logo Kompas.id
UtamaUntuk Siapa Pendengung...
Iklan

Untuk Siapa Pendengung Bekerja?

Di era banjir informasi, pembentukan opini publik menjadi suatu kebutuhan. Menjawab kebutuhan inilah, muncul para pendengung pesan (”buzzer”).

Oleh
Benediktus Krisna Yogatama, Aditya Diveranta,
· 6 menit baca
https://cdn-assetd.kompas.id/eNFaxsklYnHGV438Q1hlqUBlPL0=/1024x576/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F07%2F20190705_ENGLISH-SERIAL-MELAWAN-HOAKS_B_web_1562329246.jpg
KOMPAS/TATANG MULYANA SINAGA

Sejumlah pemuda mengikuti deklarasi ”Bandung Anti Hoaks” yang diadakan Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) pada hari bebas kendaraan bermotor di Jalan Ir Djuanda, Kota Bandung, Jawa Barat, Minggu (31/3/2019).

Di era banjir informasi, pembentukan opini publik menjadi suatu kebutuhan. Menjawab kebutuhan inilah muncul para pendengung pesan (buzzer) dan pemberi pengaruh (influencer) di ranah sosial media. Afiliasi mereka pun sangat cair, seperti derasnya arus informasi.

Fenomena bisnis pendengung dan pemberi pengaruh di Indonesia diketahui mulai marak sejak awal dekade 2010. Mulai saat itulah pengguna media sosial di Indonesia bertumbuh cepat dan segera menjadi bagian keseharian warga. Awalnya, media sosial ini digunakan untuk memasarkan atau meningkatkan paparan informasi suatu produk atau jasa.

Laporan Center for Innovation Policy and Governance (CIPG) menyebutkan, memasuki Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2012, bisnis pendengung mulai masuk ke dunia politik. Tim sukses pasangan calon bergerilya mengampanyekan junjungannya di media sosial agar sukses mendulang suara terbanyak di bilik suara.

Salah satu pendengung yang dibayar adalah Alex (bukan nama sebenarnya) yang menjadi pasukan siber gubernur petahana Basuki Tjahaja Purnama dalam Pilkada DKI 2017. Seperti dikutip dari The Guardian dalam artikel berjudul Indonesia Fake Twitter Account Factories Jakarta Politics yang tayang 23 Juli 2018, Alex adalah satu dari anggota pasukan siber yang dibayar untuk mendengungkan isu di media sosial.

Baca juga : Demokrasi, Pendengung, dan Jurnalisme Baru

https://cdn-assetd.kompas.id/GNjMahEnA-GcIsUZuBuSVEQ4uwU=/1024x1136/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F10%2F20191004-ARJ-buzzer-mumed_1570198547.jpg

Alex bertugas untuk membanjiri media sosial dengan berbagai jenis pesan untuk membuat calon pemilih memberikan suaranya kepada Basuki. Selain itu, Alex dan timnya juga bertugas untuk menangkal ”serangan” informasi yang dilakukan kubu lawan politik Basuki saat itu, yaitu Anies Baswedan.

Cara yang dilakukan Alex beragam, mulai dari membuat berita bohong hingga disinformasi. Berita itu kemudian disebarkan melalui akun-akun palsu di Twitter dan Facebook agar informasi itu menjadi viral dan berhasil membangun opini publik. Untuk menjalankan tugasnya, Alex dibayar 280 dollar Amerika Serikat (AS) per bulan (setara dengan Rp 3,7 juta dengan kurs Rp 13.200 per dollar). Alex menjelaskan, tim itu, yang total anggotanya 20 orang, memiliki masing-masing 11 akun media sosial. Mereka bisa menciptakan lebih dari 2.400 postingan di Twitter per hari.

