Pengalaman Meliput Tragedi Kebakaran dan Turut Memverifikasi Data Korban
Tiga puluh orang tewas dalam kebakaran pabrik korek api gas di Langkat. Wartawan Kompas Nikson Sinaga meliputnya sekaligus membantu verifikasi data korban dan keluarga karena seorang filantrop tergerak membantu mereka.
Pulang sekolah, serombongan anak SD bergegas membawakan makan siang untuk ibunya yang sedang bekerja merakit korek api gas atau macis di pabrik rumahan di Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Api kecil dari macis itu yang kemudian menjadi awal tragedi yang merenggut kebahagiaan mereka. Api merambat membakar seluruh pabrik. Lima anak dan 25 perempuan pekerja tewas terjebak di dalam pabrik.
Tragedi itu selalu terbayang sejak meliput peristiwa kebakaran di Desa Sambirejo, Kecamatan Binjai, Langkat, pada Jumat (21/6/2019). Saya meliput peristiwa itu sejak awal terjadinya kebakaran, proses identifikasi, pemakaman, hingga proses hukum terhadap pemilik dan manajemen pabrik.
Di sela-sela liputan, saya mengumpulkan dan memverifikasi data ahli waris korban kebakaran. Data itu digunakan untuk proses pemberian bantuan dari seorang pembaca Kompas, yakni filantrop yang juga pendiri Grup Mayapada dan Tahir Foundation, Dato’ Sri Tahir. Sebagai wartawan, ada kepuasan tersendiri ketika hasil liputan kita mampu menggerakkan pembaca untuk memberikan bantuan kepada korban.
Awal peliputan
Jumat (21/6/2019) siang di Kota Medan, panas matahari sedang terik-teriknya. Saya memantau aktivitas di beberapa pusat pemerintahan seperti di Kantor Gubernur Sumut dan DPRD Sumut. Ketika itu, tidak ada agenda pemerintahan yang cukup menarik untuk dikabarkan. Saya pun bergerak ke Kantor Redaksi Harian Kompas Biro Sumatera di Jalan KH Wahid Hasyim, Medan.
Sebagai wartawan, ada kepuasan tersendiri ketika hasil liputan kita mampu menggerakkan pembaca untuk memberikan bantuan kepada korban.
Seperti biasa, saya memantau sejumlah peristiwa dan isu di beberapa koran daerah, seperti Tribun Medan, Harian Analisa, Sinar Indonesia Baru, Waspada, dan beberapa portal daring. Saya juga mencoba mengikuti isu nasional yang sedang berkembang di harian Kompas.
Ketika itu, isu yang hangat adalah sengketa pemilihan presiden di Mahkamah Konstitusi, harga tiket pesawat yang tinggi, dan banjir besar di Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara, sebagaimana diberitakan di halaman 1 Kompas.
Saya pun mengecek perkembangan peristiwa di grup Whatsapp saya yang jumlahnya lebih dari 70 grup. Banyaknya grup Whatsapp tidak selalu memudahkan mengikuti informasi. Terkadang, banjir informasi justru membuat kita ketinggalan informasi penting. Lebih dari 40 grup Whatsapp yang saya ikuti itu sangat aktif. Untuk menyiasatinya, saya memilih memantau secara intensif beberapa grup saja.
Informasi yang kemudian muncul di salah satu grup Whatsapp wartawan Medan siang itu sangat mengejutkan. Sebuah pabrik macis terbakar, 24 pekerja tewas. Begitu informasi awal yang saya dapat pukul 13.41 atau sekitar 1 jam 31 menit sejak kebakaran mulai terjadi pukul 12.10. Beberapa saat kemudian muncul foto dan video korban yang cukup mengenaskan.
Saya pun menelepon Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Langkat Irwan Syahri. Ia membenarkan peristiwa itu. Saya langsung berangkat dengan mengendarai mobil operasional kantor ke arah Langkat sekitar pukul 14.00.
Saya tancap gas sepanjang perjalanan dengan harapan masih bisa mendapat foto momen puncak, seperti evakuasi korban atau potret petugas pemadam kebakaran yang berupaya memadamkan api. Beberapa menit sebelum tiba di lokasi, saya berpapasan dengan deretan ambulans. Perkiraan saya, ambulans-ambulans itu baru saja mengevakuasi korban.
