Bekal Baru untuk Berlayar Lebih Jauh
Di negara kepulauan ini, jejak kebesaran sebagai bangsa maritim ternyata tak mudah didapat. Di Jambi, kapal kuno yang lama terkubur menunggu jadi pemantik rasa ingin tahu untuk mengarungi segara ilmu pengetahuan baru.
Di negara kepulauan ini, jejak kebesaran sebagai bangsa maritim ternyata tak mudah didapat. Di Jambi, kapal kuno yang lama terkubur menunggu jadi pemantik rasa ingin tahu untuk mengarungi segara ilmu pengetahuan baru. Tak sekadar menyisakan kisah masa lalu, kehadirannya diharapkan memberi kesejahteraan untuk manusia pada zaman ini.
Desa Lambur di Kecamatan Muara Sabak Timur, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Jambi, mendadak ternama. Sejak beberapa waktu terakhir, para arkeolog sibuk mengekskavasi kapal kuno yang terkubur berabad-abad lamanya. Tidak hanya mengundang tanya warga setempat, orang- orang dari luar daerah juga penasaran ingin melihatnya.
”Sudah lama kami mendengar cerita tentang kapal kuno ini. Baru sekarang bisa melihat langsung wujudnya,” ujar Hermanto (32), pemandu wisata asal Kota Jambi, Minggu (1/9/2019).
Hermanto termasuk cepat memanfaatkan peluang. Tahu ada ekskavasi lanjutan menguak sejarah kapal di Lambur, ia menjadikan informasi itu untuk menarik hati tamu-tamunya. Sebelum bertolak ke Pulau Berhala di Kepulauan Riabongan, rombongan menyempatkan diri datang ke Lambur. ”Ini kesempatan langka. Kami beruntung melihat kapal itu langsung,” ucapnya.
Hermanto mengatakan, kisah tentang kapal kuno terkubur di Lambur sudah lama diketahuinya. Kisah itu dimulai saat ada sepasang suami istri mendapati jejak perahu yang terkubur di tanah saat hendak membangun rumah. Pasangan tersebut adalah Mandrakhim dan Hartini (50).
Ditemui di Lambur, sekitar 95 kilometer dari Jambi, Hartini mengatakan, suaminya menemukan hal tak biasa saat menggali tanah bakal fondasi rumah. Ketika galian menembus kedalaman setengah meter, terdengar suara keras membentur mata cangkul. ”Semakin keras cangkul dihunjamkan ke tanah, semakin keras suara benturan itu,” kenang Hartini menceritakan peristiwa yang berlangsung tahun 1995 itu.
Saat ditilik lebih cermat, benda keras itu seperti kayu. Namun, tak tahu bentuk pastinya, pasangan itu sepakat menghentikan penggalian. Mereka lantas melaporkan temuan itu kepada pemerintah desa setempat. Sejak itu, Lambur jadi primadona para peneliti.
Tim Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Provinsi Jambi, Sumatera Bagian Selatan, dan Bengkulu menjadi peneliti pionir di kawasan itu. Ekskavasi perdana dimulai tahun 1997.
Setahun kemudian, informasi di sana perlahan terang. Tim ekskavasi yang digawangi Agus Widiatmoko menyebutkan gambaran detail mengenai temuan kayu dan komponen lain yang merupakan bagian dari perahu. Kayu tampak pada bagian dasar dan bagian lain. Ukuran panjangnya 16 meter, lebar 4 meter, dan tebal 10 sentimeter.
Lewat sejumlah analisis ukuran panjang dan bentuk, besar kemungkinan artefak itu termasuk perahu kargo atau pembawa barang dagangan. Perahu itu umumnya digunakan dalam pelayaran antarpulau.
Beberapa temuan barang di sekitarnya juga mendukung prakiraan itu. Selain 128 keramik China era Dinasti Sung, ditemukan juga sabuk emas seberat 380 gram bergaya abad ke-10 sampai abad ke-13. Disimpulkan temuan itu berasal dari masa Sriwijaya.
Teknologi perahu juga terbilang maju karena sudah menggunakan pasak kayu dan tali ijuk. Kedua komponen tersebut membuat perahu itu tangguh menempuh perjalanan jauh. Tali ijuk berfungsi mengikat bagian-bagian papan perahu secara menyilang. Sementara pasak kayu yang masih menancap di papan perahu berfungsi menguatkan sambungan antarpapan.
Ekskavasi kedua
Lama tak tersentuh, 22 tahun kemudian setelah penelitian perdana, ekskavasi kedua dilakukan pada Agustus lalu. Kali ini, tim gabungan arkeolog Universitas Indonesia dan Universitas Jambi turun tangan lewat pendanaan APBD Pemerintah Kabupaten Tanjung Jabung Timur. Sejumlah fakta baru pun terungkap.
”Ukuran yang besar ini menunjukkan temuan itu bukanlah sekadar perahu, melainkan kapal,” kata Ketua Tim Ekskavasi Ali Akbar. Ali menceritakan, setelah hampir seluruh bagian digali, ukuran kapal ternyata lebih besar dari perkiraan sebelumnya. Panjangnya 24 meter, lebar 5,5 meter, dan tebal kayu 11 sentimeter. ”Ukuran yang besar ini menunjukkan temuan itu bukanlah perahu, melainkan kapal,” ujarnya.
