Daya Saing Global Turun, Pemerintah Dituntut Tingkatkan Kualitas SDM
Di tengah penurunan indeks daya saing global 4.0 Indonesia pada 2019, masih ada harapan di sektor pertanian. Petani Indonesia dinilai responsif terhadap perkembangan teknologi baru.
Oleh
Maria Paschalia Judith Justiari/Karina Isna Irawan
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Bank Dunia mengingatkan Indonesia bahwa peningkatan kualitas modal manusia menjadi keniscayaan di tengah prospek ekonomi yang lesu. Pemerintah harus berinvestasi jangka panjang, terutama untuk pendidikan dan kesehatan.
Indeks Daya Saing Global (Global Competitiveness Index/GCI) 4.0 tahun 2019 yang dirilis Forum Ekonomi Dunia (World Economic Forum) pada Rabu (9/10/2019) menempatkan Indonesia di peringkat ke-50 dari 141 negara. Peringkat tersebut turun karena pada 2018 Indonesia berada di peringkat ke-45.
Terdapat 12 pilar atau komponen yang diteliti dalam menghitung skor GCI, yakni institusi, infrastruktur, kesiapan teknologi informasi dan komunikasi, stabilitas ekonomi makro, kesehatan, keterampilan, pangsa pasar, pasar tenaga kerja, sistem keuangan, potensi pasar, dinamika bisnis, dan kapabilitas inovasi.
Pada tahun ini, Indonesia mencatatkan keseluruhan skor GCI sebesar 64,6. Sementara tahun lalu, skor GCI Indonesia sebesar 64,9.
Menanggapi penurunan indeks daya saing Indonesia yang dirilis Forum Ekonomi Dunia (WEF), Lead Country Economist Bank Dunia untuk Indonesia Frederico Gil Sander berpendapat, aspek kesehatan dan keahlian tenaga kerja mesti jadi perhatian pemerintah. Kualitas modal manusia itu jadi salah satu pertimbangan investor masuk ke Indonesia.
“Kebijakan pemerintah untuk peningkatan kualitas sumber daya manusia harus dibarengi penguatan angkatan kerja,” ujar Sander dalam wawancara khusus bersama Kompas di Jakarta, Rabu (9/10/2019).
Menurut Sander, arah kebijakan Presiden Joko Widodo untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia sudah tepat. Namun, ada beberapa fokus kebijakan jangka pendek yang harus segera dilakukan, yaitu penurunan angka stunting, peningkatan pendidikan dasar, dan pelatihan tenaga kerja. Ketiga hal itu jadi solusi untuk meningkatkan kualitas modal manusia 20 tahun mendatang.
Dari ke-12 komponen yang ada, peringkat kesehatan Indonesia menurun dari peringkat ke-95 (skor 71,7) pada 2018 menjadi peringkat ke-96 (skor 70,8) pada 2019. Sementara peringkat untuk keterampilan masih tetap meski skornya turun tipis. Daya saing Indonesia di sektor itu turun dari peringkat ke-62 (skor 64,1) pada 2018 menjadi peringkat ke-65 (skor 64) pada 2019.
Sander menambahkan, implementasi pemberian insentif fiskal untuk pendidikan dan pelatihan vokasi sangat dinanti. Indonesia membutuhkan lebih banyak tenaga kerja handal di bidang-bidang yang jadi tulang punggung perekonomian, seperti industri pengolahan dan pariwisata. Kualitas tenaga kerja harus segera disesuaikan dengan era ekonomi baru berbasis digital.
“Angkatan kerja Indonesia cukup tinggi sehingga pelatihan vokasi jadi keniscayaan,” kata Sander.
Mengutip data Badan Pusat Statistik, angkatan kerja per Februari 2019 berjumlah 136,18 juta orang. Jumlah angkatan kerja pada Februari 2019 meningkat 2,24 juta orang dibanding Februari 2018. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) juga meningkat sebesar 0,12 persen poin.
Maski demikian, Sander mengingatkan, peningkatan modal manusia juga memerlukan investasi. Perekonomian Indonesia harus lebih terbuka untuk memungkinkan transfer ilmu pengetahuan dan mendorong penciptaan lapangan kerja baru. Pemerintah disarankan segera mengurangan daftar negatif investasi.
“Daftar negatif investasi bisa berdampak langsung dan tidak langsung bagi daya saingI Indonesia,” kata Sander.
SDM Pertanian
Indeks daya saing global 4.0 Indonesia pada 2019 memang menurun. Akan tetapi, penurunan indeks ini dinilai tidak mencerminkan kualitas sumber daya manusia atau SDM di sektor pertanian.
Menurut Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor sekaligus Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia Dwi Andreas Santosa, penurunan indeks tersebut tidak merefleksikan kondisi SDM di sektor pertanian, khususnya petani. "Kualitas SDM itu bersifat holistik. Tak hanya soal pendidikan, tetapi juga pengetahuan dan pengalaman dalam praktik pertanian," katanya saat dihubungi, Rabu (9/10/2019).
Terkait adopsi TIK, Dwi berpendapat, petani Indonesi tergolong responsif. Dia menilai, sebagian petani proaktif mencari tahu informasi terkait perkembangan teknologi pertanian terbaru dan menerapkannya.
Proaktifnya petani dalam mengadopsi teknologi, menurut Dwi, bersifat alamiah. "Kuncinya adalah, adanya jaminan sektor pertanian berpotensi menguntungkan dan menyejahterakan. Hal ini yang membuat petani terdorong untuk maju," ujarnya.
Sebagai gambaran kesejahteraan, Badan Pusat Statistik mencatat, nilai tukar petani (NTP) pada September 2019 sebesar 103,88. Adapun NTP pada September 2018 senilai 103,17. NTP merupakan perbandingan antara indeks harga yang diterima petani dengan indeks harga yang dibayarkan petani.
Sementara itu, Kepala Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pertanian Kementerian Pertanian Dedi Nursyamsi menilai, generasi milenial menjadi motor penggerak SDM pertanian, utamanya dalam mengadopsi TIK. Publikasi \'Statistik Gender Tematik: Profil Generasi Milenial Indonesia 2018\' yang diterbitkan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak bersama Badan Pusat Statistik menyatakan, generasi milenial didefinisikan sebagai penduduk yang lahir pada 1980-2000.
Baca juga :
Berdasarkan laporan yang dihimpun, Dedi menuturkan, model penerapan TIK di kalangan petani itu berupa pengusaha milenial yang bermitra dengan kelompok tani di sejumlah daerah. Pengusaha milenial ini berorientasi pada data kebutuhan dan selera pasar sehingga mampu menggerakkan kelompok tani untuk menjaga kualitas, kuantitas, dan kontinuitas produksi komoditas-komoditas pertanian.
Salah satu contohnya berada di Cianjur, Jawa Barat. Dedi mengatakan, model bisnis yang diterapkan pengusaha milenial dapat meningkatkan harga tomat di tingkat petani sekitar 4 kali lipat.
Meskipun demikian, model-model bisnis seperti itu mayoritas masih terpusat di Pulau Jawa. Hal ini masih menjadi pekerjaan bersama untuk mereplikasi model bisnis tersebut ke daerah-daerah di luar Pulau Jawa.