Belajar Mengayomi dari Wayang Kapi-kapi Keraton Yogyakarta
Area Tugu Pal Putih, Yogyakarta, di sisi utara Jalan Malioboro, Senin (7/10/2019) malam, berubah sangat ramai. Perhatian kerumunan massa tersedot pada sosok-sosok dengan kostum mencolok dan unik yang berlarian lincah.
Oleh
HARIS FIRDAUS/NINO CITRA ANUGRAHANTO
·6 menit baca
Area Tugu Pal Putih, Yogyakarta, di sisi utara Jalan Malioboro, Senin (7/10/2019) malam, berubah sangat ramai. Perhatian kerumunan massa tersedot kepada sosok-sosok dengan kostum mencolok dan unik yang bergerak lincah. Ada sosok berkepala harimau dengan badan dan ekor kera (Kapi Harima) atau perpaduan kera dan kepiting (Kapi Kingkin). Itulah karakter wayang kapi-kapi yang meramaikan Wayang Jogja Night Carnival 2019.
Wajah-wajah antusias tampak di antara kerumunan karena tokoh utama karnaval itu tak biasa. Suasana sangat semarak dan menggembirakan, bermandikan cahaya. Malam itu berbeda dari biasanya. Sebab, jalan itu setiap harinya hanya dipadati kendaraan atau anak-anak muda yang berkerumun di area tugu ikon Kota Yogyakarta itu.
Malam itu, ribuan orang tumpah ruah di lokasi acara di Jalan Jenderal Soedirman, Tugu Pal Putih, Yogyakarta, hingga Jalan Margo Utomo. Kota Yogyakarta yang kental dengan tradisi berhasil menampilkan suguhan yang tak biasa. ”Saya senang, ini tidak biasa. Beda dengan wayang yang dikenal luas,” kata Tri Darmiyati (32), penonton yang juga warga Kotagede, Yogyakarta.
Kotagede merupakan salah satu kampung tua di Yogyakarta. Di sanalah dulu lokasi ibu kota Kerajaan Mataram Kuno.
Sosok-sosok manusia kera dengan kepala wujud binatang lain sebagai ciri khas wayang kapi-kapi jelas mendominasi perhatian. Tahun ini, panitia Wayang Jogja Night Carnival memang memilih wayang kapi-kapi sebagai tema sentral penampilan karnaval.
”Harapan kami, masyarakat bisa mengenal wayang kapi-kapi dan memaknai filosofinya dalam kehidupan sehari-hari. Wayang itu mengajarkan agar kita saling mengayomi meski memiliki pribadi berbeda-beda. Ini sangat pas untuk konteks seperti sekarang,” kata Sekretaris Dinas Pariwisata Kota Yogyakarta Yetti Martanti kepada pers.
Wayang Jogja Night Carnival merupakan acara tahunan berupa parade tokoh-tokoh wayang yang digelar sebagai puncak acara hari ulang tahun ke-263 Kota Yogyakarta. Gelaran karnaval keempat ini memilih karakter wayang kapi-kapi yang berasal dari Keraton Yogyakarta.
Yogyakarta adalah rumah bagi seluruh bangsa Indonesia sehingga layak disebut sebagai miniaturnya Indonesia. Kebinekaan bagi Yogyakarta adalah tradisi.
Ada 14 karakter wayang yang ditampilkan perwakilan dari 14 kecamatan di Kota Yogyakarta. Semua karakter merepresentasikan perpaduan kera dengan karakter binatang lainnya.
Selain Kapi Harima dan Kapi Kingkin, ada Kapi Wraha yang berbadan kera, tetapi berkepala babi hutan. Lalu, Kapi Warjita yang berbadan kera berkepala dan ekor cacing, Kapi Jaya Anala yang berwajah dan ekor kera tapi memiliki rambut menyerupai nyala api, Kapi Satabali yang berbadan kera dengan ekor dan kepala ayam, serta Kapi Liman Dhesthi yang merupakan perpaduan kera dan gajah.
Dalam cerita Ramayana versi Keraton Yogyakarta, karakter wayang kapi-kapi itu muncul sebagai pasukan yang membantu Prabu Ramawijaya menyerbu Alengka. Kelompok Kapi Harima menjadi salah satu pasukan yang mendukung perjuangan Prabu Ramawijaya membebaskan sang istri, Dewi Sita, yang diculik raksasa Rahwana.
Dalam peperangan itu, Kapi Harima sangat disegani bala tentara Alengka karena memiliki kekuatan dan kecekatan gabungan dari harimau dan kera. Kekuatan dan kecekatan itulah yang coba ditampilkan kembali para penari dari Kecamatan Mantrijeron, Kota Yogyakarta, dalam karnaval malam itu.
Ada juga Kapi Premujabahu yang berbadan kera hitam dan berkepala kumbang, Kapi Sembawa dengan badan dan ekor kera serta berkepala singa, Kapi Cocak Rawun yang menjadi perpaduan kera dan burung, Kapi Endrajanu yang berbadan dan ekor kera, tetapi berkepala kerbau; Kapi Widagsi yang memiliki badan kera dan kepala badak, Kapi Jaya Arina yang berbadan dan ekor kera, tetapi berkepala kijang; dan Kapi Trewilun yang berbadan dan ekor kera, tetapi berkepala kelinci.
