Saat Osing dan Jerman Bertemu di Pelaminan
Bertahun-tahun tinggal di Jerman, Siti Aminah memilih kembali ke desanya di Banyuwangi. Ia memilih menikah dengan David, pria asal Jerman, pililhan hatinya, dengan adat Osing, suku asli Banyuwangi.
Kebahagiaan yang terpancar dari wajah Siti Aminah dan David Borowski juga dirasakan sejumlah warga desa yang ikut mengarak keduanya di sepanjang jalan Desa Kemiren. Pasangan Indonesia-Jerman itu merayakan pernikahan mereka dalam balutan budaya Osing, suku asli Banyuwangi.
Tabuhan gamelan, angklung, dan rancak kendang mengiringi jalannya rombongan pengantin. Nuansa pernikahan Osing (suku asli Banyuwangi) sangat kental terasa karena selain musik, para pengiring juga mengenakan busana adat Osing. Para pria mengenakan udeng (ikat kepala) khas Osing, sedangkan para wanita tampak anggun dengan balutan kebaya hitam lengkap dengan rambut disanggul.
Busana tersebut tidak hanya digunakan oleh masyarakat Osing, tetapi juga sejumlah warga negara asing yang menghadiri pesta pernikahan tersebut. Jangan heran kalau melihat sanggul berwarna pirang karena wanita yang menggunakan memiliki rambut aslinya. Mereka ialah keluarga Borowski yang berasal dari Jerman.
Baca juga : Indahnya Seni Budaya Osing Banyuwangi
Pesta pernikahan pada Sabtu (5/10/2019) yang digelar dalam balutan adat Osing ini merupakan upacara adat untuk menyatukan cinta David Borowski (44) yang menikahi Siti Aminah (44), warga Pakis, Banyuwangi. Secara resmi, keduanya sudah menikah dua tahun lalu di Kastil Wernigerode yang terletak di Pegunungan Harz, Jerman.
Upacara pernikahan mereka di Banyuwangi merupakan rangkaian upacara pernikahan adat Osing sekaligus resepsi pernikahan mereka bagi keluarga di Indonesia. Kecintaan kedua mempelai terhadap budaya membuat keduanya memutuskan untuk menggelar pesta pernikahan dalam budaya Osing.
David dan Mimin (panggilan Siti Aminah) mula-mula diarak keliling desa. Keduanya menaiki dongkar (dokar-kereta kuda) yang sudah dihiasi aneka ornamen khas Banyuwangi. Arak-arakan semakin semarak karena Barong dan Pitik-Pitikan juga ikut dalam rombongan bersama para penabuh gamelan.
Baca juga : Merawat Tradisi Osing
Di bagian depan, seorang sesepuh adat membawa bokor berisi beras kuning bercampur kembang setaman dan uang koin. Sembari berjalan, isi bokor dihambur-hamburkan. Uang koin yang ikut dihamburkan menjadi rebutan anak-anak kecil.
Setibanya di lokasi pernikahan, David dan Mimin, dipandu tetua adat, melangsungkan upacara adat pernikahan Osing. Di depan pelaminan, David dan Mimin berdiri saling berhadapan. Tetua adat menuntun keduanya berjabatan dengan posisi ibu jari saling beradu.
”Ikai arane nyadokaken. Jempole hang lanang ambi hang wadon digathukaken. Jempole hang lanang kudu luwih dhuwur (Ini namanya nyadokaken. Ibu jari mempelai pria dan wanita disatukan. Ibu jari mempelai pria harus lebih tinggi,” ujar Reyes, tetua adat Mondoluko.
Nyadokaken merupakan tahapan untuk melihat apakah kedua mempelai pantas bersanding sebagai suami istri. Ibu jari pria harus lebih tinggi karena melambangkan ia sebagai kepala rumah tangga.
Selanjutnya, David diharuskan berdiri menginjak sapu korek atau sapu ijuk yang sudah tua. Sementara Mimin duduk bersimpuh di hadapannya. Mimin lantas mengusap kaki David dengan pitung tawar, cairan berwarna kuning yang berasal dari campuran air dan beras kuning yang ditumbuk. Setelah itu, Mimin kembali mengusapkan banyu arum, air yang sudah dicampur dengan kembang setaman.
”Sapu korek melambangkan harapan agar mereka setia hidup sampai tua. Pitung tawar diusapkan agar mempelai pria tahan uji mental dan bebas dari segala gangguan, sedangkan banyu arum agar setiap langkah hidup mempelai memancarkan kebaikan yang harum,” tutur Reyes.
Baca juga : Desa Kemiren yang Kental Osing-nya
Dalam tahapan tersebut, mempelai wanita dengan sungguh-sungguh melakukannya untuk sang suami. Tindakan ini merupakan lambang kepatuhan seorang istri kepada suaminya.
