JAKARTA, KOMPAS – Auditor berperan penting dalam menjalankan manajemen pemerintah daerah dengan basis sistem pengawasan internal pemerintahan (SPIP). Namun, jumlah auditor dalam aparat pengawas internal pemerintah (APIP) sangat kurang sehingga masih membuka peluang terjadinya korupsi.
Data Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) per 30 September 2019 menunjukkan, jumlah auditor di daerah baru mencapai 18.000 orang, sementara kebutuhan mencapai 46.000 orang. Secara kapabilitas, sebagian besar APIP masih berada di level 1 dari lima level yang menjadi dasar penilian. APIP di level tersebut tersebar di 289 daerah atau 53,32 persen dari 542 daerah.
Kurangnya auditor juga terjadi di Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Total pegawai APIP yang juga berperan sebagai inspektorat pemerintah daerah, ada sekitar 250 orang. Namun, jumlah auditor baru mencapai 190 orang dari kebutuhan 334 auditor.
Kepala Inspektorat DKI Jakarta, Michael Rolandi, menyampaikan, level kapabilitas dari inspektorat pun baru masih ada yang berada di level 2 ke bawah dan level 3 dengan catatan. Artinya, para inspektorat belum sepenuhnya efektif dapat mengawal manajemen pemerintahan.
“Kekurangan hingga 144 auditor sudah diusulkan dalam rekrutmen Calon Pegawai Negeri Sipil mendatang. Peran inspektorat ini sangat penting karena sebagai garda terakhir untuk mengawal kebijakan kepala daerah agar bisa tercapai,” ujar Michael saat ditemui di Balai Kota, Jakarta Pusat, Rabu (9/10/2019).
Pentingnya peran inspektorat juga harus didukung dengan SPIP yang efektif pada seluruh tahapan proses manajemen pengelolaan keuangan daerah. Menurut Michael, saat ini DKI Jakarta terus mengembangkan SPIP berbasis teknologi.
Dalam mengawal pengelolaan keuangan daerah, ada beberapa titik rawan tindak pidana korupsi. Mulai dari sektor perencanaan, pembangunan, dan anggaran; pelaksanaan barang dan jasa; perizinan; hingga rekrutmen pegawai.
Sebagai gambaran, dalam mengawal perencanaan, DKI Jakarta sudah memiliki e-planning dan e-budgeting. Pada tahap ini, inspektorat pun terus mendampingi mulai dari perencanaan hingga penyusunan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD).
Sementara dalam pengadaan barang dan jasa, DKI Jakarta sudah melaksanakan probity audit dan probity advice. Pedoman ini untuk mencegah korupsi dan memastikan proses penyelenggaraan kegiatan sektor publik berjalan wajar, obyektif, dan akuntabel.
“Kami juga punya klinik konsultasi, jadi kalau ada teman-teman dari satuan perangkat daerah mengalami kesulitan, bisa ke klinik konsultasi untuk diberikan arahan jalan keluar sesuai aturan dan akuntabel,” tutur Michael.
Pentingnya komitmen
Menurut Michael, komitmen pimpinan kepala daerah juga menjadi penting selain dari kuatnya peran dan fungsi APIP serta SPIP. Apabila semua ini ada dalam manajemen pemerintahan daerah, maka pencegahan korupsi dapat maksimal.
“Komitmen kepala daerah dalam melibatkan inspektorat itu sangat penting. Contohnya dilibatkan dalam hal perencanaan di rapat pimpinan sebagai komitmen untuk memfungsikan inspektorat. Termasuk juga dilibatkan dalam memberi masukan untuk memperkuat peraturan yang akan dikeluarkan,” ujarnya.
Meski begitu, belum semua kepala daerah memiliki komitmen yang kuat untuk memfungsikan inspektorat. Menurut Anggota Ombudsman RI Bidang Peradilan dan HAM, Adrianus Meliala, inspektorat di sejumlah daerah masih bermental “orang ketiga” dalam manajemen pemerintah.
Artinya, inspektorat cenderung mengawasi karena merasa dirinya hanya berperan dan berfungsi dalam persoalan administratif. Padahal, inspektorat memiliki peran dan fungsi sebagai consulting dan assurance yang dapat mengawal dan memberi teguran pada potensi korupsi kepala daerah.
Dosen Hukum Administrasi Negara dari Universitas Gadjah Mada, Richo Andi Wibowo menyampaikan, tujuan inspektorat bukan untuk “mukulin” kepala daerah tetapi memberikan masukan. Persoalannya memang karena tidak adanya komitmen dari para kepala daerah.
Sebagai contoh, dari hasil riset Richo bersama dosen lain pada 2018, Pemerintah Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan menunjukkan telah ada perubahan paradigma di kalangan ASN mengenai urgensi mendapatkan pengawasan dari inspektorat. Dari dinas yang awalnya mengacuhkan dan tidak kooperatif menjadi berharap dikawal dan diperiksa inspektorat.
“Responden kami menyatakan bahwa para pejabat satuan kerja tersebut sudah berpandangan lebih baik dikawal dan diarahkan oleh inspektorat daripada kekhilafan mereka belakangan dipermasalahkan oleh aparat penegak hukum. Dengan begitu, inspektorat benar-benar menjadi mata dan telinga kepala daerah,” ujar Richo.
Berjalan mundur
Proses penindakan pemberantasan korupsi di daerah dalam jangka panjang memberikan pesan bagi kepala daerah untuk lebih berhati-hati mengelola keuangan daerah, bahwa “mata” pengawasan ada di seluruh Nusantara. Namun yang terjadi saat ini, fungsi dan peran KPK malah dilemahkan.
Catatan KPK menunjukkan, dari awal 2002 hingga 7 Oktober 2019, ada 119 kepala daerah yang diproses KPK. Sebanyak 47 kepala daerah atau 39,4 persen di antaranya, ditangani KPK dari hasil kegiatan operasi tangkap tangan (OTT).
Menurut Richo, Keberadaan KPK yang hanya akan ada di Jakarta tanpa perwakilan kantor wilayah berpotensi membuat para kepala daerah terus “bermain” dalam kubangan korupsi. Sebab, mereka tidak lagi merasa diawasi.
“Pemberantasan korupsi dan pencegahan penyakit birokrasi itu adalah jalan panjang dan terjal sehingga pasti menimbulkan frustasi. Kita jalan di tempat itu mungkin saja tetapi harus tetap berjalan maju. Bukan seperti ini yang dilakukan pemerintah, jalannya mundur,” tegas Richo.