Sikap Warga Tentukan Kesembuhan
Penderita gangguan jiwa membutuhkan tindakan medis ataupun dukungan orang-orang terdekat. Namun, diskriminasi penyandang gangguan jiwa masih terjadi akibat minimnya pengetahuan tentang gangguan jiwa.
Penderita gangguan jiwa membutuhkan tindakan medis ataupun dukungan orang-orang terdekat. Namun, diskriminasi penyandang gangguan jiwa masih terjadi akibat minimnya pengetahuan tentang gangguan jiwa.
Kondisi penyandang gangguan jiwa di Indonesia memprihatinkan. Pemasungan penderita gangguan jiwa ataupun pengurungan di ruang sempit masih terjadi. Hal paling parah adalah orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) diusir, dibiarkan berkeliaran di jalanan atau tempat umum. Akibatnya mereka menjadi gembel, tanpa makanan, bahkan terkadang tanpa pakaian.
Itulah sebagian gambaran kondisi penderita gangguan jiwa yang terangkum dari jajak pendapat Kompas pertengahan September lalu. Ada beragam pola perilaku penyandang skizofrenia di tempat tinggal responden.
Dari pengamatan publik responden, hampir 30 persen publik mengamati orang kaum ODGJ dibiarkan berkeliaran di jalan. Angka itu menggambarkan seringnya publik menemui atau melihat ODGJ berkeliaran di jalanan. Dinas sosial penda setempat biasanya disalahkan jika ada ODGJ keluyuran di jalanan, terutama jalanan utama perkotaan. Namun, mayoritas publik, separuh lebih (65,6 persen), mengamati ODGJ lebih banyak diurus keluarga mereka. Jumlah yang lebih sedikit (4,2 persen) mengalami perlakuan tak manusiawi. Mereka dikurung di kamar atau bahkan dipasung.
Hal yang harus diperhatikan, populasi ODGJ besar jika dihitung berdasarkan jumlah penduduk. Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 menunjukkan, gejala depresi mencakup 6 persen penduduk Indonesia, sedangkan gangguan jiwa berat, seperti skizofrenia, mencapai 1.700 orang per 1 juta penduduk. Data Riskesdas 2018 menunjukkan rata-rata gangguan jiwa umum Indonesia mencapai 7 per 1.000 penduduk (7 per mil). Artinya, di setiap 1.000 keluarga di Indonesia terdapat 6,7 keluarga dengan penderita skizofrenia.
Bali, Yogyakarta, dan Nusa Tenggara Barat merupakan wilayah-wilayah di Indonesia dengan jumlah anggota keluarga penderita skizofrenia terbanyak. Prevalensi ODGJ di Bali 11,1 per mil, Yogyakarta 10,4 per mil, dan NTB 9,6 per mil. Untuk menangani ODGJ, pemerintah membangun rumah sakit jiwa (RSJ) di masing-masing provinsi itu. Keberadaan RSJ ini amat penting karena bisa mengakomodasi banyak keluarga dengan anggota penderita gangguan jiwa.
Pemerintah Bali juga memiliki wadah rehabilitasi skizofrenia yang berdiri berkat kerja sama dengan masyarakat. Wadah itu bernama Rumah Berdaya Denpasar yang didirikan sejak Agustus 2016. Tempat rehabilitasi ini dikelola Dinas Sosial dan Dinas Kesehatan Kota Denpasar bekerja sama dengan Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia Simpul Bali dan organisasi seni Ketemu Project.
Di balik pentingnya RSJ dan pusat rehabilitasi, keluarga tetap menjadi teman terdekat bagi para penyandang skizofrenia. Menurut dr Lahargo Kembaren, psikiater RS Marzoeki Mahdi Bogor, keluarga menjadi tempat awal belajar sosialisasi secara inklusif ketika pasien skizofrenia mulai sembuh. Setelah selesai dengan sosialisasi di keluarga, mantan pasien baru dapat mulai membaur dengan masyarakat umum.
Stigma
Betapa pun, stigma dan diskriminasi masih terjadi di masyarakat. Kasus ODGJ yang mengamuk, misalnya, pertengahan September 2019 terjadi di Kramat Jati, Jakarta Timur. Diberitakan, seorang laki-laki tiba-tiba mengamuk di warung tetangga karena tidak boleh mengutang rokok. Setelah diamankan polisi dan warga, baru diketahui pelaku yang anak artis dangdut senior itu pernah menjadi pasien di salah satu Rumah Sakit Jiwa (RSJ).
