Pesta Demokrasi Daerah, Persoalan dan Potensi Konflik
Meski waktu pemungutan suara pemilihan kepala daerah serentak 2020 baru akan dilaksanakan pada 23 September 2020, sejumlah persoalan dan potensi konflik harus disikapi serius sejak dini.
Meski waktu pemungutan suara pemilihan kepala daerah serentak 2020 baru akan dilaksanakan pada 23 September 2020, sejumlah persoalan dan potensi konflik harus disikapi serius sejak dini. Antisipasi pun mutlak dibutuhkan agar melancarkan seluruh tahapan Pilkada 2020 dan tidak menimbulkan konflik horizontal di masyarakat lokal.
Tahapan penyelenggaraan Pilkada 2020 resmi dimulai pada 1 Oktober 2019 yang diawali dengan penandatanganan naskah perjanjian hibah daerah (NPHD) untuk pembiayaan seluruh proses pilkada.
Hal ini sesuai dengan ketentuan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 15 Tahun 2019 tentang Tahapan, Program, dan Jadwal Pilkada 2020 yang menyebutkan penandatanganan NPHD dijadwalkan paling lambat dilakukan pada 1 Oktober 2019.
Meski demikian, persoalan telah muncul pada awal tahapan Pilkada 2020 ini. Persoalan tersebut adalah masih terdapat banyak daerah yang belum juga menandatangani NPHD. Padahal, penandatanganan NPHD sangat penting untuk memastikan ketersediaan anggaran untuk menunjang penyelenggaraan pilkada.
Berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum (KPU), hingga Senin (7/10/2019), masih terdapat 61 daerah yang terdiri atas 3 provinsi dan 58 kabupaten/kota yang belum menyelesaikan NPHD. Adapun total daerah yang menyelenggarakan pilkada sebanyak 270 daerah yang terdiri atas 9 provinsi dan 261 kabupaten/kota.
Ketua KPU Arief Budiman menyatakan, kendala belum ditandatanganinya NPHD antara pemimpin daerah dan penyelenggara pemilu terkait besaran anggaran.
Baca juga: Musim Gugur Oposisi
Menurut dia, usulan anggaran yang disampaikan KPU daerah saat ini lebih besar dari pilkada lima tahun lalu karena menyesuaikan honor penyelenggara ad hoc hingga pertimbangan inflasi. Di sisi lain, dengan membengkaknya anggaran, tidak mudah bagi pemda untuk memenuhi permintaan itu.
Persoalan ini kemudian coba diselesaikan oleh sejumlah pihak, seperti KPU, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Pada Senin (7/10/2019) siang, di Kemendagri, rapat koordinasi digelar untuk mengevaluasi pendanaan Pilkada 2020. Sejumlah pemerintah daerah dan KPU serta Bawaslu daerah turut hadir.
Anggaran yang diusulkan KPU/Bawaslu daerah terlalu besar, sedangkan porsi APBD tidak mencukupi.
Dalam rapat tersebut, sejumlah pemerintah kabupaten/kota tidak menampik bahwa kesepakatan besaran anggaran pilkada antara pemda dan penyelenggara pemilu masih alot. Mereka menyebut anggaran yang diusulkan KPU/Bawaslu daerah terlalu besar, sedangkan porsi APBD tidak mencukupi.
Perwakilan KPU dan Bawaslu daerah tetap berkeras bahwa anggaran yang diusulkan telah sesuai dengan nominal yang ditetapkan KPU pusat dan peraturan Menteri Keuangan. Di sejumlah kabupaten/kota di Nusa Tenggara Timur, misalnya, penyelenggara pemilu mengatakan pembahasan bersama pemda telah dilakukan. Namun, hasil pembahasan tidak ditindaklanjuti.
Baca juga: KPU dan Kemendagri Minta Pemda Segera Selesaikan Anggaran Pilkada
Di tengah dua kepentingan yang bertolak belakang itu, Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah Kemendagri Syarifuddin menegaskan bahwa Kemendagri akan tetap memfasilitasi sejumlah daerah yang belum menemukan titik kesepakatan.
Para perwakilan pemda dan penyelenggara pemilu daerah yang hadir kemudian diinstruksikan untuk segera membuat berita acara kesepakatan penyediaan dana pilkada atau NPHD maksimal hingga 14 Oktober. Jika sampai tenggat waktu belum juga tercapai kesepakatan, sejumlah daerah akan kembali diundang Kemendagri untuk melakukan evaluasi.
Potensi konflik
Di tengah persoalan anggaran ini, pemda dan penyelenggara pemilu juga harus melihat potensi permasalahan lain yang dapat muncul saat tahapan pilkada lainnya berlangsung. Hal ini juga ditegaskan oleh Asisten Deputi Koordinasi Pengelolaan Pemilu dan Penguatan Partai Politik Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam) Yusran Yunus.
