Untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs) 2020-2030 butuh dana investasi sebesar Rp 67.801 triliun. Pemerintah menggandeng berbagai pihak untuk membiayai dengan skema pembiayaan campuran yang inovatif.
Oleh
M PASCHALIA JUDITH J
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS -- Untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan atau SDGs sepanjang 2020 hingga 2030 dibutuhkan dana investasi sebesar Rp 67.801 triliun. Oleh sebab itu, pemerintah menggandeng berbagai pihak untuk bersama-sama memenuhi pendanaan ini melalui skema pembiayaan campuran yang bersifat inovatif.
Pembiayaan campuran (blended financing) itu dapat menggabungkan sejumlah mekanisme atau sumber pendanaan, seperti filantropi, dana tanggung jawab sosial korporasi, serta sukuk dan surat utang berwawasan lingkungan.
Selain itu ada juga sumber pendanaan dari zakat, dana berdampak sosial, urun dana (crowdfunding), Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU), dan Pembiayaan Infrastruktur Non-anggaran Pemerintah (PINA).
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Bambang PS Brodjonegoro, mengatakan, pencapaian SDGs merupakan kerja bersama yang memerlukan sikap ambisius agar dapat terwujud pada 2030. Karena merupakan kerja bersama, semua pihak terkait perlu menyadari, pendanaan untuk SDGs juga mesti bersama-sama.
"Mengandalkan APBN dari pemerintah tidak akan cukup," kata dia dalam "SDGs Annual Conference 2019" yang diselenggarakan Bappenas di Jakarta, Rabu (9/10/2019).
Berdasarkan proyeksi Bappenas dengan skenario intervensi tinggi, Indonesia membutuhkan investasi sebesar Rp 2.867 triliun pada 2020 untuk melaksanakan SDGs. Pada 2030, investasi yang dibutuhkan sebesar Rp 10.397 triliun.
Kontribusi pemerintah untuk memenuhi pendanaan tersebut diharapkan semakin mengecil hingga 2030. Pendanaan dari pemerintah berkisar 63,4 persen pada 2020 dan secara bertahap menjadi 58 persen pada 2030.
"Artinya, peran dari pihak-pihak di luar pemerintah ditargetkan semakin membesar," kata Bambang.
Bambang mencontohkan perbandingan APBN dan kebutuhan investasi untuk SDGs pada 2020. Pada 2020, APBN berkisar Rp 2.500 triliun. Padahal, SDGs di Indonesia membutuhkan Rp 2.867 triliun.
"Perbandingan angka ini menunjukkan, masih ada kekurangan dana untuk mewujudkan program SDGs. Untuk itu dibutuhkan keterlibatan pihak-pihak dan aktor di luar pemerintah untuk mendanai SDGs," katanya.
SDGs Financing Hub
Untuk memfasilitasi pembiayaan tersebut, Bappenas meluncurkan SDGs Financing Hub. Hub pembiayaan ini bertujuan untuk menjembatani pihak-pihak penyalur dana dengan proyek-proyek berorientasi SDGs sehingga lebih tepat sasaran.
"Harapannya, kemitraan yang inklusif dan partisipatif terwujud dalam hal pendanaan. Adapun skema pembiayaan untuk SDGs bersifat campuran dan inovatif, baik dari segi sumber dana maupun mekanisme penyalurannya," kata Bambang.
Bappenas meluncurkan SDGs Financing Hub untuk menjembatani pihak-pihak penyalur dana dengan proyek-proyek berorientasi SDGs sehingga lebih tepat sasaran.
Salah satu contoh proyek yang sarat nilai SDGs yang memanfaatkan pembiayaan campuran ialah, pembangunan dan revitalisasi pembangkit listrik tenaga mikrohidro di Jambi. Proyek ini memanfaatkan pembiayaan dari Badan Zakat Nasional, Bank Jambi, United Nations Development Programs (UNDP), Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, serta Pemerintah Provinsi Jambi.
Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Eko Putro Sandjojo, mengatakan, pengentasan kemiskinan di tingkat desa menjadi langkah strategis untuk mewujudkan SDGs di Indonesia.
"Hal ini membutuhkan model bisnis yang mampu melibatkan swasta. Kuncinya ialah, menciptakan common interest atau kepentingan bersama," ujarnya.
Dalam kesempatan yang sama, Bappenas dan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi menandatangani nota kesepahaman (MoU). MoU itu tentang percepatan pencapaian membangunan berkelanjutan melalui proyek percontohan pembangunan desa dengan skema pembiayaan sosial impact bonds/impact investment.
Harapannya, keberhasilan program yang sarat nilai SDGs di tingkat perdesaan menjadi contoh keberhasilan pendanaan bersama.
Jaminan investasi
Ekonom senior Center for Strategic and International Studies (CSIS) sekaligus Presiden, United in Diversity Foundation, Mari Elka Pangestu, berpendapat, proyek berorientasi SDGs yang telah berhasil di Indonesia perlu mendapatkan sorotan dan diperbanyak. Hal ini dapat menjadi magnet bagi penyalur dana untuk terlibat dalam pembiayaan.
Selain itu, perlu adanya kepastian pengembalian investasi dan analisis risiko pelaksanaan proyek. Hal ini penting guna menggaet swasta dan korporasi agar terlibat dalam program SDGs melalui sistem pendanaan yang bersifat komersial.
"Oleh sebab itu, pemerintah perlu membuat mekanisme sistem jaminan dan garansi terhadap proyek SDGs yang didanai. Sistem ini dapat memberikan kepastian keamanan investasi bagi aktor swasta dan korporasi," kata dia.
Pemerintah perlu membuat mekanisme sistem jaminan dan garansi terhadap proyek SDGs yang didanai. Sistem ini dapat memberikan kepastian keamanan investasi bagi aktor swasta dan korporasi.
Sementara, Chair of Executive Board of Indonesia Business Council for Sustainable Development (IBCSD) Sihol Aritonang berharap agar pemerintah turut serta dalam menaikkan skala proyek-proyek percontohan SDGs yang berhasil agar dapat direplikasi.
"Pemerintah juga sebaiknya membentuk acknowledgment platform yang mewadahi (realisasi) kontribusi swasta (dalam pendanaan SDGs)," katanya.