Di tengah gemerlap Ibu Kota, masalah mendasar warga masih belum terselesaikan. Lantaran ketiadaan instalasi pengelolaan air limbah, kesehatan warga terancam.
Ketimpangan di Jakarta begitu mudah dilihat. Tidak sulit mencari orang yang bingung memilih mobil apa yang dipakai hari ini, hingga orang yang pening memikirkan buang air. Sementara anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) DKI memungkinkan memperkecil jurang ketimpangan itu.
Kebiasaan warga membuang limbah kotoran ke sungai, di Tanjung Duren Utara, Grogol Petamburan, Jakarta Barat menjadi perbincangan ramai warga. Di kawasan itu sebagian warga membuang limbah cucian pakaian, piring, buang air kecil, juga buang air besar ke Sungai Sekretaris, sebagaimana yang dilihat Kompas, Selasa (8/10/2019) siang.
Warga tidak punya pilihan, karena tidak ada saluran pembuangan limbah. Minik (34), warga yang tinggal mengontrak di sana, bilang bahwa warga jarang merawat toilet itu. “Sehari-hari, kalau ada warga yang kebelet atau perlu pakai toilet, ya, tinggal pakai saja. Setelah dipakai, disiram, lalu langsung ditinggal. Selalu begitu selama ini,” kata warga asal Purwodadi, Jawa Tengah itu.
Hal ini bukan perkara satu-dua warga saja. Ketua RT 007 RW 015 Sitanggang menyebutkan, 200 dari sekitar 900 warga di wilayah tersebut masih membuang limbah langsung ke sungai. Hal itu terjadi sejak bertahun-tahun lalu, sehingga membuat air di saluran air terdekat menjadi berwarna keruh.
Kondisi serupa juga ditemukan di lokasi yang masih berdekatan, yakni di RT 006 RW 002 Duri Kepa, Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Ketua RT 006 RW 002, Sarkat, mengatakan sedikitnya ada 100 dari sekitar 980 warga di sana belum memiliki sistem saluran yang memadai.
Kondisi itu dikeluhkan sebagian warga di permukiman nelayan wilayah Muara Angke, Jakarta Utara. Ada sekitar 144 keluarga yang membuang limbah mereka ke sungai. Saluran air itu pun berubah warna menjadi biru dan berbau busuk.
Serangkaian temuan ini menandakan sistem saluran air masih menjadi salah satu permasalahan Ibu Kota. Masalah saluran ini juga berkaitan dengan angka indikator Buang Air Besar Sembarangan (BABS), yang disebutkan dalam indikator Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) dari Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan.
Angka BABS berkaitan dengan jumlah warga yang masih membuang langsung limbah kotoran mereka ke sungai. Berdasarkan data STBM tersebut, ada sebanyak 111.810 keluarga yang masih tergolong dalam BABS. Jumlah ini cukup signifikan bila kita berasumsi setiap keluarga tersebut sedikitnya beranggotakan tiga orang, berarti ada sekitar 335.000 warga yang tergolong BABS.
Tangki septik
Kepala Dinas Sumber Daya Air DKI Jakarta Juaini Yusuf mengatakan, masalah BABS terjadi karena warga tidak memiliki tangki septik dan instalasi pengolahan air limbah yang memadai. Senin (7/10/2019) lalu, ia menyatakan pemprov telah menganggarkan Rp 166,2 miliar untuk pembangunan tangki septik komunal.
Ada 30 lokasi yang akan diprioritaskan untuk pembangunan ini. “Terutama di daerah-daerah yang mungkin kemarin buangannya langsung ke kali. Di situ yang kami utamakan agar mereka tidak lagi buang air limbahnya ke kali,” ujar Yusuf.
Ia menyadari masalah sistem saluran air dapat berujung sebagai sumber penyakit. Namun, kendala yang terjadi adalah sulitnya menemukan lahan di permukiman padat. Seperti sebagian perumahan di wilayah Muara Angke, Jakarta Utara, justru mengokupasi aliran dari Kali Gendong.
Tokoh Masyarakat Muara Angke, Muslimin, mengatakan, warga menyatakan sikap penolakan terhadap pembangunan proyek instalasi pengolahan air limbah tersebut. Sebab, ada wacana untuk menggusur rumah tinggal mereka.
Harus selesai
Staf Khusus Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Bidang Sumber Daya Air Firdaus Ali menyatakan, pembenahan sistem saluran air limbah harus berjalan meski menuai polemik. Sebab, Jakarta saat ini belum seperti Kuala Lumpur yang limbah rumah tangganya masuk dalam sistem pengolahan terintegrasi.
“Tentu menyedihkan bahwa masih ada warga buang air limbah sembarangan. Saya harap sistem perpipaan jangka panjang ini seperti di Jepang, seluruh air limbah rumah tangga itu terhubung. Bahkan, tangki septik bisa dimodifikasi agar terhubung ke perpipaan hingga masuk ke instalasi pengolahan air limbah,” ujar Firdaus.
Koordinator Pusat Studi Perkotaan Universitas Trisakti Nirwono Joga menyarankan, Pemprov DKI Jakarta sebaiknya mengecek peruntukan kawasan permukiman dalam Rencana Tata Ruang Wilayah dan Rencana Detail Tata Ruang (RTRW/RDTR). Dari sejumlah lokasi yang menghalangi sistem saluran air limbah, perlu diperiksa apakah permukiman warga itu menyalahi area ruang terbuka hijau.
Apabila legalitas sertifikat kepemilikan lahan warga tidak jelas, maka Pemprov DKI Jakarta berhak untuk menata ulang dan merelokasi kawasan itu. “Bangunan warga yang melanggar itu dapat ditata ulang menjadi hunian vertikal rendah berlantai empat sampai enam. Pemprov juga dapat membenahi infrastruktur warga mulai dari jalur evakuasi, saluran air, jaringan listrik dan gas terpadu, serta sekaligus membangun jaringan instalasi pengolahan air limbah,” ujar Nirwono.
Semua itu hanya dapat dilakukan bila pemprov dapat mengambil keputusan dengan tegas. “Pembangunan tangki septik komunal untuk jangka pendek, silakan, tetapi itu tidak menyelesaikan masalah. Penataan ini harus dilakukan secara menyeluruh,” ungkapnya.