Aparat Pengawas Internal Pemerintah di 510 Daerah Masih Lemah
Celah korupsi di daerah masih terus terbuka. Dua faktor penyebabnya adalah kapabilitas aparat pengawas internal pemerintah (APIP) masih rendah dan belum semua kepala daerah memahami pentingnya APIP.
Oleh
SHARON PATRICIA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Celah korupsi di daerah masih terus terbuka. Dua faktor penyebabnya adalah kapabilitas aparat pengawas internal pemerintah (APIP) masih rendah dan belum semua kepala daerah memahami pentingnya APIP.
Berdasarkan data Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) per 30 September 2019 menunjukkan, APIP sebagian besar daerah di Indonesia masih berada di level 1 dari lima level yang menjadi dasar penilian. APIP di level tersebut tersebar di 289 daerah atau 53,32 persen dari 542 daerah.
Sementara APIP di 221 daerah (16,3 persen) berada di level 2. Hanya 32 daerah (5,9 persen) yang memiliki APIP yang berada di level 3. Padahal, hingga akhir 2019, APIP di pemerintah provinsi ataupun kabupaten/kota yang berada di level 3 ditargetkan mencapai 385 daerah.
”Kalau masih di level 2 atau ke bawah, artinya belum bisa sepenuhnya efektif mengawal manajemen pemerintahan. Minimal harus berada di level 3,” kata Deputi Kepala BPKP Bidang Pengawasan Penyelenggaraan Keuangan Daerah Gatot Darmasto di Jakarta, Selasa (10/8/2019).
BPKP memandang APIP yang berada di level 3 ke atas mampu menilai efisiensi, efektivitas, dan ekonomis suatu kegiatan. Mereka juga mampu memberikan konsultasi pada tata kelola, manajemen risiko, dan pengendalian internal pemerintah.
Selain kapabilitas APIP masih rendah, jumlah APIP di daerah masih jauh di bawah standar kebutuhan, yaitu baru 18.000 orang dari 46.000 orang yang dibutuhkan. Kebanyakan kepala daerah pun belum memahami pentingnya fungsi dan peran APIP.
Gatot mengemukakan, keberadaan APIP saat ini tidak hanya sebagai pengawas, namun sebagai konsultan bahkan menjadi penasihat terpercaya. Mereka tidak hanya mengawasi dan memberikan konsultasi, tetapi juga menyadarkan kepala daerah yang sudah mulai menyimpang.
Selain itu, APIP juga berfungsi sebagai jaminan, yaitu untuk mengaudit, mengevaluasi, dan menganalisis laporan keuangan. Dengan begitu, posisi APIP sangatlah penting dalam pengawasan manajemen pemerintah daerah.
”APIP sebagai inspektorat itu merupakan mata dan telinga para kepala daerah. Dengan kata lain, APIP itu yang membantu dan menyelamatkan kepala daerah dari penyimpangan peluang korupsi,” kata Gatot.
APIP sebagai inspektorat itu merupakan mata dan telinga para kepala daerah. APIP itu yang membantu dan menyelamatkan kepala daerah dari penyimpangan peluang korupsi.
Dalam menjalankan peran dan fungsi, lanjut Gatot, APIP harus berlandaskan pada Sistem Pengawasan Internal Pemerintahan (SPIP). Kalau keduanya berjalan baik, pemerintahan yang baik dan bersih dapat terwujud.
Merancang korupsi
Rendahnya peran dan fungsi APIP di daerah itu juga diakui Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan. Menurut Pahala, pengawasan inspektorat di hampir semua daerah tidak berfungsi.
”Dengan tingginya biaya pemilihan kepala daerah dan kemudian tidak ada yang mengawasi pemerintahan. Bayangkan saja bagaimana jalannya pemerintahan itu?” ujar Pahala.
Data KPK menunjukkan, dari awal 2002 hingga 7 Oktober 2019, ada 119 kepala daerah yang diproses KPK. Sebanyak 47 kepala daerah atau 39,4 persen di antaranya, ditangani KPK dari hasil kegiatan operasi tangkap tangan (OTT).
Sepanjang 2019, ada 7 kepala daerah yang ditetapkan sebagai tersangka KPK. Mereka adalah Bupati Kabupaten Mesuji periode 2017-2022 Khamami yang ditetapkan tersangka pada Januari, Bupati Kabupaten Kepulauan Talaud periode 2014-2019 Sri Wahyumi Maria Manalip pada April, serta Gubernur Kepulauan Riau 2016-2021 Nurdin Basirun dan Bupati Kudus M Tamzil pada Juli.
Selanjutnya Bupati Kabupaten Muara Enim Ahmad Yani dan Bupati Kabupaten Bengkayang Suryadman Gidot ditetapkan sebagai tersangka pada September. Kemudian disusul Bupati Lampung Utara Agung Ilmu Mangkunegara pada 6 Oktober.
Menurut Pahala, pencegahan akan sia-sia jika memang sedari awal para kepala daerah sudah merancang korupsi itu terjadi. Sebagai gambaran, modal untuk maju sebagai bupati atau wali kota dapat mencapai Rp 40 miliar.
Kalau dilihat dari laporan harta kekayaan penyelenggara negara, tidak ada satu pun yang mampu membiayai dana kampanyenya. Modal ini berasal dari berbagai sponsor yang juga sudah ada kesepakatan pengembalian.
”Kalau dilihat dari laporan harta kekayaan penyelenggara negara, tidak ada satu pun yang mampu membiayai dana kampanyenya. Modal ini berasal dari berbagai sponsor yang juga sudah ada kesepakatan pengembalian dengan pemberian proyek kalau terpilih?” tuturnya.
Untuk memaksimalkan pencegahan korupsi, Pahala menjelaskan dengan menggunakan teori kurva normal. Bahwa ada 5 persen kepala daerah yang memang ingin memajukan daerahnya, 90 persen kepala daerah yang normal, dan 5 persen kepala daerah yang memang sejak awal telah merancang korupsi.
KPK akan mendukung kepala daerah yang memang ingin daerahnya maju. KPK akan membantunya secara maksimal di sistem pencegahan.
”Kalau yang 90 persen orang normal akan diwajibkan untuk mengimplementasikan sistem pencegahan. Sementara sisanya, tinggal menunggu penindakan dari KPK,” ujar Pahala.
Peneliti Pusat Kajian Anti-Korupsi Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman, menyampaikan, keadaan ini menunjukkan masih pentingnya KPK untuk diberi kewenangan terhadap penyadapan. Sebab, cara paling efektif untuk membongkar korupsi dalam bentuk suap-menyuap adalah melalui OTT.
”Suap-menyuap itu umumnya dilakukan tertutup sehingga pembuktian dengan case building akan sulit. Dengan demikian, untuk membuktikan terjadi suap, akan efektif melalui OTT,” kata Zaenur.