Sawit Didiskriminasi UE, Indonesia Matangkan Materi Gugatan ke WTO
Pemerintah Indonesia akan mengugat Kebijakan Energi Terbarukan (RED) II Uni Eropa ke Organisasi Perdagangan Dunia. Indonesia menggulirkan gugatan itu karena RED II UE dinilai mendiskriminasikan industri kelapa sawit.
Oleh
hendriyo widi
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah Indonesia tengah mematangkan materi gugatan Kebijakan Energi Terbarukan (RED) II Uni Eropa ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Indonesia menggulirkan gugatan itu karena kebijakan itu dinilai mendiskriminasikan industri kelapa sawit Indonesia.
Kepala Biro Advokasi Perdagangan Kementerian Perdagangan Sondang Anggraini mengatakan, Indonesia tengah bersiap menghadapi penerapan RED II karena aturan ini akan berdampak negatif bagi industri kelapa sawit di Indonesia. Dalam kebijakan itu, Uni Eropa (UE) mengeluarkan sawit dari daftar energi terbarukan UE.
”Penting bagi kita menggali lebih jauh lagi persiapan dan posisi hukum Indonesia dalam menghadapi fase implementasi RED II itu,” kata Sondang dalam keterangan pers, Senin (7/10/2019).
Menurut Sondang, Pemerintah Indonesia menilai kebijakan itu mendiskriminasikan minyak kelapa sawit mentah (CPO) dan produk turunannya. Sebab, CPO benar-benar dibedakan dari bahan baku produk minyak negara lain, seperti kacang kedelai, dan produk-produk sejenis yang bahan bakunya berasal dari negara-negara anggota UE.
Untuk itu, Pemerintah Indonesia akan menyiapkan langkah-langkah strategis menghadapi masalah tersebut. Dampak kebijakan RED II itu sudah mulai menurunkan volume dan ekspor CPO dan produk turunnya ke sejumlah negara anggota UE.
”Jika hal itu terus terjadi, Indonesia akan kehilangan pasar penting untuk komoditas kelapa sawit. Hal itu juga akan berdampak pada penurunan permintaan dan harga komoditas sehingga akan terjadinya ’efek bola salju’ atas kebijakan UE,” ujarnya.
Saat ini, lanjut Sondang, Pemerintah Indonesia tengah melanjutkan riset mendalam mengenai regulasi Komisi UE tentang dampak atau perubahan penggunaan lahan secara tak langsung (Indirect Land Use Change/ILUC). Hasil riset tentang ILUC itu akan menjadi dasar pengajuan gugatan ke WTO.
Selain itu, Indonesia juga akan menganalisis secara mendalam kesesuaian peraturan RED II dan DR dengan ketentuan WTO.
’Kami juga menyusun penilaian dampak ekonomi apabila terjadi fase tidak lagi digunakannya biodiesel dari sawit di UE pada 2021, memetakan pemain kunci terkait pihak pro dan kontra terhadap sawit, serta melakukan kampanye positif CPO dan produk turunannya,” ujarnya.
UE mengundangkan RED II pada 2018 dan menerbitkan Peraturan yang Didelegasikan (Delegated Regulation/DR) untuk mengimplementasikan RED II pada Februari 2019. Kemudian, pada Maret 2019, Komisi UE mengeluarkan Regulasi Komisi UE yang mengaitkan biodiesel dengan ILUC.
Dalam dokumen tersebut dinyatakan, ILUC terjadi jika dalam proses produksi biodiesel menyebabkan areal pangan berkurang (terkonversi ke tanaman bahan baku biodiesel) dan memicu terjadinya konversi hutan atau lahan sehingga menyebabkan peningkatan emisi karbon.
Beberapa aturan RED II tersebut akan berlaku mulai 1 Januari 2021. Semua anggota diharapkan sudah menerapkan RED II dalam tingkat aturan domestik setiap negara pada Juni 2021.
Adapun pada 2030, seluruh target EU-RED II diharapkan dapat tercapai. Tidak ada lagi biodiesel yang berasal dari bahan baku yang berpotensi menyebabkan risiko tinggi terhadap perubahan iklim dan ketersediaan pangan.
Kelapa sawit berkelanjutan
Dalam menghadapi peraturan internasional terkait pembatasan produksi kelapa sawit, Pemerintah Indonesia bersama pemangku kepentingan terkait membentuk Forum Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (FoKSBI).
FoKSBI bertujuan mempercepat pembangunan kelapa sawit berkelanjutan di Indonesia melalui peningkatan kerja sama para pemangku kepentingan, yaitu pemerintah, pengusaha dan pekebun, asosiasi, serta organisasi sosial kemasyarakatan.
FoKSBI juga memiliki fungsi dalam merumuskan Rencana Aksi Nasional Kelapa Sawit Berkelanjutan (RAN KSB). FoKSBI juga dapat memantau implementasi RAN KSB.
Presiden Direktur Daemeter Consulting Aisyah Sileuw mengemukakan, RAN KSB akan menjadi dokumen acuan bagi para pemangku kepentingan terkait dalam pelaksanaan pembangunan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan di Indonesia.
Dalam penyusunan RAN KSB terdapat beberapa komponen utama, seperti penguatan data, koordinasi, dan infrastruktur; peningkatan kapasitas dan kapabilitas pekebun; serta pengelolaan dan pemantauan lingkungan.
”Ada juga tentang tata kelola perkebunan dan penanganan sengketa; serta pelaksanaan sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) dan akses pasar,” katanya.