Kesadaran Membawa Penderita Gangguan Jiwa Berobat Masih Rendah
Rendahnya kesadaran keluarga dan lingkungan sekitar untuk membawa orang dengan gangguan jiwa berobat berpotensi membuat kondisi orang dengan gangguan jiwa semakin parah.
Oleh
KRISTI UTAMI
·4 menit baca
BREBES, KOMPAS — Rendahnya kesadaran keluarga dan lingkungan sekitar untuk membawa orang dengan gangguan jiwa berobat berpotensi membuat kondisi orang dengan gangguan jiwa semakin parah. Upaya edukasi dan advokasi kepada keluarga dinilai perlu dilakukan sehingga kesadaran keluarga dan lingkungan meningkat.
Kepala Seksi Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular dan Penyakit Tidak Menular Dinas Kesehatan Kabupaten Brebes Johan Assani mengatakan, belum semua orang memahami cara merawat dan menangani penderita gangguan jiwa. Bahkan, sebagian keluarga memilih untuk ”menyembunyikan” penderita gangguan jiwa daripada mengobati mereka.
”Kebanyakan keluarga menganggap penderita gangguan jiwa itu aib sehingga keberadaan mereka kerap kali ditutupi. Alih-alih membawa mereka berobat, kebanyakan keluarga malah mengurung atau memasung penderita gangguan jiwa,” kata Johan saat ditemui Kompas, Senin (7/10/2019), di Brebes.
Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kabupaten Brebes, jumlah orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) terus meningkat setiap tahun. Pada 2016, jumlah ODGJ di Brebes sebanyak 422. Jumlah tersebut terus meningkat pada 2017 mencapai 1.229 orang dan meningkat lagi pada 2018 menjadi 4.374 orang. Dari jumlah tersebut, setidaknya sebanyak 53 ODGJ dipasung.
Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kabupaten Brebes, jumlah orang dengan gangguan jiwa terus meningkat setiap tahun.
Berdasarkan pantauan Kompas pada Senin siang, sejumlah kasus pemasungan masih terjadi di Desa Buaran, Kecamatan Jatibarang, Kabupaten Brebes. Bentuk pemasungan beragam, seperti dirantai, dikrangkeng, dan dikurung di dalam ruangan. Salah satu penderita gangguan jiwa di Desa Buara yang dipasung adalah Triyono (27).
Menurut Sarinah (63), ibu Triyono, memasung dengan cara merantai kedua kaki Triyono adalah cara paling efektif untuk ”mengendalikan” Triyono. Sebab, jika tidak dipasung, Triyono kerap mengamuk dan merusak rumahnya dan rumah tetangga. Tak hanya itu, Triyono bahkan pernah melompat ke dalam sumur pada suatu malam.
”Kalau sedang kambuh, Triyono sering kali membahayakan dirinya dan orang lain. Dia pernah melompat ke dalam sumur. Bahkan, ayahnya ditarik sampai ikut tercebur ke sumur saat hendak menolong,” ucap Sarinah.
Tak hanya terhadap Triyono, Sarinah juga sering memasung anak pertamanya, Turipah (28). Senin siang, Turipah tidak dipasung karena kondisinya sedang stabil. Turipah memang lebih dulu terserang gangguan jiwa dibandingkan dengan Triyono. Meski begitu, menurut Sarinah, perilaku Turipah relatif lebih mudah dikontrol.
Saat ditemui, Turipah tampak sibuk membersihkan ikan di dekat sumur rumahnya. Tangan-tangan Turipah terampil membersihkan ikan yang ia pegang, tetapi beberapa kali mulut Turipah komat-kamit.
Tidak berobat
Sarinah tidak pernah membawa kedua anaknya yang menderita gangguan jiwa itu untuk berobat. Sarinah mengaku tidak tahu kalau pengobatan rutin secara medis bisa membantu meringankan atau menyembuhkan anak-anaknya dari gangguan jiwa.
Pengobatan secara medis juga tidak pernah diterima oleh satu keluarga yang menggalami gangguan jiwa, yakni Syariah Awaliyah (10), Nurul Kosiah (13), dan Suyati (40). Awalnya, yang menderita gangguan jiwa adalah Suyati. Kemudian, dua anaknya, yakni Syariah dan Nurul, juga menderita gangguan jiwa.
Kakak ipar Suyati, Binti khohiriayah (37), mengatakan, pihak keluarga tidak memiliki biaya untuk membawa adik ipar dan dua kemenakannya itu pergi berobat. Menurut Binti, Kasim (50), suami Suyati, sudah tidak pernah mengurus istri dan anak-anaknya. Untuk bisa makan sehari-hari, keluarga itu mengandalkan uluran tangan dari tetangganya. Terkadang, Nurul diminta mengemis oleh Kasim.
Dokter Puskesmas Klikiran, Kecamatan Jatibarang, Desi Perwita Sari, mengatakan, pasien gangguan jiwa bisa diobati di puskesmas secara gratis. Sebagian puskesmas juga membuka layanan pengobatan untuk ODGJ.
Pasien gangguan jiwa bisa diobati di puskesmas secara gratis. Sebagian puskesmas juga membuka layanan pengobatan untuk ODGJ.
”Obat untuk pasien gangguan jiwa itu gratis. Semua puskesmas juga menyediakan obat untuk pasien gangguan jiwa,” kata Desi.
Desi menjelaskan, jika tidak mungkin membawa pasien ke puskesmas, pihak keluarga bisa melapor ke puskesmas dan mengajukan permintaan obat bagi penderita gangguan jiwa. Biasanya, petugas puskesmas akan meninjau kondisi ODGJ ke rumahnya masing-masing dan membawa obat untuk mereka.
”Saat akses pada layanan pengobatan sudah terbuka, sekarang tinggal kemauan dan komitmen keluarga pasien yang dibutuhkan,” ujar Desi.
Program penyuluhan
Penyelenggara Program Kesehatan Jiwa Dinas Kesehatan Brebes Fatqiyaturohmah mengatakan, penyuluhan terkait cara penanganan pasien penyakit jiwa akan digalakkan hingga tingkat desa. Harapannya tidak hanya keluarga yang memiliki kesadaran untuk merawat dan menangani pasien jiwa dengan tepat, tetapi masyarakat luas juga mendukung.
”Pada 2020 kami akan membentuk sebuah tim penanganan kesehatan jiwa yang terdiri dari dinas kesehatan, dinas sosial, dinas kependudukan dan catatan sipil hingga perangkat-perangkat desa di seluruh Kabupaten Brebes. Sasarannya nanti semua desa bisa menjadi Desa Siaga Sehat Jiwa. Dengan demikian, tidak ada lagi pasien gangguan jiwa dibiarkan saja atau dipasung,” tuturnya.
Selain itu, Pemerintah Kabupaten Brebes juga tengah membangun puskesmas yang bisa memberikan layanan rawat inap bagi pasien gangguan jiwa di Kecamatan Losari. Saat sudah beroperasi pada 2020, puskesmas ini diperkirakan bisa menampung hingga delapan pasien gangguan jiwa yang memerlukan layanan rawat inap.