Penyerangan terhadap pejabat negara, seperti dialami Menko Polhukam Wiranto, sudah beberapa kali terjadi. Presiden termasuk yang menjadi target. Maka, seharusnya aparat pengamanan tidak lengah menjaga pejabat negara.
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu
·4 menit baca
Penyerangan terhadap Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto di Alun-alun Menes, Pandeglang, Banten, Kamis (10/10/2019) siang, membawa pesan bahwa ancaman terhadap pejabat negara itu nyata. Terlebih jika dirunut ke belakang, penyerangan terhadap pejabat negara sudah beberapa kali terjadi. Presiden termasuk yang menjadi target.
Profesor Riset Bidang Sejarah Sosial Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Asvi Warman Adam, saat dihubungi dari Jakarta, Kamis (10/10/2019), menceritakan, pada masa Orde Lama, setidaknya ada tujuh kali percobaan pembunuhan terhadap Presiden pertama RI Soekarno.
”Upaya pertama terjadi pada 30 November 1957, kala Bung Karno menghadiri perayaan ulang tahun ke-15 Perguruan Cikini, tempat kedua anaknya, Guntur Soekarnoputra dan Megawati Soekarnoputri, bersekolah,” tutur Asvi.
Tak disangka, kehadiran Bung Karno ke sekolah itu disambut ”hujan” granat. Empat orang tak dikenal melempari granat ke mobil kepresidenan ketika Presiden menuju ke areal parkir untuk meninggalkan sekolah.
Beruntung, Bung Karno diselamatkan para pengawal. Ia dievakuasi ke rumah warga yang berada di seberang sekolah.
Namun, korban tak bisa dihindarkan. Sembilan orang tewas dan 100 orang luka-luka, semuanya siswa Perguruan Cikini.
Atas kejadian tersebut, polisi menangkap empat pelempar granat. Mereka adalah aktivis gerakan pemuda Islam yang tinggal di asrama mahasiswa Sumbawa. ”Mereka dijatuhi hukuman mati,” ujarnya.
Meski demikian, motif percobaan pembunuhan itu tidak terungkap. Para pelaku mengakui, mereka hanya didorong ketidakpuasan atas kepemimpinan Presiden.
Setelah tragedi di Cikini, percobaan pembunuhan terhadap Bung Karno terus berulang dengan berbagai modus operasi.
Padahal, sempat beredar kabar, pelemparan granat berhubungan dengan Zulkifli Lubis, mantan Wakil Kepala Staf Angkatan Darat yang pernah menjabat Kepala Intelijen Negara. Namun, kemudian Zulkifli yang dikenal berseberangan dengan Soekarno itu tak terbukti terlibat dalam percobaan pembunuhan.
Setelah tragedi di Cikini, percobaan pembunuhan terhadap Bung Karno terus berulang dengan berbagai modus operasi. Mulai dari penyerangan saat shalat Idul Adha hingga penembakan ke Istana Negara.
Setelah Soekarno lengser dan digantikan Soeharto, percobaan pembunuhan terhadap pejabat negara tak pernah terjadi. Hampir tak ada kesempatan untuk melakukan tindakan tersebut karena pemerintahan dikuasai militer.
”Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban atau Kopkamtib serta intelijen bekerja sangat efektif,” kata Asvi.
Teror terhadap Wakil Ketua MPR
Berdasarkan catatan Kompas, ancaman terhadap pejabat negara kembali terjadi pada tahun 2000, ketika Wakil Ketua MPR yang juga Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Matori Abdul Djalil dibacok di sekitar rumahnya di Kompleks Tanjung Mas Raya, Jakarta Selatan. Meski sempat dirawat di rumah sakit, Matori berhasil diselamatkan.
Pembacokan terjadi ketika Matori tengah memeriksa bangunan tambahan di sisi rumahnya. Dari salah satu bagian bangunan tambahan itu muncul seseorang yang berpura-pura menawarkan perabot rumah tangga, tetapi kemudian ia membacok Matori.
Kepala Polda Metro Jaya Mayor Jenderal Nurfaizi dalam keterangan tertulis pada Jumat (10/3/2000) menjelaskan, tersangka pembacokan bernama Sabar. Namun, salah seorang otak pelaku pembacokan bernama Zulfikar. Berdasarkan keterangan tersangka, Zulfikar adalah guru mengaji dan pemilik pesantren di Maseng, Bogor, Jawa Barat.
Dia ingin membunuh Matori karena Ketua Umum PKB tersebut telah menyimpang dari ajaran Islam. Gerak politik PKB pun tidak lagi berlandaskan Islam.
Pesan ancaman
Menurut Asvi, serangan terhadap para pejabat sering kali tidak terjadi tiba-tiba. Dalam beberapa kasus, terdapat pesan ancaman yang sudah dikirimkan sebelumnya.
Pada peristiwa sekitar Gerakan 30 September 1965, misalnya, sempat beredar kabar sejumlah petinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia akan dibunuh. Namun, kabar ini tak dianggap serius. Akibatnya, tujuh jenderal dibunuh dengan relatif mudah. Bahkan, beberapa dieksekusi di rumahnya sendiri.
Kejadian penyerangan terhadap Wiranto itu merupakan pengingat bagi aparat keamanan untuk lebih meningkatkan kewaspadaan. Jangan sepelekan informasi sekecil apa pun.
Begitu pula yang terjadi pada Wiranto. Ancaman pembunuhan sebenarnya sudah terdeteksi pertengahan Mei 2019. Kala itu, dia bersama pejabat negara lainnya, yaitu Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan, Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Budi Gunawan, dan mantan Kepala Detasemen Khusus 88 Antiteror Komisaris Jenderal Gregorius Mere disebut menjadi target pembunuhan dalam kerusuhan 21-22 Mei 2019 di Jakarta.
Kabar itu, menurut Asvi, semestinya menjadi peringatan sehingga pengamanan terhadap keempat tokoh tersebut ditingkatkan.
Evaluasi pengamanan
Peneliti terorisme di Universitas Indonesia, Ridwan Habib, menguatkan pandangan Asvi. Oleh karena itu, ke depan, perlu ada evaluasi terhadap prosedur pengamanan yang selama ini diterapkan kepada para pejabat.
”Kejadian penyerangan terhadap Wiranto itu merupakan pengingat bagi aparat keamanan untuk lebih meningkatkan kewaspadaan. Jangan sepelekan informasi sekecil apa pun,” katanya.
Selain itu, Ridwan mendorong aparat penegak hukum untuk memetakan ulang pihak-pihak yang diduga sebagai simpatisan atau telah terpapar paham terorisme dan mengantisipasinya lebih dini.
Dia pun berharap masyarakat tidak terjebak dalam kepanikan dan ketakutan yang sengaja ingin disebar oleh kelompok teroris. Tindakan mereka bisa dilawan dengan kekompakan seluruh elemen bangsa.