Yohanes Lalang "Menyulap" Lahan Kering di NTT Menjadi Pertanian yang Subur
Musim kering panjang yang diikuti gagal panen rutin terjadi di Nusa Tenggara Timur. Yohanes Lalang tak ingin menyerah dengan keadaan. Lewat serangkaian percobaan, ia bisa membuktikan di atas lahan kering bisa pula tumbuh tanaman subur. Ia melangkah lebih jauh dengan melatih lebih dari 1.500 anak muda untuk menggarap pertanian di lahan kering.
Kamis (3/10/2019) siang, Yohanes Lalang (56) mendampingi 50 siswa jurusan pertanian SMKN 1 Kabupaten Kupang yang mencoba bertani di lahan kering. Mereka mencoba memahami sistem bertani di lahan kering dan mengenal sifat tanaman yang cocok untuk dikembangkan di lahan tersebut. Ada beberapa tanaman yang memang benar-benar butuh perhatian khusus agar tumbuh dengan baik.
Kepada peserta pelatihan, Lalang mengajarkan mulai cara memahami kondisi tanah, teknik penyemaian, pemilihan bibit yang berkualitas, pemindahan bibit tanaman ke lubang tanaman permanen, pemupukan, pengamatan, pembasmian hama, hingga teknik penyiraman tanaman dengan sistem selang tetes yang lebih hemat air. Ia juga mengajarkan peserta membuat pupuk bokashi untuk menyuburkan tanah, serta mengajarkan teknik okulasi dan grafting.
Salah satu hasil karya okulasi Lalang, yakni penggabungan antara apel India dengan bidara local (Timor). Tanaman ini menghasilkan buah apel yang unik, bentuk buah, bulat mirip apel tetapi rasanya sebagian rasa apel dan sebagian rasa bidara. Tanaman ini dijual dengan harga Rp 1,5 juta per pohon, dan paling laris dalam setiap pameran.
Siswa-siswa peserta pelatihan hari itu tampak antusias. Mereka memperhatikan hal-hal yang paling sederhana seperti cara mengikat batang kacang panjang yang tengah menjalar di cabang kayu kering. Tanaman itu ditanam sejajar mengikuti bedeng.
Pelatihan hari itu merupakan pelatihan rutin yang digelar Pusat Pelatihan Pertanian dan Pedesaan Swadaya (P4S) Abdi Laboratus, di Tarus, Kupang pada 2006. Namun, lembaga itu baru mendapat pengkuan sebagai pusat pelatihan (magang) dengan klasifikasi madya dari Menteri Pertanian 2013. P4S Abdi Laboratus ini.
Hingga September 2019, ia telah membuat 30 kali pelatihan yang melibatkan 1.540 siswa SMK, mahasiswa, dan pemuda gereja. Dari 1.540 peserta pelatihan, 1.050 di antaranya telah memiliki lahan pertanian sendiri. Di antara mereka juga ada yang tertarik menekuni pertanian atau peternakan di perguruan tinggi.
Bagi peserta magang dari kelompok siswa SMK, dan pemuda dari gereja, Lalang memberi motovasi kepada mereka soal keuntungan dari profesi hidup sebagai petani lahan kering. Ia memberi contoh sejumlah petani yang sukses di bidang pertanian lahan kering, khusus tanaman hortikultura termasuk dirinya. Petani mampu membangun rumah mewah, menyekolahkan anak, membeli kendaraan roda empat, dan tidak sulit mendapatkan uang.
Terus mencoba
Lalang terpanggil menjadi petani lahan kering sejak 2005 setelah membaca berita soal gagal panen yang dialami hampir semua petani di NTT akibat musim kering yang panjang, yakni rata-rata 9 bulan dalam setahun. Umumnya, tanaman yang mengalami gagal panen adalah padi gogo, jagung, dan umbi-umbian. Peristiwa gagal panen seperti itu seringkali menjadi penyebab terjadinya bencana rawan pangan dan gizi buruk di NTT.
Lalang merasa gagal panen seharusnya tidak perlu terjadi meski musim kering biasa terjadi di NTT. Ia berpikir pasti ada jalan lain untuk menyiasati keadaan. Ia pun pergi ke Toko Buku Gramedia Kupang untuk membeli buku-buku tentang pertanian. Ia pelajari isinya dan coba ia terapkan. Dari situ ia tahu, petani seharusnya tidak bergantung pada satu-dua jenis tanaman saja seperti padi.
Setahun kemudian, ia mencoba menanam berkebun hortikultura seperti sawi, tomat, cabai, bayam, kol, dan beberapa jenis bumbu dapur di 10 bedeng di pekarangan belakang rumahnya seluas 500 meter persegi. Bedeng yang dimaksud adalah tanah gembur yang ditinggikan sebagai pematang sawah dan ditutupi plastik untuk ditanami sayuran.
Satu kali panen untuk lima jenis tanaman itu saya dapat uang Rp 45 juta. Dalam satu tahun saya bisa panen tiga kali
Ternyata dengan teknik yang tepat, pertanian di lahan kering tetap bisa dilakukan. Singkat cerita, percobaan Lalang berhasil. “Satu kali panen untuk lima jenis tanaman itu saya dapat uang Rp 45 juta. Dalam satu tahun saya bisa panen tiga kali. Ini memacu saya untuk terus bertani dan ingin berbagi pengalaman kepada petani sekitar mengenai keuntungan dari bertani tanaman hortikultura, bumbu dapur, dan buah-buahan,” kata Lalang.
