Pembuatan Tangki Septik Komunal Tak Selesaikan Persoalan Limbah di Jakarta Barat
Pembangunan tangki septik komunal tidak lantas menyelesaikan persoalan buang air besar sembarangan di Jakarta. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta harus melihat persoalan itu secara menyeluruh.
Oleh
FRANSISKUS WISNU/ADITYA DIVERANTA/STEFANUS ATO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Pembangunan tangki septik komunal tidak lantas menyelesaikan persoalan buang air besar sembarangan di Jakarta. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta harus melihat persoalan itu secara menyeluruh.
Koordinator Pusat Studi Perkotaan Universitas Trisakti Nirwono Joga mengatakan, pembangunan tangki septik komunal tidak serta-merta menyelesaikan persoalan buang air besar sembarangan di Jakarta.
"Untuk jangka pendek silahkan, tetapi itu tidak akan menyelesaikan masalah. Harus secara menyeluruh dalam hal ini menata ulang kawasan permukiman sesuai Rencana Tata Ruang Wilayah dan Rencana Detail Tata Ruang," kata Nirwono di Jakarta, Selasa (8/10/2019).
Penataan ulang kawasan itu sekaligus mengatasi ketiadaan lahan untuk membangun tangki septik komunal.
Pantauan Kompas di RT 015 RW 007 Tanjung Duren Utara, Grogol Petamburan, Jakarta Barat, permukiman warga di sana hanya menyisakan lahan sekitar satu meter untuk jalan setapak. Hanya terdapat dua toilet umum di sana yang berhimpitan dengan rumah warga.
Warga setempat, Minik (34), mengatakan, sebagian warga masih menggunakan toilet umum untuk buang air besar dan mencuci dalam keadaan darurat. Saluran toilet pun langsung mengalir ke kali.
Permasalahan serupa juga terjadi di RT 006 RW 002 Duri Kepa, Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Ketua RT 006 RW 002 Sarkat mengatakan, sedikitnya ada sekitar 100 dari sekitar 980 warga yang belum memiliki toilet serta tangki septik yang memadai.
Nirwono menyarankan, DKI mengecek lagi peruntukan kawasan permukiman di dalam Rencana Tata Ruang Wilayah dan Rencana Detail Tata Ruang. Kemudian memastikan legalitas sertifikat kepemilikan lahan.
Lanjutnya, apabila sesuai RTRW/RDTR dan sertifikatnya sah, DKI wajib menata ulang kawasan atau merevitalisasi permukiman padat itu. Akan tetapi, jika tidak sesuai, harus direlokasi agar lahan dikembalikan sesuai fungsi peruntukannya.
"Permukiman padat dapat ditata ulang menjadi hunian vertikal rendah berlantai 4-6. Lalu membangun infrastruktur jalan (sebagai jalur evakuasi) dan pembenahan saluran air, jaringan listrik dan gas terpadu (mencegah kebakaran) serta membangun jaringan instalasi pengolahan air limbah," ucapnya.
Pembangunan instalasi pengolahan air limbah itu masuk ke dalam Proyek Jakarta Sewerage System. Proyek untuk mengatasi limbah di Jakarta dengan konsepnya membangun instalasi pengolahan air limbah terpusat di setiap zona yang ditetapkan.
Adapun sistem pengolahan limbah terpusat terdiri dari Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL), sistem perpipaan, dan sambungan rumah.
Segera
Staf Khusus Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Bidang Sumber Daya Air Firdaus Ali mengatakan, DKI seharusnya sudah mulai membangun sistem tersebut. Sebab, 87,5 persen air tanah dangkal sudah terkontaminasi bakteri ecoli.
"Jarak tangki septik dan sumur tidak ideal atau kurang dari 10 meter sehingga tercemar. DKI harus mulai membangun, jangan bergantung pada pemerintah pusat saja," kata Firdaus.
Berdasarkan Peraturan Gubernur DKI Nomor 41 Tahun 2016 tentang Rencana Induk Pengembangan Prasarana dan Sarana Pengelolaan Air Limbah Domestik, terdapat 15 zona meliputi 14 zona baru dan satu zona eksisting, yaitu zona nol dengan IPAL di Waduk Setiabudi, Jakarta Selatan.
IPAL zona 1 berlokasi di kawasan Waduk Pluit, zona 2 di Muara Angke, zona 5 di kawasan Waduk Sunter Utara atau dikenal sebagai Waduk Cincin, dan zona 8 di kawasan Waduk Marunda, yang semuanya di Jakarta Utara. Adapun IPAL zona 6 di kawasan Instalasi Pengolahan Limbah Tinja (IPLT) Duri Kosambi, Jakarta Barat.