Kasus itu menunjukkan pentingnya pengawasan oleh masyarakat terhadap penderita gangguan jiwa. Seturut pengakuan responden jajak pendapat, langkah yang dipilih dua dari lima responden saat melihat penyandang gangguan jiwa adalah segera mengontak aparat setempat.
Aparat setempat sebagai rujukan mayoritas responden menjadi tanda minimnya pengetahuan warga tentang gangguan jiwa. Penderita gangguan jiwa masih dianggap pelaku kriminal yang bisa mengganggu keamanan warga sekitar. Padahal, seperti penyakit lain, penanganan medis menjadi pertolongan utama ketika penyakit penderita kambuh.
Meski demikian, aparat setempat bukan satu-satunya pilihan warga. Ada sepertiga lebih responden berinisiatif menghubungi rumah sakit jika menemukan penderita gangguan jiwa di lingkungan mereka. Sisanya, 16,4 persen responden, memberikan bantuan makanan dan 2,2 persen menghubungi dinas sosial.
Di balik semua inisiatif baik itu, hal menyedihkan masih terlihat dari sebagian kecil responden yang memilih memasung penderita. Human Right Watch menyebut, hingga Juli 2018 ada 12.832 orang gangguan jiwa berat atau skizofrenia di Indonesia masih dipasung.
Sebagai contoh, Sodikin, warga di Cianjur, Jawa Barat. Lebih dari delapan tahun dia pernah dipasung keluarganya di sebuah gubuk sempit dekat rumahnya. Sejak Mei 2016 ia dibebaskan dan kini bekerja menopang hidup keluarga yang dulu memasungnya.
Hal serupa terjadi di Tasikmalaya. Warga yang mendapat julukan Wawan game mengidap skizofrenia. Sehari-hari Wawan terus menunduk dengan jari yang terus bergerak seperti main gim di gawai. Wawan sempat dipasung selama belasan tahun karena ada kecenderungan mengamuk. Kini Wawan dirawat di salah satu panti rehabilitasi di Bekasi, Jawa Barat, setelah mendapat perawatan di rumah sakit jiwa.
Kesempatan bekerja
Anggapan orang bahwa penderita atau mantan penderita gangguan jiwa adalah aib dan berbahaya masih terus tumbuh di masyarakat. Menanggapi hal itu, responden memiliki sejumlah saran yang harus dilakukan keluarga dengan penderita skizofrenia.
Menumbuhkan rasa percaya diri menjadi hal paling penting yang perlu dilakukan keluarga. Setidaknya hal itu dilontarkan hampir separuh responden. Setelah itu disusul menemani tiap saat (22 persen), dipindahkan ke tempat atau lingkungan baru (12 persen), dan mencarikan pekerjaan (9 persen). Dari sejumlah saran itu, opsi memberi kesempatan bekerja menjadi opsi menarik.
Itu mengingatkan kembali tentang kisah Sodikin di Cianjur yang lalu menjadi tulang punggung keluarga setelah ia sembuh dan mulai bekerja. Pemberian kesempatan bekerja meningkatkan percaya diri mantan ODGJ. Selain itu, dengan bekerja menghasilkan uang, hal itu bisa membantu ekonomi keluarga sekaligus mengajari hidup mandiri. Hal itu membuat mereka merasakan hidup lebih bermakna dan mempercepat proses penyembuhan secara total.
Masyarakat pun mendukung terapi bekerja bagi mantan ataupun penderita gangguan jiwa. Dinas sosial menjadi rujukan bagian terbesar responden (41,7 persen) bagi ODGJ. Selain itu, ada sepertiga responden berinisiatif memberi atau mencarikan pekerjaan.
Inisiatif sebagian besar responden tersebut tidak salah karena memang penyandang disabilitas mental menjadi satu dari 26 jenis penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS). PMKS menjadi tanggung jawab bersama, baik masyarakat luas maupun pemerintah.
Meski masih dipandang sebelah mata, penderita gangguan jiwa berhak sembuh dan kembali berkarya seperti khalayak luas pada umumnya. Pengetahuan warga yang minim dan diskriminasi tentang penyakit gangguan jiwa di tengah masyarakat seharusnya menjadi pekerjaan rumah yang dapat diatasi bersama. Mereka butuh layanan medis dan dukungan dari orang-orang di sekitarnya.
(Albertus Krisna, Litbang Kompas)