Penderita skizofrenia dengan kondisi kejiwaan yang stabil bisa tetap aktif menjalani hidup dan produktif. Namun, itu butuh kedisiplinan mengonsumsi obat dan pendampingan.
Oleh
M Zaid Wahyudi
·4 menit baca
PEKANBARU, KOMPAS — Penderita skizofrenia dengan kondisi kejiwaan yang stabil bisa tetap aktif menjalani hidup dan produktif. Namun, itu butuh kedisiplinan mengonsumsi obat serta pendampingan dan dukungan dari keluarga, juga orang di sekitarnya.
Aditya Widipratomo (39), aparatur sipil negara di Balai Rehabilitasi Sosial Anak yang Memerlukan Perlindungan Khusus (BRSAMPK), Kementerian Sosial, Rumbai, Pekanbaru, Riau, tertawa lepas saat bermain voli dengan anak-anak binaan di halaman balai, Kamis (3/10/2019).
Ia berbaur dan dekat dengan mereka. Tampilan fisik Aditya tak beda dengan orang lain. Tutur bahasanya pun bagus dan menunjukkan kemampuan intelektualnya. Hubungan kerja dengan rekan lainnya pun hangat, penuh canda. Padahal, Aditya adalah penderita skizofrenia.
Gangguan jiwa dialami Aditya sejak 2001. Penghayatan yang dalam pada ceramah dan buku agama memberinya perspektif tajam hingga ia punya delusi menjadi manusia istimewa. Ia pernah merasa dirinya Imam Mahdi, Sunan Kalijaga, atau Nabi Isa. Kini, ia sedang perang melawan pikirannya bahwa ia bukan manusia istimewa.
Ia pun berusaha sadar diri terhadap hal-hal yang bisa memicu munculnya delusi. ”Saat saya berpikir terlalu keras, itu tanda saya harus segera istirahat. Saya belajar ikhlas dan pasrah kepada Tuhan, termasuk saat ketakutan akan dibunuh muncul,” katanya.
Menurut Andriyani Widyaningtyas (48), penderita skizofrenia sejak 2004 dan pegiat Yayasan Inti Mata Jiwa yang mengampanyekan kesehatan jiwa dan pencegahan bunuh diri di Gunung Kidul, DI Yogyakarta, menumbuhkan kesadaran pentingnya minum obat tidaklah mudah.
Keengganan minum obat itu sempat dialami Andriyani karena merasa sudah sembuh dan obat bisa menimbulkan ketergantungan. Akibatnya, beberapa kali penyakitnya kambuh. ”Sampai sekarang, saya rutin mengonsumsi obat sehari sekali,” katanya.
Setelah minum obat, dukungan keluarga menjadi hal penting. ”Keluarga berperan penting saat penderita skizofrenia harus melewati masa-masa buruk,” kata Osse Kiki (41), pengemudi ojek daring, dosen tamu, dan juga pegiat Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia di Jakarta.
Keluarga Kiki gigih membawanya berobat ke rumah sakit saat ia mulai menunjukkan delusi pada 2008. Namun, Kiki sempat memprotesnya, bahkan menilai kondisinya makin buruk sejak dibawa ke dokter. Akan tetapi, orangtua Kiki tetap sabar.
Sejak didiagnosis menderita skizofrenia, orangtua Kiki juga mewajibkan Kiki tidur bersama mereka agar pengawasan berjalan 24 jam. Saat Kiki terbangun, kedua orangtuanya pun ikut bangun karena khawatir Kiki pergi ke mana-mana.
Tak hanya keluarga, dukungan rekan kerja juga penting. Sejak kerja di BRSAMPK, Aditya tak ragu menceritakan penyakitnya kepada rekan kerja. ”Saya ingin kolega menerima saya apa adanya,” ujarnya. Niat itu disambut tulus rekan kerjanya yang mengatakan apa pun kondisinya, Aditya tetap diterima dan dicintai.
Agar kondisi kejiwaan mereka stabil, penderita gangguan jiwa bisa mengikuti terapi nonmedis, seperti berkesenian atau menekuni hobi. Terapi itu penting guna melengkapi pengobatan medis serta dukungan keluarga dan masyarakat.
I Nyoman Sudiasa (45), penderita skizofrenia yang juga pengurus Rumah Bedaya, Denpasar, Bali, memilih melukis sebagai wahana pelepas ketegangan. Kini, sejumlah lukisannya menghiasi galeri di Rumah Bedaya. Bahkan, salah satu lukisannya digunakan sebagai hiasan kemasan produk dupa yang juga dihasilkan Rumah Bedaya.
Keberhasilan itu membuat, ”Saya makin percaya diri dan semangat untuk tetap eksis di masyarakat,” katanya.
Saya makin percaya diri dan semangat untuk tetap eksis di masyarakat.
Hal serupa dilakukan Andriyani. Hobinya bepergian ala backpacker dengan teman, mengikuti kursus rias wajah, hingga berlatih fotografi, menjadi terapi baginya. Kegiatan itu juga melatih kemampuan psikomotoriknya yang ikut terganggu.
Penyakit menahun
Sementara itu, psikiater Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta, Hervita Diatri, mengatakan, karakter skizofrenia adalah penyakit menahun, kambuhan, dan memicu disabilitas. ”Jika sejak awal gejala penyakit ini muncul sudah diobati, penderita bisa sembuh sempurna,” katanya.
Sembuh sempurna itu ditandai oleh hilangnya gejala, tanpa ada gejala sisa hingga penderita bisa berfungsi seperti sedia kala. Kondisi itu jarang ditemui karena penderita umumnya baru tertangani medis dengan benar saat gejala muncul pada episode lanjut atau sudah kambuh. Akibatnya, mereka harus minum obat seumur hidup.
”Jika pengobatan langsung diberikan saat gejala pertama muncul, minum obat diharapkan tak lebih dari dua tahun,” ujarnya. Jika gejala diobati pada episode kedua atau kekambuhan pertama, pengobatan bisa sampai lima tahun. Lebih dari itu, penderita harus berobat seumur hidup.
Situasi tersebut membuat pemahaman yang benar tentang skizofrenia perlu digalakkan. Stigma negatif harus terus dilawan sembari memperbaiki akses layanan kesehatan. Keterlambatan pengobatan akan berakibat fatal dan membebani keluarga, masyarakat, dan negara. (SYAHNAN RANGKUTI/HARIS FIRDAUS/FAJAR RAMADHAN/AYU SULISTYOWATI)