Sapu korek melambangkan harapan agar mereka setia hidup sampai tua. Pitung tawar diusapkan agar mempelai pria tahan uji mental dan bebas dari segala gangguan, sedangkan banyu arum agar setiap langkah hidup mempelai memancarkan kebaikan yang harum.
Suasana pernikahan semakin meriah karena maestro gandrung Temu Misti ikut tampil menghibur semua keluarga dan tamu undangan yang hadir. Temu menyanyikan sejumlah tembang dengan iringan gamelan, angklung, dan biola yang dimainkan seniman lokal.
Baca juga : Di Balik Gandrung yang Melegenda
Keputusan David dan Mimin untuk merayakan pernikahan adat Osing bukan sebuah kesalahan. Melalui upacara adat tersebut, segala doa-doa baik dan harapan tercurah bagi mereka.
Mimin dan David bertemu empat tahun lalu melalui aplikasi Tinder. Kala itu keduanya tinggal berjarak 100 kilometer. Mimin di Bremen, sedangkan David di Hamburg.
Kendati sudah 21 tahun lebih tinggal di Jerman, kecintaan Mimin terhadap akar budaya Osing tidak hilang. Hal itu senada dengan David yang juga sangat mencintai budaya dan nilai-nilai tradisional.
Baca juga : Tradisi Keboan Aliyan, Wujud Syukur Kaum Agraris
”Saya sangat suka budaya tradisional dari mana pun itu asalnya. Bagi saya, budaya itu melambangkan sesuatu yang berlangsung lama, bahkan abadi. Kecintaan saya terhadap budaya juga saya tuangkan dalam tato di tubuh saya. Ini corak budaya Jepang,” ujar David sambil menunjukkan tato yang hampir menutup setengah badannya.
David mengaku ia tidak tahu makna dari upacara yang baru saja ia jalani. Namun, ia merasakan ada kekuatan, keindahan, dan energi dari rangkaian upacara adat tersebut.
Saya sangat suka budaya tradisional dari mana pun itu asalnya. Bagi saya, budaya itu melambangkan sesuatu yang berlangsung lama, bahkan abadi.
Keputusan untuk menggelar upacara adat pernikahan Osing ini tidak lepas dari pengalaman mereka beberapa kali ke Banyuwangi. Setiap berlibur ke Banyuwangi, mereka kerap diajak melihat aneka upacara tradisional Osing oleh budayawan Banyuwangi, Aekanu Hariyono.
Dari sanalah rasa cinta terhadap budaya Osing semakin tebal. Hingga akhirnya, Mimin memberanikan diri untuk menawarkan kepada David agar menggelar pernikahan adat Osing di Banyuwangi.
”Saya bersyukur upacara adat ini bisa terlaksana. Saya bisa menunjukkan latar belakang keluarga saya kepada keluarga David. Mereka ternyata sangat senang bisa mengikuti upacara adat Osing ini, sesuatu yang mungkin tak pernah mereka bayangkan sebelumnya,” tutur Mimin, yang bekerja sebagai pramugari kereta api di Jerman.
Upacara tradisional Osing tersebut tidak hanya membuat David dan Mimin bahagia. Ahmad, warga Banyuwangi yang ikut menyaksikan pernikahan pasangan beda negara itu, juga turut bahagia.
”Anak saya bahagia karena bisa ikut rebutan uang koin yang disebar oleh tetua adat. Secara tidak langsung ini juga menjadi pelajaran tentang budaya tradisional Osing kepada anak saya. Saya juga ikut bangga karena sebagai Lare Osing (anak Osing), saya bisa melihat orang luar negeri menghargai adat budaya saya,” tuturnya.
Dalam pesta pernikahan adat tersebut, hadir pula Christina Asche, warga Polandia yang juga merupakan bibi dari David. Christina sore itu tampil anggun mengenakan sanggul dari rambut aslinya yang berwarna pirang.
”Hari ini menjadi hari yang luar biasa bagi keluarga kami. Bagi kami, ini bukan hanya pesta pernikahan, ini lebih dari itu. Saya suka musiknya, saya suka kostumnya, saya suka makanannya, saya suka semua. Luar biasa,” tuturnya.
Sepanjang acara, Christina sangat gembira. Tangannya tak pernah lepas dari telepon genggam yang mengabadikan setiap momen di hadapannya. Sesekali ia juga berfoto dengan penduduk lokal yang hadir.
Pernikahan David dan Mimin tak hanya menyatukan cinta mereka. Ibu jari mereka telah nyadokaken (menyatukan) keluarga dan budaya yang berbeda. Karakter masyarakat Osing yang terbuka dan sangat egaliter tampak dalam pernikahan tersebut.
Budaya Osing yang berdampingan dengan budaya Jerman mengulang kolaborasi Eropa dan Osing dalam musik tradisional Banyuwangi. Lihat saja, biola yang selalu ada di antara gamelan dan angklung Banyuwangi. Di sana, alat musik Eropa bersanding dengan alat musik tradisional membangun sebuah harmoni.