Akhirnya, saya pun tiba di lokasi kebakaran yang berjarak sekitar 35 kilometer dari Medan itu. Ratusan orang tampak berkerumun di sekitar lokasi kebakaran yang membuat antrean lalu lintas cukup panjang. Saya pun harus memarkir kendaraan sekitar 1 kilometer dari lokasi lalu berjalan kaki ke sana.
Dalam peristiwa besar seperti itu, saya selalu mengingat-ingat, yang pertama harus dicari adalah foto. Saya mengambil foto pertama pada pukul 15.21 atau sekitar 3 jam 11 menit setelah kebakaran terjadi. Namun, potret pertama yang saya dapat adalah petugas polisi forensik yang sedang melakukan olah tempat kejadian perkara di pabrik rumahan berukuran sekitar 6 x 16 meter itu.
Menurut saya, foto itu tidak terlalu kuat untuk menggambarkan tragedi kebakaran yang memakan cukup banyak korban. Saya ketinggalan beberapa momen penting, seperti evakuasi korban dan proses pemadaman kebakaran.
Saya pun memutuskan untuk mencari narasumber utama, yaitu korban selamat, saksi mata, dan sumber resmi dari kepolisian. Setelah bertanya ke beberapa warga, saya bertemu dengan saksi mata Novita Sari (35) yang juga kerabat korban. ”Kebakaran mulai terjadi sekitar pukul 12.10. Api awalnya membesar di bagian belakang pabrik lalu dengan cepat membakar seluruh rumah,” katanya.
Novita sempat mendengar teriakan minta tolong para korban yang berusaha keluar dari pintu depan. Namun, korban tidak bisa diselamatkan karena pintu itu terkunci. Warga mencoba menyiram api dengan air parit dan sumur. Namun, tumpukan macis membuat api begitu cepat menyebar.
Petugas pemadam kebakaran tiba sekitar pukul 12.30 dan mampu memadamkan api setengah jam kemudian. Sayangnya, para korban tidak terselamatkan lagi.
Foto utama
Setelah saya mewawancarai beberapa saksi mata, saya kembali mencari foto baru yang lebih kuat. Saya melihat Kepala Polres Binjai Ajun Komisaris Besar Nugroho Tri Nuryanto sedang meminta keterangan dari tiga perempuan di lokasi pabrik yang terbakar. Perempuan itu tampak berpelukan sambil menangis.
Saya mencoba masuk dari pintu depan untuk memotret momen itu, tetapi dilarang petugas. ”Ini sedang penyelidikan, tunggu dulu,” kata petugas itu.
Saya pun berhasil masuk dan mendekati mereka dari pintu belakang yang penjagaannya agak longgar.
Saya pun mencari jalan lain karena saya pikir itu satu-satunya momen puncak yang tersisa. Saya yakin ketiga perempuan itu adalah korban selamat. Saya pun berhasil masuk dan mendekati mereka dari pintu belakang yang penjagaannya agak longgar.
Tiga korban selamat menangis sambil berpelukan. Ayu Anitasari (29), korban selamat, mengatakan, ia dan tiga pekerja lain selamat karena sedang keluar mengambil makan siang. ”Saya pulang hanya beberapa menit. Saat kembali ke pabrik, api sudah berkobar besar,” ujarnya.
Saya memotret momen itu dari jarak 1-2 meter selama 2 menit dalam 47 foto. Satu di antaranya menjadi foto utama halaman 1 harian Kompas edisi Sabtu, 22 Juni 2019. Beritanya terbit di halaman 11 rubrik umum dengan judul ”30 Tewas Akibat Kelalaian”.
Dari berita-berita yang terbit di Kompas dikabarkan, pabrik perakitan macis dibuka oleh PT Kiat Unggul. Perusahaan induk ini kemudian membuka tiga cabang perakitan, salah satunya yang terbakar itu, untuk menghindari upah minimum, jaminan sosial pekerja, pengurusan izin, dan pajak.