Ia pun membentuk lima kelompok tani yang melibatkan sejumlah tetangganya. Ia memberi pemahaman kepada mereka tentang bertani yang sukses. Tanaman hortikultura yang dikembangkan di sekitar rumah itu lantas dijadikan contoh bagi kelompok tani lain untuk belajar. Ia menekankan bahwa pertanian di lahan kering juga bisa menghasilkan uang yang bisa menjamin kesejahteraan petani.
“Satu bedeng lahan dengan panjang 35 meter dan lebar 50 cm itu bisa ditanami tiga kali dalam setahun. Sekali tanam pertama tomat, hasilnya kita bisa sampai Rp 27 juta, tiga kali tanam jadi Rp 81 juta. Tomat dan sejenisnya diambil sendiri pedagang pasar di lokasi ini, belum termasuk cabai, sawi, kacang panjang, dan brokoli di atas 24 bedeng lain,” kata Lalang dengan nada gembira. Ia kemudian menambah jenis sayur mayur yang ditanam dan punya nilai tinggi di pasar seperti bawang merah, wortel, buncis, dan kacang panjang.
Seiring waktu, pertanian yang dikembangkan Lalang di pekarangan rumahnya terus berkembang dari semula 10 bedeng menjadi 25 bedeng. Bedeng pertanian itu berukuran panjang antara 15 meter-40 meter dan lebar 0,5 meter. Saat ini, lahan pertanian Lalang sedang dijadikan pusat penelitian oleh seorang dosen dari Politeknik Pertanian Negeri Kupang. Sebelumnya sudah ada 15 dosen dan 35 mahasiswa fakultas pertanian dari beberapa perguruan tinggi di Kota Kupang melakukan penelitian di tempat yang sama.
Lalang selalu memberi masukan dan pandangan kepada para peneliti soal sistem pertanian di lahan kering. Ia menilai, buku-buku pertanian yang ditulis para ahli pertanian di Jawa dan daerah lain, belum tentu dapat diterapkan di pertanian lahan kering seperti NTT karena perbedaan cuaca dan kondisi tanah.
Buku pertanian yang ditulis para ahli pertanian di Jawa dan daerah lain, belum tentu dapat diterapkan di pertanian lahan kering seperti NTT.
Tidak seperti di Jawa, di NTT musim kering bisa berlangsung sembilan bulan. Tanah di NTT selain kering juga sebagian besar berupa batu karang. Lalang mendorong peneliti untuk menulis buku pertanian dengan latar belakang pertanian lahan kering di NTT.
Motivasi
Setelah sukses menanam sayur mayur, Lalang merambah ke tanaman keras seperti jeruk, pepaya, sawo, mangga, kelapa hibrida, dan cendana. Ia mencoba memproduksi bibit tanaman tersebut. Ternyata Pemerintah Kabupaten Kupang, Rotendau, dan Timor Tengah Selatan tertarik membeli ribuan bibit tanaman keras yang dihasilkan Lalang untuk proyek penghijauan. Bibit dibeli dengan harga Rp 2.000-Rp 3.000 per batang bibit. Hal ini sekaligus membuka kerja sama lebih luas dengan pemerintah kabupaten. Lalang bersedia menerima siswa SMK jurusan pertanian dan perkebunan di P4S Abdi Laboratus.
Sekitar tiga tahun yang lalu, P4S Abdi Laboratus mendapat perhatian dari Badan Kerja Sama Internasional Jepang (JICA). Bantuan antara lain berupa Aula Serba Guna, satu unit sumur bor sedalam 166 meter, pendidikan dan pelatihan atau diklat dua paket (angkatan) dengan jumlah masing-masing angkatan 50 orang. “Ini satu-satunya bantuan yang saya terima setelah 13 tahun P4S berdiri,” kata Lalang yang bersyukur dengan bantuan tersebut.
Bantuan itu, lanjut Lalang, akan ia gunakan untuk mengembangkan terus pelatihan pertanian di lahan kering. Buat Lalang, pelatihan bukan sekadar untuk mengajarkan teknik bertani, lebih penting dari itu untuk memotivasi dan menyadarkan masyarakat terutama anak muda bahwa sektor pertanian masih memiliki masa depan cerah. Ia mencontohkan para petani yang sukses di bidang pertanian lahan kering. “Mereka mampu membangun rumah yang bagus, menyekolahkan anak, membeli kendaraan roda empat, dan tidak sulit mendapatkan uang. Jadi, jangan hanya bermimpi jadi PNS,” tegas Lalang.
Yohanes Lalang
Lahir: Kedang, Lembata, 17 Agustus 1963
Istri: Bibiana Boleng
Anak: Benediktus Robby Rattu (31) dan Agustinus Ary Lewakapu (16)
Pendidikan terakhir: Semester V Fakultas Peternakan Universitas Nusa Cendana Kupang.
Pekerjaan: petani lahan kering
Jabatan: Direktur P4S Abdi Laboratus