Mulai Tahun Depan Musim Kemarau Lebih Kering dan Panas
Curah hujan selama musim kemarau akan turun 20 persen. Suhu udara juga bakal meningkat. Upaya-upaya mitigasi bencana akibat perubahan iklim itu perlu disiapkan lebih dini.
Oleh
FAJAR RAMADHAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mulai tahun 2020 hingga 10 tahun ke depan, musim kemarau di Indonesia diprediksi akan lebih kering dan panas. Upaya-upaya mitigasi bencana sebagai dampak perubahan iklim itu perlu disiapkan lebih dini. Di antaranya mitigasi kekeringan dan mencegah kebakaran hutan dan lahan yang selalu terjadi setiap kali musim kemarau.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memprediksi, musim kemarau pada periode 2020-2030 lebih panas dibandingkan dengan periode 2006-2016. Khususnya pada Juni-Agustus, curah hujan diperkirakan turun rata-rata sebesar 20 persen.
”Prediksi tersebut diketahui berdasarkan simulasi proyeksi iklim yang kami lakukan,” ujar Kepala Bidang Analisis Variabilitas Iklim BMKG Indra Gustari dalam lokakarya bertajuk ”Optimalisasi Pencegahan dan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan serta Kabut Asap”, di Jakarta, Selasa (8/10/2019).
Tak hanya curah hujan, suhu udara dalam 10 tahun mendatang juga diproyeksikan meningkat rata-rata 0,5 derajat celsius. Khusus wilayah Papua, kenaikannya diprediksi lebih tinggi atau hampir mencapai 1 derajat celsius. Kenaikan suhu udara tersebut tak lepas dari perubahan iklim yang diakibatkan efek gas rumah kaca.
Kontras dengan saat musim kemarau, pada musim hujan, jumlah hari hujan lebat justru diprediksi akan meningkat.
”Sementara curah hujan pada periode musim hujan Desember, Januari, Februari tidak akan berubah. Hanya saja, jumlah hari hujan lebatnya yang akan meningkat,” ujar Indra.
El Nino kuat
Sekalipun musim kemarau diprediksi lebih kering, BMKG belum melihat potensi terjadinya El Nino berstatus kuat.
El Nino adalah gejala penyimpangan berupa peningkatan suhu muka laut secara signifikan di Samudra Pasifik sekitar ekuator, khususnya bagian tengah dan timur (Kompas, 31/7/2015). El Nino dikatakan kuat saat nilai indeks ENSO (El Nino Southern Oscillation) sudah lebih dari 2 derajat celsius, yang menunjukkan suhu muka laut di Samudra Pasifik berselisih 2 derajat celsius dibandingkan dengan suhu rata-rata normalnya.
Seiring dengan kenaikan status kekuatan, jumlah uap air yang tersedot ke Pasifik tengah dan timur kian besar sehingga potensi kekeringan lebih tinggi dibandingkan jika El Nino tetap moderat. El Nino paling kuat di Indonesia terjadi tahun 1997.
https://youtu.be/w16RbCr-YSs
Kendati demikian, proyeksi iklim yang disampaikan BMKG penting untuk diwaspadai. Langkah mitigasi bencana hidrometeorologis, kekeringan, hingga kebakaran hutan dan lahan mesti dilakukan.
Peneliti Ahli Utama Litbang Sumber Daya Alam Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Budi Triadi, menjelaskan pentingnya pengelolaan air di lahan gambut untuk mencegah kebakaran hutan dan lahan. Air tersebut harus disimpan dan dikelola dengan baik saat musim hujan.
”Perlu ada sistem berbagi air dalam kesatuan hidrologis gambut. Jika bisa dikelola lintas sektor, air tidak akan habis,” katanya.
Budi menyarankan agar areal tertinggi atau kubah pada lahan gambut tidak dikelola karena wilayah itu bisa berfungsi sebagai zona penyangga. Saat hujan tiba, sebanyak 80-90 persen air akan tersimpan di sana. Dengan demikian, air akan mengalir sedikit demi sedikit melalui aliran air tanah pada musim kemarau.
”Pengelolaan air secara alami lebih baik dan murah dibandingkan menahan air lewat sekat kanal atau membuat sumur bor,” ucapnya.
Kembalikan kodrat
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Doni Monardo mengatakan, kodrat lahan gambut harus dikembalikan, yakni basah, berair, dan rawa. Jika hal itu terjadi, kemungkinan kebakaran hanya terjadi pada bagian tanaman di permukaan, bukan lahan gambut.
Berdasarkan pengalaman penanganan kebakaran beberapa pekan terakhir, Doni menegaskan bahwa upaya pencegahan menjadi krusial. Upaya-upaya pemadaman sulit dilakukan mengingat kebakaran terjadi pada kedalaman gambut yang mencapai puluhan meter.
”Ada yang kedalamannya lebih dari 10 meter atau 20 meter. Bahkan, ada beberapa tempat yang kedalamannya mencapai 36 meter,” lanjutnya.
BNPB berencana membentuk kelompok kerja. Tim ini diharapkan bisa memberikan masukan serta perbaikan peraturan tentang pencegahan kebakaran hutan dan lahan.
Guna memperkuat upaya pencegahan tersebut, BNPB berencana membentuk kelompok kerja (pokja). Pokja akan segera dibentuk bulan ini. Pokja tersebut terdiri dari perwakilan pemerintah pusat, pemerintah daerah, TNI, Polri, akademisi, korporasi, tokoh daerah, dan media.
”Tim ini diharapkan bisa memberikan masukan serta perbaikan peraturan tentang pencegahan kebakaran hutan dan lahan,” kata Doni.
Deputi Bidang Sistem dan Strategi BNPB Wisnu B Widjaja mengatakan, selama ini semua unsur memang telah melaksanakan tugasnya masing-masing dengan baik. Hanya saja, semuanya belum pernah berkolaborasi.
”Terlebih, upaya restorasi gambut idealnya dilakukan dengan batasan hidrologisnya, bukan administratif. Bisa jadi ada wilayah konsesi yang terletak di areal tertinggi atau kubah gambut. Hal itu perlu dicarikan solusi,” tuturnya.
Managing Director PT Triputra Agro Persada Sutedjo Halim selaku perwakilan dari korporasi mengatakan siap berkontribusi mencegah kebakaran hutan dan lahan. Menurut dia, pencegahan ke depan harus dilakukan lebih baik mengingat iklim yang dihadapi akan lebih panas.
”Kami akan terus meningkatkan kontribusi mulai dari pembinaan hingga pelatihan, baik bagi karyawan maupun masyarakat. Dukungan dari pemerintah daerah juga dibutuhkan untuk menggerakkan semua sumber daya,” ujarnya.