Pemanfaatan teknologi di bidang militer mengalami perkembangan pesat. Diharapkan, strategi pertahanan jangka panjang Indonesia, termasuk dalam pembelian alutsista, mempertimbangkan kondisi tersebut.
JAKARTA, KOMPAS - Seiring cepatnya perkembangan teknologi, Tentara Nasional Indonesia ditantang untuk mampu mengantisipasi berbagai potensi ancaman keamanan yang semakin canggih, baik militer maupun non-militer. Untuk itu, TNI berupaya menyeimbangkan strategi pertahanan yang bertujuan untuk mengantisipasi serangan militer serta memberikan sumbangsih pada perdamaian dunia.
Kepala Staf Umum TNI Letnan Jenderal Joni Supriyanto menuturkan, dalam menyusun sistem pertahanan negara, TNI mempertimbangkan tiga hakikat ancaman, yaitu militer, non-militer, dan hibrida. Dalam praktiknya, jenis ancaman itu terbagi menjadi dua bagian, yakni nyata dan tidak nyata.
Joni menjelaskan, berbagai ancaman nyata itu seperti terorisme dan radikalisme, separatisme, pelanggaran wilayah perbatasan, wabah penyakit, bencana alam, serta serangan siber dan spionase. Adapun ancaman tidak nyata, kata Joni, umumnya berbentuk konflik terbuka. Jenis ancaman itu belum menjadi prioritas TNI setidaknya dalam lima tahun mendatang.
Selain mengantisipasi berbagai ancaman yang berbasis pada kekuatan militer, TNI juga terus mengedepankan misi-misi perdamaian internasional. Utamanya, untuk membantu perdamaian di negara yang tengah berkonflik.
”Kami terus meningkatkan kekuatan militer, tetapi juga memperkuat diplomasi pertahanan. Sebab, TNI berkomitmen untuk mengantisipasi perang yang dapat memberikan dampak negatif yang besar dalam hubungan antarnegara juga keamanan kawasan,” ujar Joni, Senin (7/10/2019), di Jakarta. Hal itu ia paparkan dalam diskusi bertajuk ”Transformasi TNI di Era Disrupsi Teknologi: Prospek dan Tantangan”.
Pembicara lain dalam diskusi ialah pengamat militer Andi Widjajanto dan peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Fitriani.
Lebih lanjut, Joni mengungkapkan, pertumbuhan pesat teknologi membuat TNI terus beradaptasi dengan berbagai ancaman militer yang muncul. Oleh karena itu, dalam menyusun doktrin pertahanan semesta, TNI tidak lagi mengedepankan ancaman keamanan berdasarkan serangan manusia, tetapi juga menyusun potensi ancaman yang disebabkan sistem komputer.
Andi mengungkapkan, perang masa kini dan di masa mendatang ialah bergantung teknologi terkini, satu perang yang menentukan, serta sifat perang yang berdaya hancur tinggi. Menurut dia, ancaman pertahanan bersifat militer semakin nyata, salah satunya dengan mulai hadirnya transisi hegemoni dari Amerika Serikat ke China.
Ia mencontohkan, China telah menguasai kuantitas dan kualitas teknologi militer mutakhir, di antaranya penggunaan kapal selam dan penambahan satelit.
”Apabila Indonesia ingin menjadi kekuatan di kawasan pada 2045, kuncinya penguasaan teknologi. Saat ini, kekuatan teknologi militer berbasis robotic automatic session dan sensor yang harus dikejar agar tidak ketinggalan dari negara lain di kawasan Asia Timur,” kata Andi.
Siber
Dalam 20 tahun terakhir, ujar Andi, dari 34 teknologi bidang militer, hanya empat yang mengalami perkembangan signifikan. Keempatnya ialah penggunaan otomatisasi robot, pemanfaatan sensor, sistem kemampuan antirudal, serta penggunaan senjata berbasis quantum computing.
Atas dasar itu, ia berharap strategi jangka panjang pertahanan Indonesia, termasuk dalam penentuan alat utama sistem pertahanan (alutsista), harus berbasis teknologi yang mampu mengantisipasi ancaman di ruang siber.
Fitriani menambahkan, ketika masih tertinggal dalam kualitas sistem dan fasilitas keamanan siber, Indonesia bisa mengedepankan hubungan baik dengan negara-negara sahabat untuk memulai diplomasi siber. Langkah itu diperlukan untuk menegosiasi norma dan hukum yang dapat dikedepankan dalam menghadapi situasi di ranah siber.
”Hingga kini belum ada pembatasan hukum internasional untuk penggunaan senjata siber. Untuk itu, Indonesia harus memulai diplomasi siber untuk mengantisipasi potensi serangan siber di kawasan yang dapat meningkatkan ketegangan antarnegara,” ucap Fitriani.
Menurut dia, suatu negara yang mengalami serangan siber harus mengutamakan proses klarifikasi terhadap negara lain yang diduga mengetahui serangan itu. Langkah itu perlu dikedepankan daripada tergesa-gesa melakukan serangan siber balasan.