Dukungan terhadap ”Senator” Daerah Saat Ini Tertinggi
Anggota DPD yang baru dilantik sepatutnya menunjukkan prestasi lebih baik. Alasannya, derajat keterpilihan para senator daerah kali ini terbesar dibandingkan dengan beberapa periode pemilu sebelumnya.
Anggota Dewan Perwakilan Daerah yang baru saja dilantik sepatutnya menunjukkan prestasi lebih baik dalam mewakili daerahnya. Alasannya, derajat keterpilihan para senator daerah kali ini terbesar dibandingkan dengan beberapa periode pemilu sebelumnya.
Menarik mencermati bagaimana rakyat menyatakan aspirasi politik melalui sosok-sosok yang mereka pilih dalam Pemilu 2019. Secara khusus, hasilnya menunjukkan terdapat kecenderungan derajat antusiasme dukungan pemilih kepada para senator daerah yang lebih tinggi dibandingkan dengan hasil beberapa pemilu sebelumnya.
Puncaknya, Pemilu 2019 menjadi yang tertinggi. Sebagai gambaran, dari total 807 calon anggota DPD periode kali ini, telah terpilih 136 senator daerah. Apabila dikalkulasi, seluruh senator daerah mengumpulkan dukungan 54.531.481 pemilih. Jumlah dukungan ini tergolong tinggi, terlebih dibandingkan dengan Pemilu 2014. Saat itu sekitar 41.732.252 dukungan tertuju pada mereka. Jumlah ini pun jauh lebih besar dibandingkan dengan total dukungan terhadap anggota DPD pada Pemilu 2009 yang sebesar 35.273.632 dukungan pemilih.
Peningkatan dukungan terhadap para senator daerah semakin meyakinkan jika dikaji berdasarkan derajat keterpilihan setiap anggota DPD. Dapat disimpulkan, kali ini mereka mampu meninggikan derajat keterpilihan secara lebih meyakinkan.
Besaran rata-rata dukungan yang diperoleh setiap anggota DPD mencapai 402.153 pemilih. Artinya, setiap anggota DPD rata-rata meraih dukungan 8,6 persen dari total suara dukungan. Pada Pemilu 2014, rata-rata dukungan yang diraup setiap anggota DPD sebesar 316.153 atau 6,8 persen. Angka itu lebih kecil lagi pada Pemilu 2009 (Tabel 1).
Derajat keterpilihan yang lebih besar menunjukkan derajat keterwakilan (degree of representativeness) yang mereka miliki semakin tinggi. Dengan demikian, mereka kian layak menjadi wakil masyarakat di provinsi masing-masing.
Jika dielaborasi, tidak semuanya spektakuler. Terdapat beberapa sosok yang memang mampu meraih dukungan pemilih sangat tinggi di wilayahnya. Dukungan pemilih paling banyak, misalnya, diraih AA Oni Suwarman dari Jawa Barat. Sebanyak 4.132.681 dukungan berhasil diraup anggota DPD yang dikenal berprofesi sebagai pelawak tersebut. Dengan jumlah dukungan sebanyak itu, dapat dikatakan ia merebut 12,7 persen dari total 32.636.846 pemilih Jawa Barat.
Jika dibandingkan dengan capaian partai politik dalam Pemilu 2019, jumlah suara dukungan terhadap Oni Suwarman ini hanya dikalahkan oleh Gerindra, pemenang Pemilu di Jawa Barat dengan dukungan 4.320.050 pemilih. Jumlah dukungan Oni Suwarman masih di atas PDI-P, PKS, dan partai-partai politik lainnya.
Selain Oni Suwarman di Jawa Barat, terdapat Evi Zainal Abidin di Jawa Timur yang meraih dukungan tertinggi. Evi yang sebelumnya dikenal sebagai anggota DPR periode 2014-2019 dari Partai Demokrat itu mampu meraih 2.416.663 dukungan. Dukungan terhadap sosoknya sebagai anggota DPD melonjak drastis jika dibandingkan dengan capaiannya saat melenggang ke bangku DPR. Saat ia mewakili Dapil Jawa Timur II, suara dukungannya hanya 43.122 suara.
Di Jawa Tengah, ada sosok Denty Eka Widi Pratiwi, petahana anggota DPD periode 2014-2019. Pada periode lalu, mantan panitia pengawas pemilihan umum Gubernur Jawa Tengah itu mengumpulkan dukungan 1.901.163 suara. Sekarang ia mampu meningkatkan dukungan lebih banyak lagi. Tercatat suara dari 2.347.604 pemilih diraihnya.
Terdapat beberapa nama lagi yang mencatatkan dukungan jutaan suara sekaligus menjadi 10 besar peraih dukungan terbanyak. Terdapat AA La Nyalla Mahmud Mattalitti yang kini menjadi ketua DPD, Casytha A Kathmandu, Bambang Sutrisno, Abdul Kholik, Ahmad Nawardi, Amang Syafrudin, dan Adilla Azis. Semuanya berasal dari provinsi-provinsi di Jawa dengan jumlah pemilih yang besar (Tabel 2).
