PT Bank Central Asia (Tbk) memperluas segmentasi lini bisnis pengelolaan aset kekayaan atau wealth management yang selama ini identik dengan nasabah prioritas.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - PT Bank Central Asia (Tbk) memperluas segmentasi lini bisnis pengelolaan aset kekayaan atau wealth management yang selama ini identik dengan nasabah prioritas. Lewat aplikasi ponsel pintar, perusahaan kini mengincar pangsa pasar baru dari generasi yang lebih muda.
Dalam gelaran Indonesia Knowledge Forum (IKF) VIII 2019 di Jakarta, Selasa (8/10/2019), Bank Central Asia (BCA) meluncurkan aplikasi bernama Welma. Aplikasi ini dapat digunakan nasabah BCA untuk mendapat edukasi investasi sekaligus lakukan transaksi portofolio obligasi dan reksa dana.
Presiden Direktur BCA Jahja Setiaatmadja mengatakan Welma diluncurkan untuk memacu bisnis dana kelolaan nasabah. Lewat aplikasi ini nasabah dapat membeli atau menjual produk investasi, memantau portofolio investasi, dan mencari informasi produk asuransi dengan mudah melalui aplikasi itu.
BCA berusaha untuk terus beradaptasi dengan perubahan perilaku dan gaya hidup pelanggan dengan terus melakukan transformasi teknologi. Lewat aplikasi ini BCA coba membantu penjualan obligasi pemerintah dan produk-produk reksa dana terbitan manajer investasi.
Namun untuk saat ini aplikasi Welma baru dapat digunakan untuk melakukan transaksi di pasar perdana. “Mungkin di awal tahun depan, kami akan siapkan produk-produk portofolio untuk pasar sekunder untuk pengguna aplikasi Welma,” ujar Jahja.
Dalam menjalankan bisnis perbankan, lanjut Jahja, BCA mencermati pentingnya investasi bagi masyarakat usia muda di Indonesia. Hal ini membuat perusahaan terus berinovasi dalam menciptakan aplikasi berbasis digital untuk memudahkan masyarakat melakukan investasi.
Wakil Presiden Direktur BCA Suwignyo Budiman mengatakan saat ini, BCA hadir sebagai bank yang bertransformasi dengan tidak hanya menjalankan bisnis fungsi intermediasi tapi mulai menyediakan fitur atau layanan yang sesuai dengan kebutuhan nasabah.
“BCA fokus pada seluruh kebutuhan nasabah, tidak hanya pembiayaan dan tabungan, tetapi juga yang sifatnya pribadi seperti dana kelolaan. Transformasi bisnis perbankan akan melayani apapun kebutuhan nasabah,” ujarnya.
Sementara itu, SEVP Wealth Management BCA Christine Setyabudhi menyampaikan dana kelolaan (asset under management/AUM) dari lini bisnis pengelolaan aset BCA hingga September 2019 tercatat sebesar Rp 55 triliun. Angka ini, menurut dia, tumbuh 40 dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Meskipun lini bisnis wealth management baru berkontribusi 5 persen terhadap seluruh pendapatan komisi (fee based income/FBI), Christine mengharapkan bisnis lini bisnis ini dapat terus melanjutkan tren pertumbuhan positif.
“Langkah perseroan merambah digital untuk bisnis wealth management memungkinkan perseroan menjangkau segmen nasabah yang lebih banyak jumlahnya seperti milenial, sehingga bisnis ini tidak hanya melayani nasabah prioritas saja,” ujarnya.
Dana kelolaan (asset under management/AUM) dari lini bisnis pengelolaan aset BCA hingga September 2019 tercatat sebesar Rp 55 triliun
Diversifikasi
Iklim investasi dalam negeri masih dipengaruhi oleh kondisi ekonomi global dan politik Indonesia yang bergejolak di akhir periode pemerintahan Presiden Joko Widodo periode pertama, 2014-2019. Kondisi ini membuat Bank Commonwealth merekomendasikan investor melakukan diversifikasi investasi guna meminimalisir risiko.
Dalam keterangan resminya, Head of Wealth Management & Client Growth Bank Commonwealth Ivan Jaya mengatakan diversifikasi investasi perlu dilakukan untuk meminimalisir risiko kerugian di saat kondisi pasar modal sedang tidak menentu.
Menurut dia, reksa dana dan obligasi saat ini dapat menjadi pilihan diversifikasi investasi yang tepat. Pasalnya berdasarkan data historis, pasar saham Indonesia memasuki tren positif pada triwulan keempat. Adapun pasar obligasi berpotensi menguat saat memasuki tren penurunan suku bunga.
Investor saham, lanjut Ivan, dapat melakukan diversifikasi investasi ke obligasi ritel seperti ORI 016 yang bisa dibeli secara daring untuk meraup hasil yang optimal. Terlebih, kondisi ekonomi global masih dipenuhi sentimen seputar potensi perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China yang masih belum menemukan titik terang.
“Indonesia masih menjadi sasaran investor asing, karena saat ini investor asing cenderung menyukai surat hutang negara atau obligasi dibandingkan dengan pasar saham,” ujarnya.