Pengakuan Wilayah Strategis Lindungi Masyarakat Adat
Pengetahuan tradisional masyarakat adat sudah semestinya diakui dan dilindungi karena menentukan eksistensi mereka. Salah satunya lewat pengakuan akan tanah dan wilayah adat.
Oleh
HARIS FIRDAUS
·4 menit baca
SLEMAN, KOMPAS - Pengetahuan tradisional masyarakat adat sudah semestinya diakui dan dilindungi karena menentukan eksistensi mereka. Salah satu langkah strategis mengoptimalkan perlindungan pengetahuan tradisional yakni dengan melindungi tanah dan wilayah milik masyarakat adat.
Demikian terungkap dalam pertemuan sejumlah perwakilan masyarakat adat dari beberapa negara bertema "The Role of Indigenous Knowledge in Rights-based Sustainable Development", Selasa (8/10/2019), di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Acara itu diselenggarakan sejumlah lembaga, antara lain Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), dan Samdhana Institute.
Sekretaris Jenderal AMAN Rukka Sombolinggi mengatakan, pengetahuan tradisional berkait erat dengan seluruh aspek kehidupan masyarakat adat. Oleh karena itu, pengetahuan tradisional sangat menentukan perkembangan atau kemajuan dari masyarakat adat.
"Pengetahuan tradisional masyarakat adat berkait erat dengan produksi pangan, spiritualitas, praktik-praktik budaya, serta sistem pemerintahan dan sistem sosial masyarakat adat," kata Rukka.
Rukka menambahkan, bila pengetahuan tradisional yang dimiliki masyarakat adat hilang, akan muncul berbagai dampak negatif, misalnya hilangnya ekspresi budaya suatu komunitas masyarakat adat. Dia mencontohkan, hilangnya pengetahuan dan tradisi berburu di suatu kelompok masyarakat adat juga akan menghilangkan kosakata lokal terkait aktivitas berburu.
"Pengetahuan tradisional sangat penting karena itu yang akan menentukan peradaban suatu masyarakat masih ada atau akan segera hilang," ujar Rukka. Oleh karena itu, butuh upaya melindungi pengetahuan tradisional yang dimiliki masyarakat adat.
Regulasi
Deputi IV Sekretaris Jenderal AMAN Mina Susana Setra menyatakan, pemerintah sudah menerbitkan sejumlah regulasi yang mengakui pengetahuan tradisional masyarakat adat. Salah satu regulasi itu misalnya Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 1994 yang meratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) mengenai Keanekaragaman Hayati.
Dalam konvensi itu, antara lain diatur kewajiban menghormati, melindungi, dan mempertahankan pengetahuan, inovasi-inovasi, serta praktik-praktik masyarakat asli dan lokal yang mencerminkan gaya hidup berciri tradisional. Selain itu, konvensi tersebut juga mendorong keuntungan yang diperoleh dari pendayagunaan pengetahuan dan inovasi masyarakat lokal, bisa dibagi secara adil.
Pemerintah dan DPR juga sudah mengesahkan UU Nomor 11 Tahun 2013 yang meratifikasi Protokol Nagoya. Protokol itu mengatur akses pada sumber daya genetik serta pembagian keuntungan yang adil dan seimbang yang timbul dari pemanfaatan sumber daya tersebut.
Konvensi tersebut juga mendorong keuntungan yang diperoleh dari pendayagunaan pengetahuan dan inovasi masyarakat lokal, bisa dibagi secara adil.
Regulasi lain yang juga berkait dengan pengetahuan tradisional masyarakat adat adalah UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup serta UU No 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.
Meski begitu, perlindungan terhadap pengetahuan tradisional yang dimiliki masyarakat adat dinilai belum berjalan maksimal. Hal ini karena perlindungan terhadap tanah dan wilayah masyarakat adat belum berjalan baik. Padahal, tanpa perlindungan yang sungguh-sungguh terhadap tanah dan wilayah adat, pengetahuan tradisional yang dimiliki masyarakat adat berpotensi terancam punah.
"Tidak mungkin pengetahuan tradisional itu bertahan kalau tidak ada pondasinya. Fondasinya ya tanah dan wilayah adat itu. Sebab, tidak mungkin pengetahuan tradisional itu berdiri sendiri," ungkap Mina.
Oleh karena itu, Mina menyatakan, pemerintah mesti mengakui dan melindungi secara serius tanah dan wilayah yang dimiliki masyarakat adat. Dengan perlindungan itu, pengetahuan tradisional milik masyarakat adat juga akan terlindungi sehingga bisa terus lestari dan diwariskan turun-temurun.
"Jadi, kalau pemerintah memang serius mau melindungi, mengakui, dan mempromosikan pengetahuan tradisional, harus dibarengi dengan pengakuan terhadap tanah dan wilayah masyarakat adat," ungkap Mina.
Agar pengakuan dan perlindungan terhadap tanah dan wilayah masyarakat adat berjalan baik, Mina mendorong pemerintah dan DPR segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Masyarakat Adat. Regulasi tersebut bisa menjadi dasar untuk melindungi tanah dan wilayah adat di Indonesia. "RUU Masyarakat Adat harus segera disahkan," katanya.
Wartawati senior Harian Kompas, Brigitta Isworo Laksmi, mengatakan, media massa bisa mengambil peran dalam pelestarian pengetahuan tradisional yang dimiliki masyarakat adat. Peran itu bisa dilakukan dengan memberitakan berbagai jenis pengetahuan tradisional masyarakat adat dan manfaat dari pengetahuan tersebut.
"Media bisa menyajikan fakta tentang pengetahuan tradisional masyarakat adat dan apa manfaatnya," kata Brigitta saat menjadi pembicara dalam pertemuan tersebut.
Dia menyebut, pengetahuan tradisional masyarakat adat antara lain bisa dimanfaatkan untuk sejumlah kebutuhan, misalnya melakukan mitigasi bencana gempa bumi serta mendukung tercapainya Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs).
Di sisi lain, media massa juga perlu menulis tentang kerugian yang bakal didapat apabila pengetahuan tradisional yang dimiliki masyarakat adat hilang. "Hilangnya pengetahuan tradisional akan menyebabkan gagalnya program percepatan SDGs," ujar Brigitta.