Manchester United semakin kehilangan arah dan tersesat. Mereka memasuki era suram seperti 1989 ketika dibekap Newcastle United, 0-1, di Liga Inggris, Sabtu malam.
Oleh
Yulvianus HArjono
·4 menit baca
NEWCASTLE, SENIN — Pepatah berkata, sejarah berulang dengan sendirinya. Hal ini persis dengan yang dialami klub kaya Inggris, Manchester United. Mereka kini berada di titik terendah dalam 30 tahun menyusul kekalahan 0-1 dari Newcastle United di Stadion St James’s Park, Sabtu (6/10/2019).
Para pemain MU terlihat lunglai seusai wasit Michael Dean meniupkan peluit yang menandakan berakhirnya laga di pekan kedelapan Liga Inggris itu. Perasaan kecewa, malu, dan cemas akan masa depan mereka bercampur aduk seusai kekalahan. Mereka sulit untuk percaya telah takluk dari Newcastle, tim yang tengah berjuang dari ancaman degradasi.
Hal lain yang tidak kalah menyakitkan adalah gol satu-satunya itu diciptakan pemain muda, Matthew Longstaff (19), yang masih ingusan, nyaris tidak pernah mencicipi laga Liga Premier Inggris sebelumnya. Itu sekaligus kekalahan perdana ”Setan Merah” dari Manajer Newcastle Steve Bruce dalam 23 pertemuan terakhir.
”Saya kira ini adalah masa tersulit sejak saya berada di MU. Saya tidak tahu apa yang tengah terjadi. Kami bahkan tidak bisa mencetak gol (dalam) dua laga terakhir. Tidak hanya di laga ini, sepanjang musim ini kami tidak bagus. Mohon maaf untuk para pendukung,” ujar David De Gea, kiper MU yang telah bergabung di tim itu sejak 2011, seusai laga tersebut.
Menyusul kekalahan itu, MU kini hanya mengemas sembilan poin dari delapan laga di Liga Inggris musim 2019-2020. Mereka tertinggal 15 poin dari pemuncak klasemen, Liverpool. Hal yang paling menakutkan, yaitu ancaman degradasi, mendadak muncul di depan mata. MU, pengoleksi gelar juara Liga Primer Inggris terbanyak, 20 kali, kini terperosok ke peringkat ke-12 di liga itu.
Mereka hanya berjarak dua poin dari salah satu tim penghuni zona degradasi, Everton. Jika MU kembali kalah pada laga Liga Inggris berikutnya, sedangkan Everton menang, MU pun berpotensi masuk ke zona kegelapan itu. Lebih buruk lagi, lawan yang akan mereka hadapi pada pekan kesembilan adalah Liverpool, tim yang tengah tancap gas dan belum sekali pun kehilangan poin musim ini.
”Sungguh disesalkan. Kami kehilangan sejumlah pemain kunci. Namun, itu bukanlah alasan (kekalahan). Beberapa dari anak-anak ini (pemain MU) kehilangan sedikit ketenangan. Di sisi lain, kami tidak dapat menciptakan sejumlah peluang gol untuk memenangi laga ini. Anak-anak muda ini kurang percaya diri dan butuh bantuan dari orang berpengalaman,” tutur Manajer MU Ole Gunnar Solskjaer menjelaskan penyebab kekalahan timnya.
MU memang kehilangan banyak pemain kuncinya yang tengah cedera, seperti Paul Pogba, Anthony Martial, Jesse Lingard, Eric Baily, dan Aaron Wan-Bissaka. Solskjaer pun terpaksa memainkan sejumlah pemain muda, seperti bek Axel Tuanzebe dan penyerang sayap Daniel James. Dua jebolan akademi MU yang minim pengalaman, yaitu Mason Greenwood dan Tahith Chong, ikut dimainkan pada babak kedua.
Menurut Mark Ogden, analis sepak bola di ESPN, MU kini memasuki era yang asing, yaitu berjuang untuk tidak terdegradasi.
”Ketika para pemain kuncinya bugar dan bisa tampil, MU lebih kuat. Namun, jika para pelapisnya tidak cukup bagus, mereka tidak bisa mengatasi absennya lima pemain di musim yang masih sangat panjang. Jangan lupa pula, mereka gagal mendapatkan pengganti Romelu Lukaku dan Alexis Sanchez,” ungkapnya.
Gunung kaca
Situasi buruk yang dialami MU ini sebetulnya tidak asing. Sejarah mencatat, tepat tiga dekade silam, ”Setan Merah” pernah mengalami hal serupa. Ketika itu, mereka hanya bisa mengemas delapan poin dari delapan laga awal musim 1989-1990. Manajernya saat itu, Sir Alex Ferguson, pun sempat dirongrong suara pemecatan, terutama saat digilas Manchester City, 1-5, pada September. Padahal, Ferguson tengah membangun MU sejak diangkat manajer tiga tahun sebelumnya.
Rasanya seperti mendaki gunung dari kaca.
Seperti halnya saat ini, MU di era itu kehilangan banyak pemain kunci akibat cedera, seperti Bryan Robson dan Neil Webb. Namun, seperti dikisahkan Ferguson dalam otobiografi berjudul Managing My Life (1999), pemilik MU tidak panik dan menjamin posisinya di kursi manajer. Mereka bahkan bersedia berinvestasi pemain baru, seperti Peter Schmeichel, Denis Irwin, dan Eric Cantona, serta mendukung promosi pemain akademi, seperti Ryan Giggs.
Kesabaran dan visi panjang itu berbuah manis pada tahun-tahun berikutnya. MU meraih gelar juara Liga Inggris pertamanya bersama Ferguson pada akhir musim 1992-1993. Sejak itu, MU menjelma kekuatan dominan di Inggris, bahkan Eropa. Gary Neville, legenda MU, berharap jajaran direksi klub itu saat ini meniru kesuksesan tersebut.
Menurut dia, keterpurukan MU saat ini tidak terlepas dari kebijakan direksi MU saat ini yang dipimpin Ed Woodward sejak 2012. MU tidak memiliki visi jangka panjang dalam membangun tim, baik merekrut manajer maupun membeli pemain. Sejak 2012, mereka hobi gonta-ganti pelatih. Sejumlah pemain seperti Angel Di Maria, Memphis Depay, Henrikh Mkhitaryan, Sanchez, dan Lukaku datang dan pergi tanpa memberikan prestasi bagus karena kebijakan tambal sulam dan ketiadaan visi besar itu.
”Klub itu mengalami kemunduran karena pikiran pendek itu. Saya kira tim ini bisa menggapai hal lebih baik jika melihat jangka panjang. Mereka perlu menambah pemain baru lainnya, seperti yang dilakukan dengan Wan-Bissaka, James, dan (Harry) Maguire dalam dua atau tiga jendela transfer ke depan,” ungkap Neville seperti dikutip Metro.