Anggaran Pemulihan Gempa Maluku Sekitar Rp 1 Triliun
Masa tanggap darurat akibat gempa bermagnitudo 6,5 di Maluku yang berlangsung selama 14 hari akan berakhir pada Rabu (9/10/2019).
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·4 menit baca
AMBON, KOMPAS — Masa tanggap darurat akibat gempa bermagnitudo 6,5 di Maluku yang berlangsung selama 14 hari akan berakhir pada Rabu (9/10/2019). Penanganan pascabencana terus berlanjut dengan masa transisi hingga rekonstruksi dan rehabilitasi yang memerlukan anggaran lebih kurang Rp 1 triliun.
Pelaksana Tugas Sekretaris Daerah Provinsi Maluku Kasrul Selan di Ambon, Selasa (8/10), mengatakan, setelah masa tanggap darurat berakhir, tahap berikutnya adalah masa transisi yang berlangsung selama 90 hari. Selama masa itu, tim penanggulangan bencana mendata pengungsi dan kerusakan bangunan akibat gempa yang terjadi pada 26 September. Para korban akan diberikan kartu pengungsi.
Selama masa transisi, akan dibangun hunian sementara 100 hingga 150 unit selama 60 hari. Satu unit hunian sementara yang akan ditempati 12 keluarga itu membutuhkan anggaran sekitar Rp 400 juta. Setelah masa transisi berakhir, akan dilanjutkan dengan rehabilitasi dan rekonstruksi. Pada tahap ini, rumah penduduk dan fasilitas umum yang rusak akan diperbaiki atau dibangun baru.
”Mulai dari masa transisi sampai pembangunan rumah dan rehabilitasi membutuhkan anggaran sekitar Rp 1 triliun,” kata Kasrul. Wilayah terdampak gempa adalah Kota Ambon, Kabupaten Maluku Tengah, dan Kabupaten Seram Bagian Barat.
Akibat gempa tersebut, 39 orang dilaporkan meninggal. Sebanyak 11 korban dari Kota Ambon, 17 korban dari Kabupaten Maluku Tengah, dan 11 korban dari Kabupaten Seram Bagian Barat. Adapun korban luka ringan 1.548 orang, luka berat 30 orang, dan pengungsi 170.900 orang. Rumah penduduk yang rusak ringan 3.245 unit, rusak sedang 1.837 unit, dan rusak berat 1.273 unit.
Mulai dari masa transisi sampai pembangunan rumah dan rehabilitasi membutuhkan anggaran sekitar Rp 1 triliun.
Kasrul berharap warga yang rumahnya tidak rusak agar kembali. Saat ini banyak orang masih mengungsi di dataran tinggi dengan alasan takut terjadi gempa besar dan tsunami.
Sementara warga yang rumahnya tidak bisa ditempati lagi tetap dibantu untuk tinggal di tenda darurat sambil menunggu hunian sementara. Pihaknya sedang mendekati pemilik lahan agar merelakan lahan mereka dibangun hunian sementara.
Penyebar hoaks
Secara terpisah, Wali Kota Ambon Richard Louhenapessy mengatakan, kondisi bencana di daerah itu dimanfaatkan oleh penyebar hoaks untuk kepentingan tertentu. Richard menduga, hoaks bertujuan untuk merusak suasana. Ada hoaks yang mengatasnamakan Richard membagikan pesan berisi Ambon akan dilanda gempa besar. Richard membantah itu.
Secara resmi, Richard telah meminta Polda Maluku untuk menyelidiki kasus tersebut. ”Kalau hoaks ini hanya merugikan saya secara pribadi tak masalah. Namun, karena ini merugikan dan meresahkan seluruh masyarakat Kota Ambon, itu harus diproses. Tujuannya untuk menimbulkan efek jera,” katanya.
Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Maluku Komisaris Besar Firman Nainggolan kepada Kompas mengatakan, tim siber Polda Maluku sudah mengidentifikasi sejumlah akun yang menyebarkan berita hoaks terkait gempa Ambon. Tim siber juga melakukan patroli di media sosial selama 24 jam untuk menghalau penyebaran hoaks.
”Kami lakukan terus counter issu dan penyelidikan terhadap penyebaran hoaks. Pada umumnya, (penyebar hoaks) menggunakan akun palsu dan berada di luar Maluku,” katanya. Tim penyelidik masih melakukan pendalaman termasuk mencari tahu dugaan penyebaran hoaks itu dilakukan secara terorganisasi dan sistematis.
Literasi bencana diperkuat
Kepala Seksi Data dan Informasi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Stasiun Geofisika Ambon Andi Azhar Rusdin mengatakan, literasi bencana kepada masyarakat harus diperkuat. Dengan begitu masyarakat tidak mudah terpancing informasi yang tidak benar. Ia menegaskan, tidak ada lembaga mana pun yang dapat memprediksi waktu terjadinya gempa.
Ia tetap mengingatkan bahwa Maluku berisiko dilanda gempa dan tsunami. Jumlah kejadian gempa lebih dari 1.000 kali dalam satu tahun. Pada 2016 tercatat 1.222 kejadian, 2017 sebanyak 1.392 kejadian, dan 2018 sebanyak 1.587 kejadian.
Sepanjang Januari hingga September 2019, telah terjadi 2.367 kejadian gempa. Adapun gempa susulan setelah gempa bermagnitudo 6,5 pada 26 September lalu, hingga Selasa pagi, terjadi 1.216 kali.
Menurut rekaman data kebencanaan, lanjut Andi, dari total sekitar 250 kali kejadian tsunami di Indonesia, 50 kejadian di antaranya terjadi di Kepulauan Maluku. Badan Nasional Penanggulangan Bencana mencatat, dari 1.231 desa/kelurahan di Provinsi Maluku, 862 di antaranya atau 71 persen berisiko dilanda tsunami. Di sana berdiam lebih kurang 1,6 juta jiwa penduduk.