MPR Tak Akan Amendemen Pasal UUD 1945 tentang Presiden
Pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat periode 2019-2024 sepakat menindaklanjuti rekomendasi untuk mengkaji amendemen konstitusi.
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu/Dhanang David Aritonang/Agnes Theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat periode 2019-2024 sepakat menindaklanjuti rekomendasi untuk mengkaji amendemen konstitusi. Mereka berkomitmen bahwa rencana amendemen Undang-Undang Dasar 1945 tidak akan mengubah pasal mengenai tata cara pemilihan dan pemberhentian Presiden. Presiden dijamin akan tetap dipilih rakyat secara langsung.
Hal itu disampaikan oleh Wakil Ketua MPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Ahmad Basarah di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (9/10/2019) terkait dengan tujuh rekomendasi MPR periode 2014-2019 mengenai amendemen konstitusi.
Basarah mengakui, rekomendasi itu berasal dari aspirasi seluruh fraksi yang ada di MPR periode lalu. Akan tetapi, ketujuh pokok permasalahan itu akan kembali didiskusikan oleh Badan Pengkajian yang dipimpin Fraksi PDI-P di MPR periode ini. Hasilnya akan menjadi pertimbangan bagi Pimpinan MPR untuk menindaklanjuti rekomendasi amendemen terbatas UUD 1945 untuk membentuk Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN).
Untuk diketahui, usul amendemen konstitusi memang berawal dari PDI-P. Dalam berbagai kesempatan, termasuk kongres lima tahunan, partai politik itu mengemukakan wacana perlunya pembentukan GBHN sebagai rujukan pembangunan nasional. Bahkan, agenda itu juga dijadikan syarat dukungan dalam pemilihan Ketua MPR pekan lalu.
“Dalam posisi politik, PDI-P tetap berpegang pada konsep amendemen terbatas untuk menghadirkan GBHN melalui Ketetapan MPR,” kata Basarah.
Ia menjelaskan, untuk membentuk GBHN, amendemen hanya akan dilakukan pada Pasal 3 UUD 1945, yaitu menambah kewenangan MPR, yaitu menetapkan GBHN. Mengacu pada Pasal 3 ayat (1), (2), dan (3) UUD 1945, saat ini lembaga permusyawaratan itu berwenang mengubah dan menetapkan UUD, melantik Presiden dan Wakil Presiden, serta memberhentikan Presiden dan Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut UUD.
Oleh karena itu, tidak ada pengubahan terhadap pasal lain, termasuk dua pasal mengenai mekanisme pemilihan dan pemberhentian Presiden dan Wakil Presiden. Basarah tidak menampik, memang ada kekhawatiran dari sejumlah pihak jika kedua pasal itu diubah, pemilihan Presiden dan Wakil Presiden akan kembali menjadi wewenang MPR sehingga berpotensi memundurkan sistem demokrasi.
“Pasal 6A mengenai tata cara pemilihan Presiden dan Wakil Presiden serta Pasal 7A mengenai tata cara pemberhentian Presiden dan Wakil Presiden tidak kami sentuh,” kata Basarah.
Wakil Ketua MPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Hidayat Nur Wahid mengatakan, pengubahan sejumlah pasal yang terkait mekanisme pemilihan, pemberhentian, dan masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden tidak termasuk dalam rekomendasi. Untuk itu, Badan Pengkajian juga tidak akan memasukkannya ke dalam daftar topik yang akan dibahas. “Saya memastikan bahwa Badan Pengkajian tidak memiliki mandat untuk mengkaji pasal-pasal (terkait Presiden) itu,” kata dia.
Wakil Ketua MPR dari Fraksi Partai Gerindra Ahmad Muzani mengatakan, seiring dengan tidak adanya agenda pengubahan pasal terkait Presiden dan Wakil Presiden dalam rekomendasi, kekhawatiran bahwa Presiden tidak dipilih rakyat semestinya terbantah. Fraksinya pun tak setuju jika mekanisme pemilihan langsung dihilangkan.
Partisipatif
Basarah mengatakan, untuk memastikan batasan amendemen, Badan Pengkajian akan melaksanakan pembahasan secara komprehensif dengan seluruh fraksi dan kelompok DPD. Pembahasan secara resmi akan dimulai pekan depan, setelah pimpinan Alat Kelengkapan MPR disahkan.
Jika pembahasan di internal MPR sudah tuntas dan mencapai kesamaan pandangan, maka gagasan amendemen akan diuji publik untuk mendapatkan pandangan dari masyarakat dan persetujuan dari para ketua umum partai dan Presiden. Berbekal kesepakatan nasional itu, MPR baru bisa mengusulkan amendemen terbatas secara formal.
Pengubahan sejumlah pasal yang terkait mekanisme pemilihan, pemberhentian, dan masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden tidak termasuk dalam rekomendasi
Ketua MPR Bambang Soesatyo berjanji, pembahasan rencana amendemen itu akan dilaksanakan secara transparan dan melibatkan masyarakat. Pelibatan publik penting karena keputusan terkait konstitusi akan berimplikasi besar pada kehidupan bangsa. “Kami harus cermat dan menyerap seluruh aspirasi yang berkembang di masyarakat,” kata dia.
Pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera Bivitri Susanti berpendapat, mekanisme pelibatan masyarakat yang dimaksud MPR dipertanyakan. Perlu ada metodologi yang jelas sehingga pendapat masyarakat dipastikan untuk didengar.
Sebab, wacana amendemen konstitusi sebenarnya sudah mengemuka sejak periode lalu. Ia pun sempat diundang untuk menyampaikan pendapat sekitar tahun 2015. “Namun, pihak yang berbeda pendapat dengan agenda amendemen itu tidak pernah diundang lagi ke MPR,” kata Bivitri.
Menurut dia, saat ini terdapat kekeliruan pola distribusi wacana amendemen, karena berasal dari gagasan elite politik yang disebarkan ke masyarakat. Padahal, agenda itu semestinya berasal dari keinginan masyarakat. Sebagaimana amendemen pertama yang dilakukan pada 1999-2002 bermula dari kehendak rakyat, yaitu bagian dari tuntutan gerakan reformasi 1998.
Bivitri memandang, agenda amendemen yang dikemukakan saat ini hanya merepresentasikan kepentingan elite politik semata. Hal itu berpotensi menimbulkan kegaduhan. “Amendemen yang dilakukan secara top down bisa memicu gejolak masyarakat baik di lingkup dalam negeri maupun internasional,” kata Bivitri.