Perempuan Lukisan Nanga
Kumiko sendirian berjalan pulang dan sosok rampingnya menghadap ke Nakashiwa yang telah ditinggalkan, kian jauh dan menjauh, diliputi bunga-bunga sakura merah yang mengalun-alun terkena angin.
Kyoto di musim semi adalah sakura mekar sepekan lamanya. Mulai dari akhir Maret hingga awal April. Sakura yang dicintai pendeta Saigyo dan orang-orang Kyoto yang amat santun pada ketenangan musim semi.
Seorang pelukis bernama Nakashiwa baru saja mengunjungi makam kedua orangtuanya di Sadashino, tempat mayat-mayat yang sedih terbaring dalam lindung bayang-bayang Buddha yang welas asih. Nakashiwa pulang ke rumahnya setelah membakar dupa dan bercerita tentang hari-hari yang telah lalu pada kedua orangtuanya.
Jalan pulang ke rumah Nakashiwa dipenuhi shidare sakura merah yang tengah mekar. Penduduk setempat selalu menyukai pohon-pohon sakura tiap kali musim semi, begitu juga Nakashiwa. Pada musim semi ini, dia mengingat lagi pertemuan dengan seorang perempuan yang sampai sekarang tetap jadi model lukisan demi lukisan yang digarapnya.
Perempuan itu berkata padanya waktu itu, dia baru saja mengunjungi biara Kiyomizu untuk melihat matahari terbenam. Kumiko Tomie, namanya. Datang dari Nara.
”Aku senang bertemu denganmu, kau seorang pelukis, kan?”
Nakashiwa saat itu kaget.
”Apa kau mengenalku?”
”Kerabatku ada yang memajang salah satu lukisan karyamu di ruang tamu rumahnya.”
”Siapa namanya?”
”Shuujimura.”
Nakashiwa coba memanggil ingatannya. Tak ada satu pun wajah muncul atas gema nama yang diucapkan Kumiko.
”Rasanya aku tidak kenal.”
”Aku sudah mengira kau akan berkata begitu.”
”Lukisan seperti apa yang dia pajang?”
”Dua ekor anak kucing yang tengah bermain di dekat kolam.”
”Tunggu dulu, aku tak pernah melukis kucing. Seingatku aku hanya melukis gunung dan perempuan.”
Kumiko tertawa. Suaranya renyah sekali.
”Tapi kerabatku bilang itu lukisanmu. Aku datang ke sini, khusus untuk melihat lukisan karyamu.”
Seolah dia lupa, karena terpesona oleh paras Kumiko yang amat laras dan keinginan murni yang dilontarkan bibirnya, Nakashiwa pun mempersilakan perempuan muda itu masuk kediamannya.
Mereka meletakkan sepatu beriringan di genkan.
”Kau tinggal sendiri?”
”Orangtuaku sudah meninggal.”
”Kau tak punya istri?”
Nakashiwa merasa perempuan di depannya ini terlalu lancang. Namun karena dia cantik, Nakashiwa memaafkannya seketika. Bahkan setelah mengucapkan pertanyaan ini perempuan itu tak meminta maaf karena merasa telah mencela. Antara kejujuran dan kepolosan, barangkali mencampur jadi satu dalam watak perempuan di depannya ini, pikir Nakashiwa.
”Jadi kau benar-benar tinggal sendiri?”
”Ya.”
Kumiko Tomie langsung takjub dengan lukisan-lukisan yang terpajang maupun yang diletakkan di lantai. Semua baginya benar-benar meyakinkan.
”Lukisan ini sangat bagus. Siapa perempuan dalam lukisan ini?”
”Seorang maiko yang mengunjungi kuil Gion tahun lalu.”
”Kau melukisnya saat itu juga? Di kuil Gion?”
”Tidak. Aku memperhatikannya lamat-lamat, lalu aku pulang dan melukisnya. Beberapa lukisanku juga kukerjakan dengan cara semacam itu.”
Kumiko tak bertanya lagi, dia mengedarkan tatapannya pada lukisan-lukisan Nakashiwa. Sedang Nakashiwa menatap Kumiko dan coba menerka apa yang sebetulnya diinginkan seorang perempuan muda yang jelita ini, saat muncul tiba-tiba di kediaman pelukis tua seperti dirinya.
