Pokok-pokok haluan negara juga dapat diatur melalui undang-undang. Jika langkah ini yang diambil, tak perlu melakukan amendemen konstitusi yang berpotensi menjadi bola liar.
Jakarta, Kompas —Rencana menghidupkan kembali garis pokok haluan negara sebagai pedoman pembangunan nasional yang berkesinambungan tidak mutlak membutuhkan amendemen Undang-Undang Dasar 1945. Pedoman perencanaan pembangunan juga dapat diatur melalui undang-undang.
Saat ini, sudah ada Undang-Undang (UU) Nomor 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025 yang mengatur perencanaan pembangunan selama 20 tahun. UU itu dapat direvisi dan dikombinasikan dengan pokok-pokok haluan negara untuk mengganti RPJPN yang akan berakhir 2025 ini.
Dalam Rekomendasi MPR 2014-2019, ada tiga fraksi di MPR yang meminta agar pokok haluan negara tidak diatur melalui amendemen, tetapi cukup lewat UU, yaitu Partai Golkar, Demokrat, dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Dengan demikian, amendemen tidak perlu dilakukan.
Sepuluh unsur pimpinan MPR periode 2019-2024, Rabu (9/10/2019), mengadakan rapat untuk menindaklanjuti rekomendasi MPR periode lalu. Kesembilan fraksi dan kelompok Dewan Perwakilan Daerah sepakat mengkaji terlebih dahulu rencana amendemen itu.
Terkait hal itu, Badan Pengkajian MPR ditugasi menampung masukan dari publik serta pemangku kepentingan dan lembaga negara lainnya. Ada dua opsi yang memungkinkan, yaitu mengamendemen konstitusi untuk memberlakukan lagi haluan negara atau melalui UU RPJPN.
”Kalau suasana politik kondusif dan masyarakat setuju amendemen, kami akan setuju. Tetapi, kalau masyarakat melihat itu cukup dengan undang-undang saja, MPR akan secara cermat mempertimbangkan aspirasi itu,” kata Wakil Ketua MPR dari Fraksi PKS Hidayat Nur Wahid, kemarin.
Meski demikian, solusi undang-undang itu masih disikapi berbeda di internal MPR. Menurut Wakil Ketua MPR dari Fraksi PDI-P Ahmad Basarah, meskipun publik menginginkan haluan pokok negara diatur melalui UU, keputusan akhir ada di tangan MPR.
”Berbeda pendapat itu sah dalam demokrasi, tapi pada akhirnya yang akan mengambil kesimpulan sesuai wewenang konstitusionalnya, apakah mengamendemen terbatas atau tidak, adalah MPR,” katanya.
Pengajar hukum tata negara dari Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, mengatakan, berbeda pendapat di antara fraksi-fraksi terkait cara pengaturan haluan negara mengindikasikan hal itu tidak perlu serta-merta dijawab dengan mengamendemen UUD 1945. ”Jika memang tujuannya hanya membuat haluan negara, opsi pengaturan melalui UU patut dipertimbangkan,” ujarnya.
Pengaturan haluan negara di UU, menurut Bivitri, juga akan menghindarkan potensi amendemen konstitusi yang melebar ke mana-mana, di mana perubahan mungkin juga terjadi terhadap pasal lain di luar haluan negara.
”Amendemen ini seolah membuka kotak Pandora. Aktor-aktor antidemokrasi dikhawatirkan menguatkan kembali kekuasaan mereka untuk mengatur jalannya pemerintahan,” tuturnya.
Terkait hal itu, Direktur Pusat Kajian Pancasila dan Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Jember Bayu Dwi Anggono mengatakan, jika amendemen dilakukan, konsensus harus dibangun terlebih dahulu tentang hal-hal yang akan diamendemen.
Jaminan
Pimpinan MPR menjamin, jika amendemen dilakukan, poin-poin perubahannya dapat dibatasi dan tidak melebar ke hal lain, seperti mengubah kedudukan MPR dan presiden. Basarah menjanjikan, pasal yang akan diubah hanya Pasal 3 menyangkut wewenang MPR menetapkan haluan negara.
Sementara itu, Pasal 6A mengenai tata cara pemilihan presiden dan Pasal 7A mengenai tata cara pemberhentian presiden tidak akan disentuh.
”Menghadirkan haluan negara tidak harus membuat pemilihan presiden oleh MPR atau presiden dapat dimakzulkan ketika tidak menjalankan haluan negara,” jelasnya.
Hidayat juga menjamin, jika amendemen dilakukan, presiden akan tetap dipilih langsung oleh rakyat. Kewenangan MPR yang dikembalikan hanya untuk mengatur haluan negara.
”Kami tidak berpikir ke arah sana (Presiden dipilih oleh MPR). Itu hanya usulan dari luar MPR. Dapat saya pastikan, Badan Pengkajian MPR tidak punya mandat untuk mengkaji (perubahan sistem pemilihan presiden dan masa jabat presiden) karena itu bukan bagian dari rekomendasi MPR,” katanya. (Age/Rek/Nia/Dvd)