Sejumlah imbauan dan rencana dipaparkan pejabat pemerintah terkait pemulihan situasi Wamena, Papua. Bagi pelajar yang sejak 23 September lalu terpaksa libur atau eksodus, keinginan mereka sederhana: sekolah aman dan gembira.
Selasa (8/10/2019) siang, Sifra Pibral (10) bermain gembira bersama 12 teman sebayanya di halaman depan Gedung Tongkonan di daerah Kotaraja, Distrik Abepura, Kota Jayapura, Papua. Mereka berdiri membentuk lingkaran. Tawa canda ada bersama mereka. Tidak tampak raut wajah sedih saat itu. Semua seperti baik-baik saja.
Mereka semua pelajar yang berasal dari sejumlah SD di Wamena. ”Kami masih ketakutan kembali ke Wamena. Bapak Presiden, kami mohon dapat belajar kembali di Wamena,” kata siswa kelas IV SD Triesa Unggul itu. Dua minggu lebih ia tinggal di gedung milik paguyuban Ikatan Keluarga Toraja Provinsi Papua itu. Gedung tersebut menampung 1.028 pengungsi asal Toraja, Sulawesi Selatan, yang bermukim di Wamena.
Sifra bersama ribuan pengungsi tidur di aula Gedung Tongkonan dengan lebar 14 meter dan panjang 50 meter. Pengungsi dewasa dan anak-anak tidur di atas kasur. Ada juga yang hanya beralas tikar. Mereka dapat bantuan makanan, air bersih, berikut posko kesehatan.
Namun, jelas tak ideal untuk aktivitas sehari-hari, termasuk belajar. Bermain terus juga jenuh. ”Saya ingin segera sekolah lagi,” kata Sifra. Lekas belajar di sekolah menjadi keinginan siswa-siswi yang terpaksa mengungsi. Tak ingin buang waktu, Selasa pagi, Nuraini (9) mulai masuk sekolah di SD Pakkabba di Kecamatan Galesong Utara, Takalar, Sulsel. Ia segera ingin belajar.
”Dia yang minta dan saya juga pikir daripada kelamaan tidak belajar. Dengan sekolah, dia bisa menghibur diri dan bertemu teman baru. Pihak sekolah juga tidak mempersulit. Senin kami melapor, Selasa sudah masuk,” kata Andriani (27), ibunda Nuraini. Mereka tiba di Makassar setelah perjalanan panjang dari Wamena ke Jayapura, lalu perjalanan laut lima hari empat malam hingga tiba di Makassar, Sabtu (5/10).
Hal sama dilakukan Marten Kabak (39), yang langsung mengurus sekolah anaknya di salah satu SMP di Kecamatan Sesean, Toraja Utara. Anaknya, Juni Pabaso, yang duduk di kelas VII SMP, memilih langsung ikut belajar beberapa hari setelah tiba di kampung halamannya. Tiga adik Juni juga melanjutkan di SD di sana. ”Tidak ada masalah. Saat kami melapor, pihak sekolah mencatat dan bisa langsung masuk. Puji Tuhan kami dipermudah urusan sekolah hingga anak-anak tidak akan ketinggalan pelajaran,” katanya.
Tetap bertahan
Jauh di Wamena, Jayawijaya, siswa-siswi yang bertahan di kaki Lembah Baliem yang sejuk itu sudah mulai masuk sekolah Senin lalu. Hari pertama belajar diisi bersih kelas dan saling melepas rindu dengan teman-teman sekolah setelah tak bertemu lebih dari dua minggu lamanya. ”Saya hanya berdiam diri di rumah beberapa minggu ini. Saatnya kami mengejar kembali materi pelajaran,” kata Yapela Adnawas (16), siswi kelas X SMA Negeri 1 Wamena.
Senin lalu, ia menyapu banyak serpihan pecahan kaca di lantai kelasnya. SMAN 1 termasuk dalam 19 sekolah yang rusak akibat kerusuhan. Sekolah-sekolah lain juga masih harus diperbaiki sebelum bisa digunakan lagi dengan optimal. Saat kerusuhan sekitar pukul 08.00 WIT, Yapela bersama 35 teman sekelasnya sedang mengikuti ujian tengah semester. Ujian baru saja dimulai ketika kerusuhan muncul.
”Kami bersembunyi di bawah kolong meja saat massa melempar kaca. Mereka baru meninggalkan sekolah setelah polisi datang sejam kemudian,” katanya. Ia masih merasa ketakutan jika mengingat peristiwa itu. Kepala SMAN 1 Wamena Yoseph Wibisono mengatakan, kerusuhan menyebabkan sekolah tidak bisa melaksanakan ujian tengah semester. Sudah terlambat.
Saat ini, mereka masih fokus pada pemulihan trauma bagi guru dan pelajar. Pemulihan di antaranya dilakukan bersama lembaga Wahana Visi Indonesia (WVI). Baru setelah itu sekolah mempersiapkan diri menghadapi ujian semester pada November mendatang.
Senin lalu, rata-rata jumlah kehadiran pelajar di 61 sekolah baru 10-20 persen. Misalnya, di SMAN 1 Wamena, baru 200 pelajar yang hadir dari total 947 pelajar. Di SMP Negeri 1 Wamena, baru 190 pelajar dari total 1.097 pelajar yang bersekolah di sana.
Menurut Sekretaris Dinas Pendidikan Kabupaten Jayawijaya Bambang Budiandoyo, sektor pendidikan salah satu yang terdampak parah unjuk rasa yang berujung kerusuhan itu. Pemicunya adalah kabar bohong ujaran rasis oleh salah satu guru kepada siswa di SMA PGRI Wamena.
”Insiden ini menyebabkan sekitar 200 guru dan ribuan siswa mengungsi. Kami telah meminta bantuan 30 tenaga pengajar dari Yayasan Indonesia Cerdas,” tutur Bambang. Total terdapat 61 sekolah di Wamena yang terdiri dari 11 TK, 22 SD, 16 SMP, 5 SMK, dan 7 SMA. Data sementara, jumlah siswa SD dan SMP sebanyak 11.203 siswa. Jumlah siswa SMA, SMK, dan TK serta PAUD masih dalam tahap pendataan.
Di depan pengungsi di Wamena, Selasa kemarin, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto menegaskan jaminan keamanan. Panglima TNI dan Kepala Polri sudah menjamin sehingga warga dari mana pun di Wamena diminta tetap tenang dan tinggal menetap.
Hadir juga dalam pertemuan tersebut Menteri Kesehatan Nila Moeloek, Menteri Sosial Agus Gumiwang, dan Menteri BUMN Rini Soemarno. Mereka meninjau langsung situasi pasca-kerusuhan yang menewaskan 31 orang itu.
Di Jakarta, Presiden Joko Widodo memimpin rapat terbatas membahas sejumlah hal, termasuk pemulihan Wamena. Salah satunya dibahas dampak dan biaya pemulihan infrastruktur sosial dan ekonomi.
Di Wamena, guru SD Inpres Mulele, Servim Bumbungan, mengatakan, ia menyambut baik komitmen pemerintah menjamin keamanan. Ia yang sudah 19 tahun bekerja di Wamena tidak akan kembali ke tanah kelahirannya. Syaratnya, keamanan itu benar-benar nyata.
(FLO/REN/EDN/INA/SAN)