Jumlah pendukung yang besar tidak berarti proporsi dukungan yang mereka raih juga besar. Pendukung yang besar seperti yang diuraikan di atas terjadi pada wilayah yang memiliki jumlah pemilih besar, seperti Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah. Itulah mengapa, rata-rata proporsi dukungan dari setiap tokoh peraih suara terbanyak tidak sebesar jumlah pendukungnya.
Di samping besaran jumlah dukungan, terdapat pula para senator daerah yang meraih proporsi dukungan tertinggi. Dapat dikatakan, mereka inilah sosok-sosok anggota DPD dengan derajat keterwakilan daerah yang paling tinggi.
Keterwakilan tertinggi masih dikuasai oleh Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hemas. Di Daerah Istimewa Yogyakarta, GKR Hemas mengumpulkan dukungan 984.234 pemilih. Jumlah tersebut sama dengan 36,5 persen pemilih di DI Yogyakarta. Hebatnya, keterpilihannya saat ini menjadi yang ketiga kalinya sebagai anggota DPD.
Hanya saja, saat ketiga kali merebut kursi DPD, jumlah dukungan yang dikumpulkan menurun dibandingkan dengan Pemilu 2014. Saat itu, ia menguasai 37,2 persen suara pemilih atau 1.017.687 dukungan.
Selain GKR Hemas, terdapat tokoh komedian Aceh, Sudirman, yang kali ini kian melebarkan pengaruh. Pada pemilu lalu, ia meraih dukungan 960.033 pemilih atau 27,8 persen dari total suara pemilih di Aceh. Padahal, pada Pemilu 2014, ia meraih hanya 136.964 dukungan atau 4,11 persen.
Keberhasilan Sudirman tergolong fenomenal. Seperti yang terjadi pada Oni Suwarman di Jawa Barat, Sudirman mampu meningkatkan dukungan secara signifikan dan meninggalkan jauh pesaingnya, yakni nama besar di Aceh seperti Abdullah Puteh ataupun Facrul Razi yang kali ini juga lolos sebagai anggota DPD.
Selain pelawak, sosok mantan kepala daerah masih memiliki derajat keterpilihan yang tinggi. Nama mantan gubernur provinsi tempat mereka bermukim, seperti Fadel Mulammad di Provinsi Gorontalo dan Agustin Teras Narang di Kalimantan Tengah, berhasil meraih dukungan di atas 20 persen dari total pemilih di provinsi masing-masing (Tabel 3).
Dukungan kecil
Memang tidak semua senator mencatat angka dukungan ataupun derajat keterpilihan yang tinggi. Terdapat pula beberapa senator yang memiliki jumlah dukungan kecil. Senator dari luar Jawa, terutama di Kalimantan Utara, provinsi yang belum lama berdiri, adalah salah satu contohnya.
Pada provinsi ini, hanya tercatat 429.338 pemilih. Setidaknya tiga tokoh berhasil lolos menjadi anggota DPD dengan jumlah dukungan di bawah 30-an ribu pemilih. Adapun Fernando Sinaga dinyatakan lolos menjadi senator daerah, dengan jumlah dukungan terendah, yakni 22.211 pemilih. Demikian pula Hasan Basri yang memiliki jumlah dukungan 22.672 pemilih. Keduanya, dari sisi derajat representasi ataupun keterpilihannya berada pada kisaran 5 persen.
Besaran dan peningkatan dukungan yang berhasil dimiliki para anggota DPD kali ini menjadi menarik dicermati, terutama dikaitkan dengan problem eksistensi politik yang dihadapi kelembagaan DPD selama ini. Betapa tidak, hingga menjejak periode keempat kehadirannya dalam panggung politik representasi di Indonesia, ada lebih banyak mencuat persoalan-persoalan ketimbang prestasi dan kinerja lembaga ini.
Ada dua persoalan DPD yang hingga kini belum terselesaikan. Pertama, hal yang terkait dengan lemahnya kewenangan institusi DPD dibandingkan dengan DPR. Dalam pembuatan undang-undang, misalnya, kewenangan DPD hanya menyangkut pengajuan dan pembahasan RUU, serta pengawasan undang-undang, khususnya yang terkait dengan daerah. Ironisnya, semua tugas itu pun hanya berlangsung hingga pada tingkatan terbatas.
Kedua, sepanjang kehadirannya, DPD tidak lepas dari konflik dan sengketa dalam tubuhnya. Masuknya tokoh-tokoh yang dikenal sebagai pengurus teras partai politik kadang mengundang persoalan. Begitu pula sengketa antaranggota DPD yang bermuara pada perebutan kursi kepemimpinan DPD.
Segenap persoalan yang mencuat membuat pamor DPD redup. Oleh karena itu, menjadi menarik ketika hasil Pemilu 2019 justru menunjukkan kepercayaan yang lebih besar pada sosok-sosok yang menjadi anggota DPD. Pertanyaannya, apakah besaran keterwakilan yang dimiliki akan menjamin semakin besar prestasi mereka?
(Bestian Nainggolan, Litbang Kompas)