Perubahan iklim menjadi salah satu faktor yang memicu peningkatan kasus zoonosis atau penularan penyakit dari hewan ke manusia dan sebaliknya.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Perubahan iklim menjadi salah satu faktor yang memicu peningkatan kasus zoonosis atau penularan penyakit dari hewan ke manusia dan sebaliknya. Namun, peta potensi perubahan penyakit terkait zoonosis dan perubahan iklim sampai saat ini belum tersedia. Peta ini penting untuk mendukung upaya antisipasi terhadap setiap ancaman yang muncul.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi di Jakarta, Kamis (10/10/2019) menyampaikan, setidaknya ada empat kondisi dari dampak perubahan iklim yang berpengaruh pada faktor kesehatan. Kondisi itu meliputi kenaikan temperatur, perubahan pola curah hujan, kenaikan muka air laut, serta kenaikan frekuensi dan intensitas iklim ekstrem.
Peningkatan temperatur dapat berpengaruh pada perkembangbiakan, pertumbuhan, umur, dan distribusi vektor penyakit seperti malaria, deman berdarah, chikungunya, dan filariasis. Curah hujan berpengaruh pada tipe dan jumlah habitat perkembangbiakan vektor penyakit. Sementara, kenaikan muka laut dan kondisi iklim yang ekstrem menyebabkan perubahan pada pola penyebaran vektor penyakit.
“Perubahan iklim membuat pola penularan penyakit juga berubah. Kita tidak lagi bisa memprediksi peningkatan deman berdarah. Untuk itulah, peta perubahan penyakit terkait vektor tular dan zoonosis sangat dibutuhkan sebagai sistem peringatan dini. Ini akan jadi pertimbangan kami bersama pemangku kepentingan lain,” ujar Nadia.
Kepala Sub Direktorat Keamanan Hayati Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Lu’lu Agustina menambahkan, suhu bumi yang meningkat serta perubahan iklim lingkungan membuat mikroorganisme turut beradaptasi dengan perubahan iklim. Resistensi antimikroba serta mutasi virus dan bakteri yang dipicu oleh perubahan iklim pun menambah ancaman bagi manusia.
“Pemicu percepatan zoonosis juga disebabkan oleh perluasan populasi manusia ke sekitar hutan. Interaksi antara manusia dan hewan yang sudah terinfeksi virus semakin dekat sehingga dapat juga memicu penyakit infeksi jenis baru,” ucapnya.
Pada Mei 2019 ditemukan parasit malaria jenis baru Plasmodium knoelwsi yang menulari masyarakat di Aceh, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Sumatera Utara. Parasit ini sebelumnya diketahui hanya menjangkit monyet. Penyebaran penularan penyakit ini diduga karena lingkungan manusia dan monyet yang terinfeksi semakin berdekatan.
Peneliti dari Predict Indonesia yang juga Kepala Pusat Studi Satwa Primata Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Institut Pertanian Bogor (LPPM IPB) Joko Pamungkas mengatakan, penelitian yang dilakukan terkait surveilans virus kelelawar, rodensia, dan manusia di Sulawesi memberikan temuan baru pada jenis virus yang sebelumnya belum pernah dilaporkan.
Pada Mei 2019 ditemukan parasit malaria jenis baru Plasmodium knoelwsi yang menulari masyarakat di Aceh, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Sumatera Utara
Riset pertama menunjukkan adanya 14 virus jenis baru dan pada riset kedua ditemukan 13 jenis virus baru. Adapun nama-nama jenis virus tersebut belum dapat disampaikan karena menunggu keputusan dari pemerintah.
“Upaya surveilans dengan sasaran tertentu sangat dibutuhkan terutama pada orang yang melakukan kontak dengan satwa liar. Perubahan ekologi juga menjadi pemicu meningkatnya kasus zoonosis,” tuturnya.