Baca juga: Menjadi Saksi "Pengkhianatan" Guus Hiddink
Perusahaan tidak menerapkan standar keselamatan apa pun, padahal karyawan bekerja di lingkungan yang berisiko tinggi. Pintu depan selalu dikunci dan di jendela dibuat terali besi. Pekerja keluar-masuk hanya dari pintu belakang.
Pemilik sekaligus Direktur Utama Indramawan, Manajer Operasional Burhan, dan Manajer Personalia Lismawarni pun menjadi terdakwa dan sedang menjalani persidangan di Pengadilan Negeri Binjai.
Ayu mengatakan, pekerja diupah Rp 1.200 setiap merakit 50 buah macis. Jika bekerja tiap hari, mereka akan menerima Rp 500.000 hingga Rp 700.000 per bulan.
”Tugas kami merakit kepala macis ke bodi yang sudah berisi gas. Setiap selesai merakit satu macis, kami harus menghidupkan api dan menyetelnya agar tidak terlalu besar atau kecil,” katanya.
Bantuan filantrop
Peliputan tragedi itu pun berlanjut di hari berikutnya, Sabtu (22/6). Sekitar pukul 16.00, saya ditelepon Wakil Pemimpin Redaksi Harian Kompas Mohammad Bakir. ”Ada pembaca Kompas yang ingin membantu keluarga korban kebakaran pabrik macis,” katanya.
Ketika itu, saya tidak diberi tahu siapa yang akan membantu keluarga korban. Meski demikian, saya merasa terharu karena liputan Kompas mampumenggerakkan pembaca untuk membantu sesama. Saya lalu berkomunikasi dengan Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas Budiman Tanuredjo untuk menindaklanjuti rencana pemberian bantuan.
Saya diminta membuat daftar nama korban, ahli waris, hubungan korban dengan ahli waris, dan nomor rekening bank. Dokumen itu harus didukung bukti salinan kartu keluarga, KTP ahli waris, surat ahli waris, buku rekening bank, dan lainnya. Dokumen itu penting agar bantuan sampai ke orang yang tepat dan menghindari sengketa antar-ahli waris.
Saya mencoba menghubungi Kepala BPBD Langkat Irwan Syahri. ”Kami masih dalam proses pendataan, coba hubungi Dinas Sosial Langkat,” katanya.
Baca juga: Pengalaman di Filipina, Melihat Warung Halal sampai Penitipan Pistol
Saya pun menghubungi Dinas Sosial, tetapi mereka juga masih melakukan pendataan dan verifikasi. Saya mencoba melakukan pengumpulan data sendiri ke keluarga korban. Namun, untuk mengumpulkan dan memverifikasi data satu ahli waris saja memakan waktu satu hari.
Saya pun memutuskan untuk menunggu hasil verifikasi dari Dinas Sosial Langkat. Pada hari Selasa (25/6), saya akhirnya mendapat dokumen ahli waris lebih kurang setebal 160 halaman dari Dinas Sosial. Saya merasa plong karena dokumen itu lengkap memuat data 22 ahli waris dari 30 korban meninggal.
Acara penyerahan bantuan pun dirancang digelar di Kantor Harian Kompas di Medan pada 10 Juli. Beberapa hari sebelum acara, saya baru diberi tahu bahwa pembaca Kompas yang ingin menyerahkan bantuan adalah filantrop pendiri Grup Mayapada dan Tahir Foundation, Dato’ Sri Tahir.
Bantuan langsung diserahkan Dato’ Sri Tahir kepada keluarga korban kebakaran. Jumlahnya Rp 25 juta per keluarga untuk 22 ahli waris dari 30 korban meninggal. Penyerahan bantuan didampingi Budiman Tanuredjo.
”Saya tak terbayang bahwa ada orang terkunci dan tidak bisa keluar dari kebakaran itu. Ini meninggalkan kesedihan bagi keluarga. Saya juga orang yang sangat mencintai keluarga,” kata Tahir.
Di barisan belakang, Boniyem (47) tidak kuasa membendung air matanya. Ia menangis terisak mengenang anak perempuannya dalam duka yang begitu dalam.
Budiman berharap, naluri kemanusiaan dalam menolong sesama menjadi gerakan solidaritas di masyarakat. ”Penyerahan bantuan ini adalah tanda bahwa kita bersama dalam kemanusiaan,” katanya.