Masing-masing tokoh Kapi itu memiliki kekuatan berbeda, bergantung karakter binatang yang melekat. Kapi Cocak Rawun, misalnya, memiliki kemampuan terbang yang bertugas memata-matai pergerakan musuh. Sementara itu, Kapi Kingkin ahli bertempur di lautan dan memiliki andil besar dalam membangun jembatan menuju Alengka.
Berbagai karakter itulah yang bahu-membahu menampilkan kesan semarak dan meriah sebaik-baiknya. Dilengkapi musik, atraksi kembang api, juga tarian yang kadang diwarnai unsur akrobatik, karnaval tokoh wayang kapi-kapi itu menjadi pertunjukan jalanan yang istimewa.
Sebagai sebuah karnaval, Wayang Jogja Night Carnival diharapkan kian mengungkit daya tarik wisatawan domestik ataupun mancanegara. Yetti Martanti mengatakan, acara tersebut menjadi salah satu pergelaran wisata unggulan di Yogyakarta. ”Ini jadi salah satu unggulan. Waktu agendanya sudah pasti, selalu digelar bertepatan dengan perayaan ulang tahun Kota Yogyakarta,” katanya.
Pesan khusus
Kehadiran karakter wayang kapi-kapi dalam Wayang Jogja Night Carnival bukan hanya bentuk pertunjukan dan hiburan. Kehadiran pasukan kera tersebut juga memiliki pesan khusus.
Selain mengenalkan kembali karakter-karakter wayang itu, kata Yetti, makna filosofisnya sangat relevan dengan kondisi sehari-hari saat ini. Wayang kapi-kapi mengajarkan sesama saling mengayomi.
Penghageng Kawedanan Hageng Punokawan Kridhamardawa Keraton Yogyakarta Kanjeng Pangeran Haryo (KPH) Notonegoro mengatakan, wayang kapi-kapi merupakan simbol persatuan dalam keberagaman. Meski memiliki bentuk sangat beragam dan terdiri atas binatang yang berbeda-beda, seluruh karakter ternyata bisa bersatu padu dalam satu tujuan, yakni membantu Prabu Ramawijaya melawan kesombongan Rahwana dari Kerajaan Alengka.
Pesan persatuan dan keberagaman itu sangat relevan dengan Kota Yogyakarta. Sebagai kota pelajar yang menampung banyak mahasiswa dari berbagai daerah di Indonesia, Yogyakarta memang memiliki elemen masyarakat sangat beragam.
Wayang kapi-kapi lahir pada masa Sultan Hamengku Buwono VIII (1880-1939) memimpin Keraton Yogyakarta. Pada masa itu, hadirnya wayang kapi-kapi merupakan wujud inovasi atau kreativitas baru karena karakter itu belum ada sebelumnya. ”Wayang ini hanya ada pada cerita Ramayana dari Keraton Yogyakarta,” kata Notonegoro yang merupakan menantu Raja Keraton Yogyakarta saat ini, Sultan Hamengku Buwono X.
Sinergi dan harmoni
Dalam sambutannya pada pembukaan Wayang Jogja Night Carnival, Wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Paku Alam X mengatakan, kebinekaan atau keberagaman merupakan ciri khas yang sudah melekat pada Yogyakarta sejak lama. ”Yogyakarta adalah rumah bagi seluruh bangsa Indonesia sehingga layak disebut sebagai miniaturnya Indonesia. Kebinekaan bagi Yogyakarta adalah tradisi,” katanya.
Paku Alam X menambahkan, meski memiliki keberagaman, berbagai elemen masyarakat di Yogyakarta mampu melakukan sinergi dan harmoni. Selain itu, sinergi juga terjadi antara beberapa pihak yang berbeda, seperti keraton yang menjadi representasi pemimpin, kampung yang merepresentasikan masyarakat, dan kampus yang menjadi simbol para intelektual.
”Di Yogyakarta, keraton, kampung dan kampus bisa menyinergikan potensi masyarakat dalam jalinan yang harmonis dan menyejahterakan. Sinergitas antara pengemban amanah budaya, masyarakat, dan kaum intelektual bisa terjadi dengan cair, di mana saja dan kapan saja tanpa memerlukan sebuah rekayasa sosial,” tutur Paku Alam X yang juga adipati di Kadipaten Pakualaman.
Wali Kota Yogyakarta Haryadi Suyuti mengatakan, ke depan, pemerintah dan masyarakat Kota Yogyakarta diharapkan bisa terus menjalin sinergi untuk menjadikan kota tersebut sebagai ruang hidup yang nyaman. Kota Yogyakarta juga diharapkan bisa mewujud menjadi kota yang humanis, baik dari sisi lingkungan, sosial, ekonomi, budaya, dan religi.
Peringatan HUT ke-263 Kota Yogyakarta itu merupakan tonggak harapan sekaligus semangat atas kebaikan yang sedang dan akan terus lestari sampai kapan pun.