Tanpa inovasi pembiayaan, target menyejahterakan rakyat melalui Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau SDGs tahun 2030 akan meleset.
Oleh
FX LAKSANA AS / M PASCHALIA JUDITH / BM LUKITA G
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — United Nations Conference on Trade and Development memperkirakan, dunia kekurangan dana senilai 2,5 triliun dollar Amerika Serikat per tahun untuk membiayai program yang dibutuhkan guna mencapai target SDGs pada 2030. Guna menjalankan program, semua pemangku kepentingan paham, perlu mobilisasi signifikan dalam pembiayaan, investasi, dan sumber daya.
Wakil Presiden Jusuf Kalla pada pidato pembukaan Konferensi SDGs bertajuk ”Laut Berkelanjutan untuk Meningkatkan Kesejahteraan dan Mengurangi Kesenjangan” di Jakarta, Selasa (8/10/2019), menyampaikan tantangan pembiayaan untuk menjalankan program-program SDGs. Acara itu digelar Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), United Nations Development Program, dan Global Environment Facility 8-9 Oktober 2019.
SDGs adalah konsensus bersama semua negara anggota PBB tentang pembangunan berkelanjutan yang dirumuskan ke dalam 17 tujuan mulai tahun 2016 sampai 2030. Meski merupakan program internasional, kata Kalla, SDGs linier dengan tujuan pemerintah untuk menyejahterakan rakyat Indonesia.
Tujuan menghilangkan kemiskinan ada di urutan pertama dari 17 target. Tujuan lain mencakup bidang kesehatan, pendidikan, ketenagakerjaan, industri, lingkungan hidup, dan yang terakhir adalah kemitraan untuk mencapai tujuan.
Salah satu kendala negara-negara berpendapatan menengah ke bawah untuk mencapai target SDGs, termasuk Indonesia, adalah kurangnya dana. Namun, jika semua pemangku kepentingan berkolaborasi, Kalla yakin program bisa dilaksanakan.
Dialog Tingkat Tinggi di Markas Besar Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), New York, Amerika Serikat, Kamis (26/09/2019}, bahkan secara khusus mengangkat persoalan kurangnya pembiayaan untuk mencapai target SDGs. Kalla hadir sebagai salah satu narasumber pada acara bertajuk ”Mobilisasi Dana untuk Aksi Iklim dan Kekurangan Pembiayaan SDGs” tersebut.
Kemitraan
Menurut Kepala Bappenas Bambang PS Brodjonegoro, kemitraan menjadi keniscayaan untuk bisa mencapai target SDGs, termasuk dalam hal pembiayaan. Artinya, SDGs tak mungkin tercapai kalau hanya mengandalkan anggaran pemerintah. Oleh karena itu, perlu sumber dana lain, seperti dari swasta dan filantrop.
Bambang menambahkan, agar sumber pendanaan terkoordinasi guna mencapai target, perlu hub pembiayaan SDGs. Selaku koordinator nasional, Bappenas berinisiatif menjadi hub pembiayaan yang menjembatani kolaborasi pembiayaan dari berbagai sumber. ”Hub itu unit di Bappenas. Tidak mengumpulkan uang, tetapi mengidentifikasi sumber-sumber dana yang potensial,” ujarnya.
Mengutip pidato Kalla di Markas PBB, fungsi utama hub meliputi membukakan pintu pembiayaan inovatif, membangun jaringan dan mencocokkan strategi, mengembangkan model instrumen dan teknologi pembiayaan, serta membangun kapasitas dan berbagi pengetahuan.
Bappenas akan mengidentifikasi sumber dana kemudian mengarahkannya langsung ke aksi konkret. Harapannya, tak ada aksi yang kelebihan dana atau kekurangan dana.
Sekretaris Eksekutif Komisi Ekonomi dan Sosial PBB untuk Asia Pasifik (UN-ESCAP) Armida Alisjahbana, saat pembukaan konferensi, menyatakan, Sidang Majelis Umum PBB pada akhir September lalu meneguhkan kembali komitmen negara-negara pada pencapaian target SDGs pada 2030. Dalam kesempatan itu disepakati juga sejumlah aksi konkret bersama.
Katalis
Kesejahteraan dan ketimpangan yang terjadi pada masyarakat pesisir menjadi sorotan. Menurut Deputi Bidang Ekonomi Bappenas Bambang Prijambodo, kontribusi sektor maritim dalam pertumbuhan produk domestik bruto nasional ditargetkan meningkat dari 6,4 persen pada 2015 menjadi 12,5 persen pada 2045. Artinya, rata-rata target pertumbuhannya 0,2 persen per tahun. ”Angka ini tergolong lambat,” ujarnya.
Percepatan pertumbuhan ekonomi kelautan butuh teknologi digital sebagai katalis.
Percepatan pertumbuhan ekonomi kelautan membutuhkan teknologi digital sebagai katalis. Teknologi ini mesti mendukung inklusivitas ekonomi masyarakat pesisir termasuk nelayan.
Menurut Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor (IPB) University Luky Adrianto, secara umum, pengembangan ekonomi kelautan berkelanjutan mendukung tujuan SDGs nomor 14. ”Ekosistem laut yang lestari akan meningkatkan produktivitas dan kualitas hidup masyarakat pesisir,” kata Luky.
Ketua Asosiasi Pengusaha Pengolahan dan Pemasaran Produk Perikanan Indonesia (AP5I) Budhi Wibowo, mengemukakan, perlu kebijakan yang mendorong peningkatan produksi perikanan tangkap dan budidaya. Kebijakan itu mencakup penyederhanaan perizinan serta fokus memperbaiki infrastruktur, seperti listrik, irigasi, jalan, pelabuhan, dan pabrik es. (LAS/JUD/LKT)