JAKARTA, KOMPAS — Kolaborasi pemerintah daerah dengan organisasi masyarakat sipil dalam meningkatkan kapasitas perempuan di tingkat akar rumput, terutama di wilayah pesisir yang terpencil, mendorong perempuan-perempuan miskin bangkit dan berdaya. Tidak hanya memahami hak-hak perempuan, saat ini sejumlah perempuan di wilayah kepulauan berperan aktif dalam program pembangunan di daerahnya.
Di Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara Timur, misalnya, selama beberapa tahun terakhir ribuan perempuan menjadi bagian dalam pengembangan sektor kelautan, yang mendorong peningkatan ekonomi bagi masyarakat di wilayah pesisir. Tak hanya itu, sejumlah perempuan di pesisir kini tampil menjadi pemimpin di daerahnya. Peran perempuan tersebut memberikan kontribusi dalam program pemerintah untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan/Sustainable Development Goals (TPB/SDGs).
Bahkan, di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan (Pangkep) Sulawesi Selatan, Program Kemitraan Australia-Indonesia untuk kesetaraan jender dan pemberdayaan perempuan (Mampu) melalui Sekolah Perempuan, membuka akses perempuan terhadap berbagai program pemerintah dan melahirkan perempuan kritis di akar rumput. Bahkan perempuan nelayan pun mendapat pengakuan.
“Perempuan adalah kunci dalam membangun pulau. Pentingnya pengakuan status perempuan sebagai nelayan karena dengan pengakuan tersebut nelayan perempuan mendapatkan jaminan perlindungan sosial,” ujar Direktur Institut Kapal Perempuan (Lingkaran Pendidikan Alternatif Untuk Perempuan) Misiyah, pada Konferensi Tahunan TPB Kedua Tahun 2019 yang diselenggarakan Bappenas, di Jakarta, Rabu (9/10/2019.
Pentingnya pengakuan status perempuan sebagai nelayan karena dengan pengakuan tersebut nelayan perempuan mendapatkan jaminan perlindungan sosial.
Acara yang dipandu Anna Winoto dari Kolaborasi Masyarakat dan Pelayanan untuk Kesejahteraan (Kompak) tersebut juga menghadirkan sejumlah pembicara. Selain Nurlina (nelayan perempuan dari Kabupaten Pangkep), I Gusti Ayu Nyoman Sitawati (pengusaha perusahaan pengelolaan rumput laut), hadir juga Prof Linawati Hardjiyo (peneliti Ocean Fresh), Syamsuddin A Hamid (Bupati Pangkep), dan Dimiati Nongpa (Kepala Bappeda Kabupaten Bantaeng).
Program Sekolah Perempuan di 10 pulau di Kabupaten Pangkep untuk mendukung program kelautan berkelanjutan dilaksanakan Kapal Perempuan bersama Yayasan Pengkajian dan Pembangun Masyarakat (YPKM) Sulsel. “Kami memilih pulau-pulau, bukan karena indahnya tetapi di kepulauan inilah kita mendapatkan potret kompleksitas masalah. Di sinilah fokusnya jika Indonesia \'Membangun dari Pinggiran\' maritim,” ujar Misiyah seraya mengutip pidato Presiden Joko Widodo yang menyatakan Indonesia sebagai poros maritim.
Kami memilih pulau-pulau, bukan karena indahnya tetapi di kepulauan inilah kita mendapatkan potret kompleksitas masalah.
Pernyataan Presiden tersebut menurut Misiyah bermakna agar Indonesia tidak membelakangi laut. “Kami menyambungnya dengan jangan memunggungi perempuan,” ungkap Misiyah yang kemudian mencontohkan Lina adalah satu nelayan perempuan, satu pemimpin perempuan yang lahir di wilayah kepulauan.
Adapun Nurlina, saat tampil berbicara di sesi tersebut, memperkenalkan dirinya sebagai perempuan nelayan yang mendapat pengakuan dari pemerintah. Ia menunjukkan kartu nelayan yang diberikan Pemkab Pangkep.
“Kartu ini menandakan bahwa pemerintah telah mengakui bahwa perempuan-perempuan yang tinggal di pesisir pulau yang melakukan kegiatan-kegiatan melaut juga adalah nelayan. Jadi, nelayan itu tidak hanya laki-laki. Perempuan juga bisa menjadi nelayan,” papar Nurlina yang disambut tepuk tangan dari para peserta sesi dialog tersebut.
Kerja sama
Bupati Pangkep Syamsuddin mengatakan, Pemkab Pangkep memberikan perhatian terhadap isu-isu perempuan. Sejak tahun 2013 pemkab telah melakukan kerja sama dengan Mampu-Kapal Perempuan-YKPM untuk melaksanakan Program Gender-Watch yang pesertanya adalah perempuan-perempuan di 10 pulau.
“Pemerintah mengalokasikan anggaran untuk Sekolah Perempuan Pulau. Selain itu memberikan kartu nelayan untuk Nurlina, dan saat ini tengah memproses kartu nelayan untuk 40 perempuan nelayan,” kata Syamsuddin.
Pengakuan Pemkab Pangkep terhadap perempuan nelayan juga ditunjukkan dengan memberikan bantuan kapal katinting baik kepada semua nelayan baik laki-laki maupun perempuan.
Selain Mampu, Program Kemitraan Australia-Indonesia juga dilakukan dalam program Australia-Indonesia Partnership for Promoting Rural Incomes through Support for Markets in Agriculture (Prisma) yang bermitra dengan CV Mazu Seaweed di Kabupaten Sabu Raijua, NTT. Ada juga program Kolaborasi Masyarakat dan Pelayanan untuk Kesejahteraan (Kompak) yang menggandeng Ocean Fresh di Kabupaten Bantaeng, Sulsel, yang memberdayakan petani rumput laut.
Robert Brink, Konselor Kerjasama Pembangunan dari Kedutaan Besar Australia di Indonesia menyatakan Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki potensi yang besar di sektor keluar. ”Pemerintah Australia dan Indonesia bekerjasama untuk mencapai SDGs dengan mengembangkan sektor kelautan secara berkelanjutan,” katanya.