”Aku ingin kau melukisku dalam gaya Nanga seperti ini,” ucap Kumiko Tomie tiba-tiba sembari menunjuk lukisan maiko yang berkunjung di kuil Gion tersebut.
Nakashiwa tak begitu kaget. Dia telah mengira-ngira kemungkinan ini walau awalnya tak begitu yakin.
”Kau ingin dilukis?” Nakashiwa bertanya, dan untuk meyakinkan dirinya sendiri.
Kumiko mengangguk.
”Kalau kau tak keberatan aku akan melukismu. Kau ingin dilukis sekarang?”
”Tunggu sampai besok. Besok malam aku akan datang ke sini. Pakaianku kurang bagus untuk lukisanmu.”
”Padahal kau sudah mengenakan kimono yang bagus.”
”Menurutku ini kurang pantas.”
Nakashiwa tak membalas perkataannya. Kumiko Tomie pun beranjak dari rumah Nakashiwa setelah mengucapkan permintaan itu. Kumiko sendirian berjalan pulang dan sosok rampingnya menghadap ke Nakashiwa yang telah ditinggalkan, kian jauh dan menjauh, diliputi bunga-bunga sakura merah yang mengalun-alun terkena angin.
***
Kumiko Tomie meninggalkan kesan mendalam pada Nakashiwa sang pelukis. Bahkan saat dia berjalan ke pemandian umum di ujung desa, ingatan akan Kumiko Tomie dan keinginannya untuk dilukis begitu menyita perhatian Nakashiwa sampai dia lupa sesaat tengah berjalan ke pemandian. Lamunannya itu terputus setelah ditegur salah satu tetangganya.
Nakashiwa pulang lalu salin kinagashi coklat polos dan duduk di depan meja kerjanya beberapa lama sambil sesekali memandang bulan yang malam itu terang benderang. Karena gelisah dia membuka lebar-lebar pintu sorong yang menghadap sinar rembulan tersebut. Dia keluar dari tempat kerjanya dan duduk di depan taman. Lentera tua yang sudah ada di sana dari generasi demi generasi keluarganya menyita perhatian Nakashiwa. Dia melamunkan pertemuan dengan Kumiko Tomie dengan memandang lentera batu itu.
Semalaman Nakashiwa tak dapat tidur. Dengan asal-asalan, dia menggambar bulan dan kolam di depannya. Pikirannya tak bisa tenang barang sejenak.
***
Pintu rumah Nakashiwa terbuka lebar dan menunggu kedatangan Kumiko Tomie. Malam tiba begitu cepat, tapi bagi Nakashiwa terasa lambat. Dia merasa menunggu begitu lama. Saat larut dalam penantian itulah, Kumiko Tomie muncul, mengenakan kimono terbaik.
”Kau sudah menungguku?”
”Ya, sedari tadi.”
”Maaf.” Kumiko tersenyum. Senyum yang mendaratkan gelisah pada diri Nakashiwa.
Nakashiwa mempersilakan Kumiko masuk. Dia sudah menyiapkan semuanya.
”Kau duduk di sana. Dan aku akan mulai melukismu.”
Perempuan itu tersenyum. Dia pun duduk dengan tenang dan limpahan sinar dari malam hari menyertai sosoknya yang jelita. Celah pintu sorong di ruang kerja Nakashiwa terbuka untuk membiaskan cahaya malam pada Kumiko.
Kumiko Tomie tak keberatan memperlihatkan leher mulus dan sebagian pundaknya untuk dilukis Nakashiwa. Meski terkesan sia-sia, sebab Kumiko akan dilukis dalam gaya Nanga yang begitu sederhana.
Nakashiwa tercengang ditampakkan keindahan yang bagi dirinya seperti bunga-bunga di kuil sekitar tempat dia tinggal itu. Nakashiwa tak dapat menghentikan tangannya yang bergerak sendiri untuk memegang kulit leher dan pundak Kumiko Tomie. Tangan kasap Nakashiwa bertaut kulit mulus sang perempuan muda.
”Ada apa?” tanya Kumiko.
”Kau indah sekali.”
Hanya itu yang bisa dikatakan Nakashiwa. Kumiko Tomie tersenyum tipis setelah menoleh menatap tangan Nakashiwa yang menyentuhnya. Tak ada tatapan jijik pada perempuan itu sebab dia berkeinginan menjadi model.
