Penderita Skizofrenia Bisa Pulih dan Beraktivitas Normal
Melalui pengobatan dan terapi yang tepat, penderita skizofrenia bisa pulih dan beraktivitas secara normal. Dukungan dan pendampingan dari keluarga serta orang-orang terdekat juga sangat penting.
Melalui pengobatan dan terapi yang tepat, penderita skizofrenia bisa pulih dan beraktivitas secara normal. Selain itu, dukungan dan pendampingan dari keluarga serta orang-orang terdekat juga sangat penting untuk memulihkan orang dengan skizofrenia.
”Pertama memang harus minum obat dulu. Obat dengan jenis yang benar dan dosis yang tepat. Setelah itu baru proses psikoterapi,” kata penyintas skizofrenia, Andriyani Widyaningtyas (48), saat ditemui di Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Rabu (2/10/2019).
Pertama memang harus minum obat dulu. Obat dengan jenis yang benar dan dosis yang tepat.
Andriyani menuturkan, dirinya mengalami gejala skizofrenia sejak 2004 saat masih bekerja di perusahaan swasta di Jakarta. Waktu itu, ketika pertama kali gejala skizofrenia muncul, Andriyani berteriak-teriak dan berbicara tak jelas di kantor. Setelah itu, dia langsung dibawa ke rumah sakit jiwa di Jakarta untuk mendapat perawatan.
Ketika pertama kali dibawa ke rumah sakit jiwa, Andriyani berontak. Saat itu, dia mengalami kondisi paranoid yang membuatnya merasa takut serta tidak percaya kepada dokter dan petugas kesehatan yang merawatnya.
Pada masa-masa awal, petugas pun terpaksa mengikat kaki dan tangan Andriyani agar dia tak melawan. ”Saya dirawat di rumah sakit itu selama seminggu. Waktu pertama kali, tangan dan kaki saya sempat diikat,” kata perempuan lulusan perguruan tinggi negeri di Yogyakarta itu.
Setelah kondisinya cukup pulih, Andriyani diperbolehkan pulang dari rumah sakit jiwa. Meski begitu, dia mesti meminum obat dan mengikuti konseling secara rutin. Namun, Andriyani ternyata tidak patuh dengan perintah dokter untuk minum obat secara rutin. ”Obatnya justru saya buang karena saya pikir obat itu akan membuat ketergantungan,” katanya.
Akibatnya, pada 2005, gejala skizofrenia yang dialami Andriyani kembali kambuh. Saat itu, Andriyani bahkan sempat mengalami halusinasi yang mendorong dirinya untuk meninggalkan anaknya sendirian di pinggir jalan yang berjarak sekitar 3 kilometer dari rumahnya di Tangerang, Banten. Padahal, saat itu, sang anak masih berusia empat tahun.
”Aku dapat halusinasi yang parah banget. Jadi, aku kayak disuruh ngajak anak keluar rumah. Setelah itu, aku ajak anakku keluar rumah, lalu aku dapat bisikan suruh ninggalin anakku. Jadi, aku tinggalin anakku di dekat perempatan, sementara aku pulang naik angkot,” ujar Andriyani.
Aku dapat halusinasi yang parah banget. Jadi, aku kayak disuruh ngajak anak keluar rumah. Setelah itu, aku ajak anakku keluar rumah, lalu aku dapat bisikan suruh ninggalin anakku.
Untungnya, anak Andriyani berhasil pulang ke rumah dengan diantar seorang tukang ojek yang kasihan melihat sang anak menangis sendirian di pinggir jalan. Kebetulan, sang anak bisa menyebutkan alamat rumah Andriyani sehingga ia bisa diantar pulang dengan selamat.
Pada waktu-waktu tertentu, Andriyani juga mengalami gangguan psikomotorik yang membuatnya kesulitan melakukan aktivitas sederhana, seperti mandi dan menyisir rambut. ”Pas saat parah-parahnya banget, aku enggak bisa mandiri, enggak bisa menyisir rambut sendiri,” ungkapnya.
Setelah kambuh pada 2005, Andriyani dirawat di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sardjito, Yogyakarta, selama dua minggu. Setelah perawatan kedua itu, Andriyani masih enggan meminum obat secara rutin. Oleh karena itu, pada 2011, gejala skizofrenianya kembali kambuh.
Andriyani mengatakan, setelah kambuh kembali itu, dirinya mulai menyadari pentingnya meminum obat secara rutin. Oleh karena itu, Andriyani mulai rutin mengonsumsi obat. ”Sampai sekarang, saya rutin mengonsumsi obat sehari sekali,” katanya.
Terapi
Selain rutin mengonsumsi obat, Andriyani juga mulai belajar melakukan psikoterapi secara mandiri. Kebetulan, saat kuliah, Andriyani menjalani studi di jurusan psikologi sehingga ia memiliki bekal pengetahuan untuk melakukan psikoterapi. Selain itu, dia juga belajar melakukan psikoterapi dari berbagai buku.