Para pasukan siber yang dibayar untuk membuat narasi di media sosial ini sejalan dengan laporan The Global Disinformation Order 2019 Global Inventory of Organised Social Medial Manipulation yang dirilis Oxford Internet Institute, University of Oxford. Dalam laporan yang dilakukan di 70 negara, termasuk Indonesia, ini, para pendengung di Indonesia bekerja karena memperoleh bayaran. Menurut penelitian yang dilakukan 2018 tapi dirilis 2019 ini, besaran bayaran mereka bergantung pada kontrak yang nilainya mulai dari Rp 1 juta hingga Rp 50 juta.

Baca juga : ”Buzzer”, Bisnis Dengungan di Era Digital

https://cdn-assetd.kompas.id/frtMMfQVyJROzIo0sVK3uEhTAJM=/1024x1952/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F05%2F20190526-HKT-Hoaks-Disinformasi-mumed_1558865152.png

Di Indonesia, kegiatan itu diinisiasi partai politik dan organisasi swasta. Mereka bekerja di media sosial menggunakan akun bot/robot dan akun yang dioperasikan langsung oleh manusia. Adapun cara yang dilakukan adalah menyebarkan disinformasi dan menyebarluaskan informasi yang keliru itu.

Pada akhir Agustus 2017, Indonesia dihebohkan dengan penangkapan Saracen, sebuah grup yang dibayar untuk sengaja membuat konten hoaks. Ketua Saracen, JAS (32), dalam paparannya kepada wartawan di hadapan polisi mengungkapkan, pihaknya pernah menyerahkan proposal kepada salah satu calon dalam Pemilihan Wali Kota Pekanbaru, Riau, 2017, untuk memproduksi pesan-pesan yang menyudutkan kandidat lain. Menurut JAS, setiap proposal dikenai tarif Rp 60 juta-Rp 70 juta dengan masa kerja satu bulan.

Namun, dalam contoh proposal yang disita polisi dari rumah kontrakan JAS di Jalan Kasah, Pekanbaru, tercantum tarif satu proposal Rp 72 juta. Dari uang sebesar itu, Rp 45 juta untuk membuat konten di situs web dan media sosial, tarif jasa JAS Rp 10 juta, kemudian jasa buzzerRp 15 juta, dan sisanya Rp 2 juta untuk wartawan yang memberitakan unggahan Saracen.

Iklan

Cara kerja Saracen adalah membuat situs berita-berita hoaks dari situs Saracenews.com. Berita-berita itu lalu disebarkan di grup Facebook yang dikelola oleh mereka sendiri.

Baca juga : Pendengung dan Propaganda Zaman Kini

https://cdn-assetd.kompas.id/gDfGodH5jQwhnXt7tYdTrCP9peE=/1024x1128/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F10%2F20191004-ANU-Alur-kerja-Industri-Buzzer-mumed_1570203899.jpg

Kasus terkait berita bohong dan penyebarannya juga menjadi fenomena global. Nicole A Cooke dalam bukunya, Fake News and Alternative Facts: Information Literacy in Post Truth Era (2018), menyebut salah satu skandal berita bohong yang menjadi perhatian adalah kasus Facebook pada Pemilihan Presiden Amerika Serikat 2016.

Facebook saat itu diduga terlibat dalam penyebaran berita bohong selama Pemilihan Presiden AS. Facebook yang sempat menyangkal keterlibatan itu kemudian mengakui bahwa ada akun palsu kewarganegaraan Rusia yang membayar senilai 100.000 dollar AS untuk penyebaran konten politik terkait pemilu.

Konten berita bohong itu diakses jutaan warga AS yang mungkin turut mengubah pandangan politik mereka. Atas dampak tersebut, Cooke menilai kabar bohong dan penyebarannya di media sosial juga berkaitan dengan kepentingan bisnis, yakni bisnis penyebaran pengaruh.

