Kebakaran hutan dan lahan di Gunung Ciremai, Jawa Barat, sejak Jumat (4/10/2019) dapat dipadamkan Selasa (8/10). Balai Taman Nasional Gunung Ciremai masih menutup jalur pendakian.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·3 menit baca
KUNINGAN, KOMPAS – Kebakaran hutan dan lahan di Gunung Ciremai, Jawa Barat, sejak Jumat (4/10/2019) dapat dipadamkan Selasa (8/10). Meski demikian, petugas masih berjaga mengantisipasi kemunculan titik api baru. Balai Taman Nasional Gunung Ciremai juga masih menutup jalur pendakian.
Kepala Seksi I Wilayah Kuningan Balai Taman Nasional Gunung Ciremai San Andre Jatmiko mengatakan, kebakaran hutan dan lahan di wilayah Kuningan dipadamkan Selasa sekitar pukul 01.00 Wib. Pemadaman dilakukan puluhan petugas dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Kuningan, Balai TNGC, TNI, Polri, dan komunitas pecinta alam.
Sebelumnya, kebakaran berawal dari Blok Awilega, Desa Bantaragung, Kecamatan Sindawangi, Kabupaten Majalengka, Jumat, sekitar pukul 11.00 Wib. Api lalu merambat ke Kebun Raya Kuningan dan memasuki Blok Cijaha, Desa Padabeunghar, Kecamatan Pasawahan, Kuningan, pada ketinggian 600 meter di atas permukaan laut pada Minggu (6/10).
Petugas berhasil memadamkan "si jago merah" di blok tersebut. Namun, Senin (7/10), titik api baru muncul di Blok Erpah, Desa Cibuntu, Kecamatan Pasawahan dan Blok Liang Angin/Cibedug yang merupakan perbatasan Kuningan dan Majalengka pada ketinggian 1.000–1.200 mdpl. Api berhasil dikendalikan Selasa dini hari setelah petugas membuat sekat bakar.
Metode pembuatan sekat bakar dilakukan dengan membabat ilalang hingga menyisakan tanah dan batu membetuk parit selebar dua meter hingga sepuluh meter. Ilalang ditumpuk di sepanjang jalur bekas pangkasan. Dengan begitu, api hanya akan membakar ilalang yang sudah terpisah dengan parit sehingga api tidak menjalar ke pepohonan lainnya. Sekat bakar juga menjadi jalur bagi warga untuk memadamkan api.
“Kendala pemadaman adalah lokasi yang dipenuhi batu cadas sehingga sulit mengerahkan personel dan peralatan. Angin kencang juga membuat api mudah merambat ke tempat lain,” kata Andre.
Selain itu, banyak tanaman perdu dan ilalang kering menjadi bahan bakar utama api. Pihaknya juga menyiagakan empat petugas untuk mengamati dan mengantisipasi kemunculan titik api baru di Kuningan.
Kepala BPBD Majalengka Agus Permana mengatakan, hingga Selasa pukul 18.00 Wib, api sudah bisa dipadamkan. “Namun, masih ada petugas yang siaga dan melakukan pendinginan. Asap juga masih terlihat. Kami juga meminta masyarakat di sekitar Ciremai agar tidak membakar lahan karena dapat memicu kebakaran hutan,” ucapnya.
Tidak ada korban jiwa dalam kebakaran yang melanda gunung tertinggi di Jabar itu. Namun, diperkirakan lebih dari 80 hektar kawasan gunung setinggi 3.078 mdpl itu hangus terbakar. Areal terbakar berupa pohon pinus, puspa, huru, kaliandra, dan semak-semak.
Jalur pendakian ditutup
Kepala Balai TNGC Kuswandono mengatakan, meskipun api dapat dikendalikan, pihaknya masih menutup jalur pendakian ke Gunung Ciremai sejak 7 Agustus lalu. Saat itu, sekitar 300 hektar kawasan Ciremai terbakar. Apinya juga berawal dari Majalengka.
“Penutupan ini untuk menjaga keselamatan pendaki. Waktunya belum ditentukan. Kami berharap jalur kembali dibuka setelah tidak ada kebakaran dan hujan sudah turun satu atau dua kali,” ungkapnya.
Setiap hari, Balai TNGC menetapkan kuota 1.600 pendaki. Tahun lalu, sebanyak 48.995 orang mendaki Gunung Ciremai.
Menurut Kuswandono, penutupan jalur pendakian wajar dilakukan saat musim kemarau yang rentan kebakaran.
Balai TNGC mencatat, lahan yang terbakar tahun 2013 seluas 14,96 hektar. Pada tahun 2014 meningkat menjadi 266,034 ha dan melonjak lagi menjadi 666,9 ha setahun kemudian.
Setelah tak ada kebakaran sepanjang 2016, api muncul lagi setahun kemudian. Saat itu, luas lahan terbakar 107 ha. Tahun 2018, lebih dari 1.400 ha lahan yang terbakar. Upaya bom air juga dilakukan saat itu.
Prakirawan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Stasiun Meteorologi Kertajati Ahmad Faa Izyn mengatakan, musim hujan di wilayah Kuningan diprediksi terjadi akhir November 2019. “Musim hujan kali ini mundur 20 hari hingga 30 hari dibandingkan kondisi normal,” ujarnya.