Literasi politik sangat penting bagi masyarakat dalam memahami peristiwa politik secara komprehensif. Sebab, mengetahui informasi yang benar dan utuh merupakan faktor kunci dari politik yang beradab.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Literasi politik sangat penting bagi masyarakat dalam memahami peristiwa politik secara komprehensif. Sebab, mengetahui informasi yang benar dan utuh merupakan faktor kunci dari politik yang beradab.
Hal tersebut mengemuka dalam bedah buku Literasi Politik, Konsolidasi Demokrasi di Indonesia Pascareformasi karya pakar komunikasi politik Gun Gun Heryanto dan kawan-kawan serta diskusi publik yang diselenggarakan The Political Literacy Institute dengan Pusat Pengkajian Komunikasi dan Media UIN Jakarta di Jakarta, Kamis (10/10/2019).
Dalam bukunya, Gun Gun menjelaskan tentang konseptualisasi literasi politik yang pertama kali digunakan presiden asosiasi industri internasional Paul Zurkowski pada 1974. Seiring dengan berjalannya waktu, literasi politik dijabarkan sebagai upaya memahami isu utama politik, keyakinan utama tokoh politik, dan kecenderungan mereka memengaruhi masyarakat.
Menurut Gun Gun, kegiatan literasi politik merupakan hal yang sangat penting dalam penguatan dan pemberdayaan politik warga negara. Terutama dalam mengedukasi hak-hak politik warga negara sehingga mereka memahami benar posisinya di antara berbagai kekuatan politik yang ada.
”Literasi politik bukan sekadar wacana, tetapi memiliki tiga komponen dalam konteks tataran akademik. Pertama, pengetahuan warga yang makin bertambah. Kedua, keterampilan warga mencari lebih banyak sumber maupun jaringan, dan terakhir adalah sikap politik yang jelas,” ujarnya.
Gun Gun menilai, pentingnya literasi politik juga tidak terlepas dari fenomena politik di ruang publik saat ini yang diwarnai banyak hujatan, caci maki, ujaran kebencian, hingga kabar bohong atau hoaks. Padahal, politik merupakan alat untuk mencapai tatanan masyarakat yang baik dan berkeadilan, bukan malah mengancam kehidupan demokrasi, berbangsa, maupun bernegara.
Meski demikian, Gun Gun menegaskan, tidak hanya masyarakat yang patut mendapatkan literasi, tetapi juga elite politik. Sebab, elite politik merupakan kelompok yang ikut bertanggung jawab memunculkan isu politik yang juga berimbas pada kehidupan langsung masyarakat.
Menurut dia, politik Indonesia belum sepenuhnya beradab karena elite politik masih memiliki persoalan, seperti rendahnya komitmen dalam menyampaikan isu-isu yang proporsional. Padahal, mereka mengetahui isu politik mana saja yang baik dikonsumsi publik ataupun yang merusak masa depan bangsa.
Selain itu, lanjut Gun Gun, persoalan yang masih belum dapat diselesaikan elite politik terkait oligarki dan pengedepanan kepentingan yang bersifat pragmatis. Persoalan ini membuat kader partai tidak dapat membuat perubahan eskalasi politik yang lebih baik karena harus tunduk kepada keputusan pimpinan.
Literasi rendah
Politisi Partai Golkar, Ace Hasan Syadzilly, yang turut hadir dalam acara tersebut memandang fenomena kerusuhan, pertikaian di media sosial, hingga peristiwa politik lainnya mengisyaratkan literasi politik masyarakat masih rendah.
Ace mencontohkan, beberapa kejadian tersebut seperti kerusuhan di Wamena, Papua, yang disebabkan hoaks. Ia juga melihat masih banyak kesalahpahaman masyarakat tentang isi Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU KUHP) yang berujung unjuk rasa besar-besaran di sejumlah daerah.
”Segala perdebatan harus berdasarkan literasi politik. Literasi politik ini sebenarnya kemampuan memahami persoalan politik secara utuh dan komprehensif. Jangan sampai saat berdebat kita jadi kehilangan logika,” ujar Ketua DPP Partai Golkar ini.
Kemampuan literasi politik yang mumpuni, kata Ace, dapat mendorong masyarakat berpartisipasi secara aktif, baik secara langsung maupun tidak.
Persoalan yang masih belum dapat diselesaikan elite politik terkait oligarki dan pengedepanan kepentingan yang bersifat pragmatis.
Politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Maman Imanulhaq, menyatakan, meningkatkan literasi politik masyarakat juga dapat melibatkan tokoh-tokoh agama dan organisasi masyarakat. Sebab, banyak masyarakat yang memercayai dan menggantungkan sikap politiknya kepada tokoh agama ataupun ormas mereka bernaung.
Dalam memahami politik secara keseluruhan, Maman pun menegaskan, masyarakat harus mengetahui wilayah abu-abu. Wilayah ini, menurut dia, tidak dapat dibaca secara jelas karena dalam politik memang terdapat dinamika hingga paradoks bernama oligarki dan kekuatan uang.