Dia mengatakan, selain keterlambatan pencairan NPHD, permasalahan umum lainnya dalam Pilkada 2020, antara lain, belum optimalnya kesiapan daftar pemilih, potensi sengketa pencalonan, kurang optimalnya sosialisasi penyelenggaraan pilkada, dan potensi konflik antar-pendukung pada saat kampanye hingga pemungutan suara.
Dari catatan Kemenko Polhukam, masih akan ada daerah rawan konflik pada Pilkada 2020. Hal ini berkaca pada pilkada serentak 2015, 2017, dan 2018 yang juga kerap berujung konflik.
Baca juga: Kelemahan di UU Pilkada Dapat Memicu Kekacauan
Potensi konflik di sejumlah daerah ini juga menjadi fokus aparat keamanan. Menurut Kepala Biro Pembinaan dan Operasional Polri Brigadir Jenderal (Pol) Agung Wicaksono, kejadian kericuhan di sejumlah wilayah di Jakarta pada Pemilu 2019 juga akan diantisipasi oleh aparat keamanan.
Selama pengamanan Pemilu 2019, Polri mencatat telah menangani 87 kasus, di antaranya perusakan alat peraga kampanye, operasi tangkap tangan gakkumdu terhadap calon atau tim sukses, unjuk rasa anarkistis, pembakaran, hingga bentrok massa. Adapun daerah dengan kasus terbanyak ditangani oleh Polda Jawa Timur, DI Yogyakarta, DKI Jakarta, dan Sumatera Utara.
Untuk mencegah kasus-kasus itu berulang pada Pilkada 2020, Yusran meminta pemda turut mencegahnya. Pemda harus mengetahui potensi konflik di masing-masing daerah dan setiap permasalahan yang muncul segera diselesaikan dengan bersinergi bersama penyelenggara pemilu dan aparat keamanan.
Baca juga: Menunggu Revisi UU Pilkada
Selain itu, penting pula menjaga netralitas aparatur sipil negara (ASN), penyelenggara pemilu, dan aparat keamanan, khususnya daerah-daerah yang calon kepala daerahnya berstatus sebagai petahana. Sebab, sikap tidak netral juga kerap memicu konflik saat pilkada.
Hal lain, segera menyelesaikan kebutuhan anggaran pilkada. Jika tahapan pilkada sudah dimulai dan kemudian terhenti karena ketiadaan anggaran, bisa pula menjadi salah satu pemicu konflik.
Ancaman siber dan hoaks
Sementara itu, anggota KPU, Pramono Ubaid Tanthowi, tidak menampik potensi serangan siber selama Pilkada 2020. Serangan siber, misalnya, berpotensi kian meningkat seiring rencana diberlakukannya rekapitulasi penghitungan suara secara elektronik pada Pilkada 2020.
”Pada Pemilu 2019, kami sudah membuktikan bahwa serangan seperti itu tidak memengaruhi sistem teknologi informasi (TI) KPU sama sekali. Ini karena kami belajar dari Pilkada 2018, ketika hari pemungutan suara situng KPU langsung down. Dari situ KPU melakukan penguatan sistem TI sehingga Pemilu 2019 kemarin relatif aman,” ujarnya.
Selain itu, serangan hoaks juga dinilai KPU masih akan muncul pada Pilkada 2020. Pakar komunikasi politik sekaligus Guru Besar FISIP Universitas Airlangga Henry Subiakto juga melihat hal serupa.
Hoaks seperti Pemilu 2019 berpotensi digunakan untuk menggiring opini dan menarik suara publik pada calon tertentu. Terlebih sudah ada pandangan, memproduksi hoaks dinilai lebih murah dan kecil risikonya dibandingkan dengan melakukan politik uang.
Menurut dia, hoaks yang marak selama Pemilu 2019 masih berpotensi muncul pada Pilkada 2020. Hoaks seperti Pemilu 2019 berpotensi digunakan untuk menggiring opini dan menarik suara publik pada calon tertentu. Terlebih sudah ada pandangan, memproduksi hoaks dinilai lebih murah dan kecil risikonya dibandingkan dengan melakukan politik uang.
Baca juga: Teknologi dan Pilkada 2020
Data Direktorat Cyber Crime Polri menyebutkan, sejak Januari hingga Juni 2019 terdapat 2.800 perkara siber yang ditangani Polri. Sebanyak 35 persen atau 1.000 perkara di antaranya merupakan kasus hoaks dan ujaran kebencian yang berkaitan dengan Pemilu 2019.
Hingga tiba waktu pemungutan suara Pilkada 2020 memang masih tersisa sekitar 11 bulan. Namun, seluruh persoalan, potensi konflik, hingga ancaman sudah sepatutnya diantisipasi dan disikapi secara serius guna meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap pemilu dan demokrasi di Indonesia.