DPR periode 2019-2024 belum dapat bekerja karena pimpinan alat kelengkapan Dewan belum terbentuk. Padahal, sejumlah persoalan mesti segera diselesaikan.
Oleh
NIA/AGE/DVD
·3 menit baca
DPR periode 2019-2024 belum dapat bekerja karena pimpinan alat kelengkapan Dewan belum terbentuk. Padahal, sejumlah persoalan mesti segera diselesaikan.
JAKARTA, KOMPAS — Satu pekan setelah pelantikan, Dewan Perwakilan Rakyat periode 2019-2024 belum dapat bekerja karena lobi-lobi mengenai penentuan kursi pimpinan alat kelengkapan Dewan masih berjalan di tempat. DPR mesti segera merampungkan lobi-lobi pembagian kursi agar bisa mulai bekerja secara efektif.
Setelah dilantik pada 1 Oktober lalu, belum ada perkembangan signifikan terkait penentuan pimpinan alat kelengkapan dewan (AKD). Sampai saat ini, fraksi-fraksi di DPR belum menyepakati mekanisme penentuan pimpinan alat kelengkapan yang terdiri dari 11 komisi dan 6 badan.
Mengacu pada Pasal 427E Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, pimpinan alat kelengkapan Dewan ditetapkan berdasarkan prinsip musyawarah untuk mufakat dan proporsional menurut perimbangan jumlah anggota tiap fraksi. Namun, pandangan fraksi-fraksi masih berbeda terkait mekanisme tersebut.
Wakil Ketua DPR dari Fraksi Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (8/10/2019), mengatakan, pengisian pimpinan alat kelengkapan DPR dibagi secara proporsional, sesuai dengan perolehan kursi DPR pada Pemilu 2019.
Berdasarkan penghitungan sementara, PDI-P dan Gerindra diprediksi mendapatkan empat kursi ketua alat kelengkapan DPR. Golkar, Nasdem, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Demokrat mendapat dua kursi ketua. Sementara, Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), masing-masing memperoleh satu kursi ketua.
Namun, penghitungan itu belum disepakati semua fraksi. ”Masih ada perdebatan mengenai pembulatan angka hasil penghitungan. Pembulatan angka itu menentukan jumlah kursi ketua yang akan didapat setiap fraksi,” kata Dasco.
Ketua Fraksi PKB di DPR Cucun Syamsurijal mengatakan, pasal terkait mekanisme penentuan pimpinan AKD sangat lentur. Pimpinan AKD dapat ditetapkan secara proporsional sesuai dengan perolehan kursi fraksi, tetapi bisa juga dipilih berdasarkan lobi dan kesepakatan antarfraksi.
”Oleh karena itu, tidak bisa serta-merta pimpinan DPR memimpin rapat lalu menentukan jatah tiap fraksi. Harus ada lobi-lobi terlebih dulu,” katanya.
Terkait hal itu, lima fraksi di koalisi partai pendukung pemerintah, yaitu PDI-P, Golkar, Nasdem, PKB, dan PPP, menurut Cucun, masih perlu duduk bersama untuk menentukan pembagian kursi AKD. Ada keinginan agar penentuan kursi ketua di AKD dilakukan paralel dengan komposisi kursi kabinet. Artinya, penentuan kursi menteri sebisa mungkin disesuaikan dengan penentuan kursi pimpinan komisi di DPR.
”Tujuannya agar program berjalan secara efektif. Jangan sampai ada program pemerintah yang bagus, tetapi di DPR yang memegang (komisi) punya tujuan tertentu, akhirnya (program itu) malah tidak bisa jalan,” tuturnya.
Sesuai dengan agenda partai untuk lima tahun ke depan, PKB mengincar Komisi V (Bidang Desa dan Infrastruktur), Komisi VI (Bidang Koperasi dan UKM), dan Komisi X (Bidang Pendidikan dan Pemuda).
Lebih cepat
Terlepas dari lobi antarfraksi yang masih berlangsung, Dasco berharap, pembentukan dan penentuan pimpinan alat kelengkapan DPR harus dilakukan lebih cepat. ”Minggu ini harus selesai agar kami bisa segera bekerja,” katanya.
Pembentukan dan penentuan pimpinan AKD yang berbelit sebenarnya bukan barang baru. Lima tahun lalu, AKD belum terbentuk hingga tiga minggu setelah pelantikan anggota Dewan. Hal ini terjadi karena pada saat itu, kekuatan politik di DPR terbelah menjadi dua, antara Koalisi Indonesia Hebat (pendukung pemerintah) dan Koalisi Merah Putih (oposisi).
Peneliti Centre for Strategic and International Studies, Arya Fernandes, mengatakan, pembentukan AKD memang sarat dengan kompromi dan transaksi yang tidak mudah dan memakan waktu.
Namun, pembahasan kepentingan antarfraksi yang berlarut bisa berdampak kontraproduktif terhadap kinerja DPR. Anggota DPR mestinya bisa bekerja lebih cepat mengingat ada sejumlah rancangan undang-undang penting dan kontroversial yang diwariskan oleh DPR periode sebelumnya yang mesti segera dibahas. RUU Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana, misalnya.
”Diharapkan partai-partai bisa cepat menegosiasikan alat kelengkapan karena beberapa RUU yang ditangguhkan butuh pembahasan yang cepat,” ujar Arya.