Salah satu bentuk psikoterapi yang dipraktikkan Andriyani adalah terapi kognitif untuk mengatasi halusinasi yang dialaminya. Terapi kognitif, antara lain, dilakukan dengan cara melakukan pembuktian bahwa halusinasi yang dialami ternyata tidak benar.
”Misalnya, aku mengalami halusinasi bahwa ada orang yang sedang bergunjing tentang aku di sebuah ruangan. Cara membuktikan bahwa itu hanya halusinasi itu, ya, aku harus datang ke ruangan itu. Kalau di sana ternyata enggak ada orang yang ngomongin aku, berarti itu hanya halusinasi,” ujar Andriyani.
Andriyani juga menjalani sejumlah aktivitas yang secara tidak langsung menjadi bentuk terapi baginya. Salah satunya adalah melakukan perjalanan ala backpacker ke sejumlah tempat bersama temannya. Pada 2015, misalnya, Andriyani bersama seorang temannya melakukan perjalanan darat dari Singapura ke Malaysia dan Thailand.
Andriyani juga menjalani sejumlah aktivitas yang secara tidak langsung menjadi bentuk terapi baginya. Salah satunya adalah melakukan perjalanan ala backpacker ke sejumlah tempat bersama temannya.
”Aku backpacker-an itu untuk melatih bagaimana bergaul dengan orang asing, bagaimana menghadapi situasi yang baru, bagaimana menumbuhkan kepercayaan sama teman satu perjalanan,” ujar Andriyani.
Andriyani juga belajar make up atau merias wajah serta berlatih fotografi untuk melatih kemampuan psikomotoriknya. Hal ini karena orang dengan skizofrenia biasanya juga mengalami gangguan psikomotorik. Saat ini, sebagian foto karya Andriyani telah dijual secara daring melalui situs Bigstockphoto.com.
”Selain itu, aku juga memperbaiki psikomotorikku dengan olahraga. Dua minggu sekali aku fitness,” kata Andriyani.
Belakangan, Andriyani juga berlatih ecoprint atau membuat pola atau motif pada kain menggunakan bahan pewarna alami. Sejumlah karya ecoprint Andriyani bahkan sudah berhasil dijual.
Selain itu, Andriyani juga aktif dalam kegiatan Yayasan Inti Mata Jiwa yang berfokus pada promosi kesehatan jiwa dan pencegahan bunuh diri. Lembaga swadaya masyarakat itu terutama aktif menjalankan kegiatan di Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta. Kebetulan, suami Andriyani, Jaka Yanuwidiasta (49), menjabat sebagai Ketua Yayasan Inti Mata Jiwa. Di Yayasan Inti Mata Jiwa, Andriyani aktif melakukan konseling dan kadang ikut memberikan penyuluhan tentang kesehatan jiwa.
Dengan minum obat secara rutin dan menjalani psikoterapi secara mandiri, Andriyani berhasil pulih dan mampu menjalani kegiatan sehari-hari secara normal. Saat berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang lain, dia juga tak lagi mengalami masalah. Oleh karena itu, orang yang belum mengenalnya tak akan menyangka bahwa Andriyani merupakan seorang penyintas skizofrenia.
Dengan minum obat secara rutin dan menjalani psikoterapi secara mandiri, Andriyani berhasil pulih dan mampu menjalani kegiatan sehari-hari secara normal.
Dukungan keluarga
Andriyani memaparkan, dukungan keluarga dan orang terdekat juga sangat penting dalam membantu pemulihan orang dengan skizofrenia. Andriyani menuturkan, selama mengalami skizofrenia, ia mendapat dukungan besar dari suami dan anggota keluarganya.
”Dukungan dari orang-orang terdekat sangat penting. Kalau suami saya enggak fight (berjuang), mungkin saya sudah jadi gelandangan psikotik di jalan. Anak saya dari kecil juga sudah ngingetin saya untuk minum obat,” kata Andriyani.
Suami Andriyani, Jaka Yanuwidiasta, mengatakan, dirinya sempat mengalami pertentangan batin saat sang istri didiagnosis mengalami skizofrenia. Namun, setelah mendapat penjelasan dari dokter bahwa penyakit itu bisa diobati secara medis, Jaka bertekad mendukung penuh pemulihan sang istri.
Jaka menyatakan, ia juga memberikan penjelasan kepada keluarga besarnya bahwa kondisi sang istri bisa diobati. Hal itu dilakukannya agar keluarga besar juga memberikan dukungan pada pemulihan Andriyani. ”Keluarga besar saya yakinkan bahwa ini bisa diobati secara medis. Ini karena kesamaan pandangan dari keluarga, ini penting untuk mendukung pemulihan,” katanya.