Motif lain

Hunt Allcot dan Matthew Gentzkow dalam jurnalnya yang berjudul ”Social Media and Fake News in the 2016 Election” (2016) menyebutkan, salah satu motif berkembangnya pasukan siber ini adalah karena uang (pecuniary). Kendati demikian, motif ideologis juga bisa ikut mendorong pembuatan narasi di media sosial oleh para buzzer.

https://cdn-assetd.kompas.id/0x0_Gu_5HAw3wGg2xpZ6LlFC164=/1024x1138/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F01%2F20190104-h01-KID-Hoaks-Pemilu-mumed_1546620068.png

Berubahnya dukungan kepada pasangan calon di dunia politik diakui salah satu buzzer, Pandji Pragiwaksono. Dalam siaran akun Youtube yang berjudul ”Buzzer Politik Mengancam Demokrasi?”, Pandji mengaku dirinya adalah salah seorang buzzer. Tugasnya memang menyampaikan sesuatu kepada publik melalui akun-akun media sosialnya yang memiliki banyak pengikut. ”Gue pun bagian dari buzzer dan segala macamnya,” ujar Pandji.

Dalam siarannya, Pandji mengaku menjadi buzzer untuk Jokowi-Ahok dalam Pilkada 2012, Jokowi-Kalla pada Pilpres 2014, dan Anies-Sandi dalam Pilkada 2017. Menurut dia, apa yang dilakukan buzzer tema politik itu positif karena bisa memberikan pesan kampanye yang menjangkau audiens di media sosial.

Namun, Pandji mencemaskan teman-teman sesama buzzer yang setelah pemilu itu selesai. Mereka kini menyebarkan kebohongan di media sosial. ”Masalahnya orang-orang ini tahu, dia sedang menyebarkan kebohongan. Gue ragu elu enggak tahu. Kan, gue tahu siapa elu. Gue tahu betapa pinter-nya elu. Gue tahu elu bohong tapi elu sebar luaskan. Itu saja yang gue khawatirkan,” ujar Pandji.

Peneliti Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Wasisto Raharjo Jati, mengatakan, isu yang diembuskan para pendengung ini bergantung kepada pihak yang membayar. ”Kalau dalam hal mendiskreditkan itu jelas ada transaksi politik dalam membangun narasi itu. Saya pikir kalau buzzer ini tergantung seberapa mereka dibayar atau intens dengan isu tertentu,” ujar Wasisto.

Baca juga : Propaganda Digital di Panggung Politik

https://cdn-assetd.kompas.id/FLVZB6CfvLtGXALuPWQBX3lFXtE=/1024x768/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F01%2FIMG-20190115-WA0001_1547544026.jpg
FAJAR RAMADHAN UNTUK KOMPAS

Sejumlah siswa berswafoto dengan atribut antihoaks.

Pengajar Jurnalistik Universitas Multimedia Nusantara (UMN), Ignatius Haryanto, belum bisa memastikan secara jelas kepada siapa loyalitas ini diberikan oleh para pendengung. ”Ada teman peneliti yang mengatakan ini soal siapa yang bayar saja. Jadi, terkadang hari ini dia bela pihak A, besok bela B. Tergantung permintaan,” ujar Haryanto yang juga peneliti senior Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP).

Wasisto mengatakan, sejatinya yang dilakukan pendengung itu tidak melulu harus dianggap hal negatif. Ia mengatakan, para pendengung ini juga bisa memberikan dampak positif, yakni membuat masyarakat menjadi lebih peka terhadap isu-isu yang tengah terjadi. Namun, dampak negatifnya adalah adanya upaya penggiringan opini terhadap publik.

Menghadapi serbuan derasnya informasi, publik harus kritis mencari kebenaran yang sesungguhnya. Publik tidak perlu terlalu larut dan percaya informasi yang beredar di media sosial karena bisa jadi itu adalah pesan yang sengaja dibuat berdasarkan bayaran. Tetap kritis agar bisa memperoleh informasi yang jernih.

Editor:
Andy Riza Hidayat
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000