bisa memberi lebih dari itu karena keterbatasan dana.
Dinsos juga tidak bisa menjaga keberlanjutan pelatihan yang telah diberikan. Yang jelas, Sammy mengakui, para penyandang tunanetra saat ini masih kesulitan bersaing dengan tenaga kerja non-difabel.
”Sekarang kembali ke pribadi mereka masing-masing, bagaimana mereka mengembangkan apa yang sudah mereka terima. Bantuan dari Dinsos sudah banyak,” kata Sammy
Dalam buku The New Politics of Disablement (2012),Michael Oliver dan Colin Barnes mengatakan, kecacatan adalah realitas yang tidak bisa ditolak dan justru memperkaya keberagaman manusia. Namun, kecacatan seharusnya tidak menjadi penyebab kemiskinan.
Penyediaan bantuan dan sumbangan memang membantu pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Namun, hal itu tidak memampukan para penyandang disabilitas menentukan nasib sendiri. Malahan, mereka dianggap menciptakan ketergantungan karena keadaan yang ”kurang beruntung”.
Sebaliknya, kesempatan bagi penyandang disabilitas, termasuk tunanetra, harus diperluas dengan menciptakan struktur ekonomi yang lebih inklusif. Pemenuhan hak dasar oleh negara, mulai dari pendidikan hingga mencari pekerjaan juga harus lebih konsisten.
Mereka yang tak bisa melihat terang tetap berhak mendapatkan kehidupan yang cerah. Dan saat belum terbuka pintu lain yang lebih layak, sementara tunanetra seperti Made, Mien, dan Benny akhirnya memilih berjuang di panas dan riuh jalanan.