Fakta lainnya, Ali mengatakan, sudah tersingkap kedua ujung kapal di bagian timur dan barat. Namun, belum dapat ditentukan mana buritan dan mana yang haluan. Selain itu, ada juga susunan tujuh ruas papan di sisi utara dan selatan. Bagian ini diduga kuat sebagai dek kapal, bukan lambung. Alasannya, susunan kayunya bersistem sambung. Jika diterapkan sebagai lambung, hal itu hanya akan memicu kebocoran. Tim pun terus menggali hingga kedalaman 4 meter untuk mencari lambung kapal. Namun, lambung itu belum juga ditemukan.
Mereka justru mendapati di bagian bawah kapal ada kayu-kayu bulat yang diperkirakan sebagai penyangga kapal. Ali menduga lokasi penggalian merupakan tempat perbaikan atau perakitan kapal.
Teknologi papan-papan yang disambung dengan pasak kayu dan diikat dengan ijuk juga terungkap lebih dalam. Teknik ini lazim ditemukan pada kapal- kapal kuno Asia Tenggara sejak abad ke-3. Teknik serupa ditemukan pada kapal karam di Cirebon yang diperkirakan dari abad ke-10. ”Kami belum dapat memastikan usia kapal di Lambur. Masih menunggu hasil uji sampel kayu (carbon dating) yang telah dikirim ke Batan (Badan Tenaga Nuklir Nasional),” ujarnya.
Zabag
Penemuan ini juga tak cuma menyingkap alat transportasi tempo dulu. Keberadaannya berpotensi menyumbang informasi tentang peradaban manusia pada saat itu.
Penemuan dua tonggak nibung (tanaman yang bisa tumbuh di rawa. Batangnya kerap digunakan sebagai bahan bangunan) dalam posisi menancap di sekitar kapal, misalnya. Meski telah tertimbun tanah, nibung biasanya dimanfaatkan sebagai tiang rumah bagi warga yang tinggal di daerah rawa.
Temuan itu, kata Ali, bisa jadi mengindikasikan keberadaan permukiman kawasan pesisir pada masa lalu. Temuan tersebut dipandang unik dan penting untuk ditelaah lebih lanjut. Selama ini peradaban maritim Nusantara belum banyak diungkap di negara kepulauan ini.
”Kini telah banyak laporan mengenai temuan perahu kuno, nibung, serta pecahan gerabah dari desa-desa sekitar. Ini bisa menjadi pintu masuk dimulainya penelitian mendalam dan rekonstruksi jejak kebesaran wilayah pada masa lalu,” katanya. Ali meyakini wilayah itu ada kaitan erat dengan nama Zabag, yang kerap disebut dalam literatur lawas. Salah satunya yang dituliskan Sulayman dalam buku Anthony Reid berjudul Sumatra Tempo Doeloe (1995).
Di sana, disebutkan sebuah pulau bernama Zabag. Pada zaman kejayaannya, Zabag dikenal masyhur dan memiliki istana yang menghadap ke talag (muara) yang berhadapan dengan laut. Besar kemungkinan, ada mekanisme perdagangan antardaerah di kawasan ini. Pada masa kini, nama serupa dipakai sebagai ibu kota kabupaten itu, Muara Sabak.
Sejahterakan warga
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Kabupaten Tanjung Jabung Timur Herli mengatakan, hasil penelitian dan ekskavasi kapal kuno Lambur memberi gairah baru. Pihaknya berencana meneruskan penelitian dan mulai memikirkan arah pengembangan.
Dalam jangka menengah, bukan tidak mungkin situs dikembangkan menjadi museum. ”Keberadaan museum dapat dimanfaatkan untuk sumber pengetahuan sekaligus obyek wisata maritim,” katanya.
Akan tetapi, butuh usaha besar untuk mewujudkannya. Salah satunya upaya menjadikan kawasan itu menjadi museum tanpa harus mengangkat perahu kuno. Untuk itu, penelitian masih terus dilanjutkan dengan dukungan arkeolog agar aspek pelestarian tetap terjaga.
”Dengan kecanggihan teknologi perekaman data dan teknik ekshibisi museum, terbuka peluang menampilkan perahu kuno tanpa harus mengangkatnya dari permukaan tanah,” ucapnya.
Hartini dan masyarakat Lambur sepakat keberadaan situs itu tetap harus dijaga. Nilai sejarahnya terlalu indah untuk dilupakan. Namun, mereka juga berharap ada manfaat kesejahteraan yang bisa diperoleh dari sana.
Tanpa mengabaikan kelestarian situs, semua tahapan selayaknya mewujudkan harmoni antara pariwisata dan pelestarian cagar budaya. Ini tidak sekadar tantangan, tetapi juga peluang buat mengumpulkan bekal baru untuk berlayar lebih jauh mengarungi segara ilmu pengetahuan baru.