Nakashiwa mengenyahkan maksud jahat dalam dirinya dengan menggeleng sekuat mungkin. Menggusah pikiran yang ke mana-mana. Dia melepaskan tangannya dari kulit indah itu dan kembali tenang untuk melukis Kumiko.
Nakashiwa membuat lekuk tubuh, pandang mata, dan bentuk wajah Kumiko sehati-hati mungkin. Sesekali matanya bergantian memandang antara kanvas dan model di hadapannya. Dia terpesona, tak ragu memperlihatkan ketakjuban itu. Sesekali jakunnya naik-turun menelan ludah saking menawannya model di depannya tersebut. Nakashiwa berpikir, dari semua perempuan yang pernah dilukisnya, hanya Kumiko Tomie yang paling cantik.
Kimono yang dikenakan perempuan itu sangat luar biasa. Warna merahnya seperti shidare sakura musim ini. Mengingat kenyataan bahwa perempuan ini muncul sendirian ke rumah Nakashiwa tanpa celaka sungguh suatu keajaiban. Perempuan secantik Kumiko bisa saja terkena bencana kalau berjalan sendiri pada malam hari seperti ini. Nakashiwa tentu sangat berterima kasih Kumiko mau menjadi modelnya dan mempertaruhkan diri sendiri untuk datang ke tempatnya. Kecantikannya akan menarik siapa pun, dia meyakinkan hal ini. Nakashiwa sendiri sudah terjerat tadi.
Lukisan itu selesai dengan sempurna. Mereka mengerjakannya hingga dini hari.
”Bagaimana menurutmu?”
”Bagus sekali. Aku senang kau melukisku.”
Nakashiwa semringah.
”Simpanlah lukisan ini. Ini hadiahku karena kau mau jadi model buat lukisanku.”
”Aku hanya ingin dilukis. Kau saja yang menyimpannya.”
”Itu tidak perlu. Sosokmu sudah kuingat jelas.”
”Seperti si maiko dulu?”
”Ya seperti itu. Kau sangat cantik dan aku tak bisa melupakanmu.”
”Kalau begitu akan aku ambil hadiah darimu ini.”
Nakashiwa sangat bersemangat.
”Besok kau datang lagi ke sini, kan?”
”Aku pasti datang. Mungkin saja aku akan membawa seorang teman. Perempuan yang secantik diriku.”
”Aku ragu ada perempuan secantik dirimu.”
Kumiko tertawa. Tawa keras yang menyenangkan untuk didengar para pria.
”Aku akan datang lagi.”
”Ya, kutunggu. Jangan pernah bosan berkunjung.”
Dan itulah kali terakhir Nakashiwa menatap perempuan yang dicintainya. Pada hari-hari berikutnya, selama apa pun Nakashiwa menunggu, perempuan itu tidak pernah berkunjung lagi ke rumahnya.
Hari-hari menunggu membuat dirinya tersiksa. Keyakinan bahwa dia dapat melukis sebaik lukisan yang diberikannya pada Kumiko Tomie nyatanya tak pernah berhasil. Sebanyak apa pun dia melukis dan coba menggali ingatan akan sosok perempuan itu, selalu menghasilkan lukisan tak sempurna, cacat dan terasa tidak seperti Kumiko yang asli. Dia tak dapat berhenti. Dan setelah tak sabar menanti, Nakashiwa coba mencari perempuan itu mulai dari kuil-kuil terkenal di Kyoto bahkan hingga ke seluruh pelosok Nara. Namun perempuan itu tak pernah muncul, seolah menghilang. Tak ada yang pernah mengenal seorang perempuan bernama Kumiko Tomie. Dan ini sudah musim semi kesepuluh Nakashiwa mencari model lukisannya pada waktu itu.
___________________________________
Bagus Dwi Hananto, lahir di Kudus, 31 Agustus 1992. Menulis puisi dan prosa. Novelnya yang terbit tahun lalu Elegi Sendok Garpu (Buku Mojok). Antologi kolektif yang memuat karyanya antara lain Dari Sragen Memandang Indonesia (2012) dan Mata Angin Mata Gelombang (Dewan Kesenian Pati, 2016).