Pesan Rakyat Lewat Kue Cucur
Kue cucur merupakan satu kudapan tradisional di tanah Minahasa, Sulawesi Utara. Namun, lebih dari sekadar jajanan, kue itu mengingatkan perangkat pemerintah kota akan akarnya.
Hari jadi ke-29 Kota Bitung, Sulawesi Utara, Kamis (10/10/2019), dimeriahkan dengan Festival Pesona Selat Lembeh selama sembilan hari. Tak hanya keindahan bawah laut Selat Lembeh yang dirayakan, tetapi juga satu kudapan tradisional, yaitu kue cucur. Lebih dari sekadar jajanan, kue cucur mengingatkan perangkat pemerintah kota akan akarnya: warga biasa.
“Yeeeess!! Wuhuu!!” dr Franky Soriton memekik penuh kepuasan bersama istrinya serta beberapa orang yang berdiri mengelilingi kompor. Rupanya, adonan coklat dari tepung yang tengah digorengnya dapat membentuk lingkaran sempurna. Para asisten yang menyoroti panci dengan blitz kamera ponsel pun turut serta dalam euforia.
Kepala Dinas Kesehatan Bitung itu adalah salah satu pejabat pemerintah kota yang ikut dalam kompetisi memasak kue cucur bersama pasangan, Rabu (9/10) malam. Ada delapan pasangan yang bertanding dalam kompetisi di area kuliner Festivel Pesona Selat Lembeh (FPSL) itu.
“Kompetisi ini seru sekali karena bikin kue cucur itu gampang-gampang susah. Kue cucur sebenarnya mudah dibuat, tapi, salah sedikit saja bisa-bisa tidak akan jadi,” kata Franky.
Kue cucur adalah salah satu kudapan yang sangat umum dan terkenal di daerah Minahasa, termasuk Bitung. Kue ini sangat mudah ditemui di pasar maupun pedagang kaki lima di tepi jalan yang menjajakan gorengan.
Bentuk kue ini bundar, warnanya cokelat gelap. Ada yang datar, ada juga yang cembung di tengah. Dari proses penggorengan, pinggiran luar kue cucur akan membentuk semacam “renda”, seperti gelombang yang naik turun. “Bahan membuat kue cucur sederhana, cuma tepung beras, tepung terigu, air, gula batu (aren), kayu manis, dan anais (bunga lawang) kering,” kata Franky.
Mula-mula, gula aren, kayu manis, dan anais direbus dalam air hingga larut, kemudian didiamkan sampai hangat. Kemudian, rebusan itu dituangkan pada tepung terigu dan tepung beras, lalu diaduk hingga rata dan kental. Adonan pun siap digoreng dalam panci.
Kue cucur yang sempurna itu punya 36 titik renda di pinggirnya.
Istri Franky menggunakan gelas sloki untuk mengambil adonan sebelum dituangkan ke dalam minyak goreng mendidih dalam panci. Itu untuk memastikan ukuran kue cucur sama satu dengan lainnya. Setelah adonan kental jadi lingkaran yang sedikit padat, bagian tengahnya mesti ditusuk dengan lidi agar minyak meresap dan kue sepenuhnya matang.
Namun, hal yang paling penting dari kue cucur adalah jumlah renda di tepiannya. “Kue cucur yang sempurna itu punya 36 titik renda di pinggirnya. Renda itu akan jadi dengan sendirinya asalkan kami bisa menciptakan keseimbangan yang pas antara air, tepung, dan gula. Kalau terlalu kental atau terlalu manis, tidak akan jadi,” kata Franky.
Ia mencontohkan salah satu hasil kontestan yang pinggirannya datar. “Ini fatal sekali. Ibarat orang stand up comedy, tapi tidak bikin ketawa sama sekali,” katanya sambil tertawa.
Kendati mengetahui teorinya, Franky dan istrinya gagal menciptakan kue cucur yang sempurna. Kudapan kreasi mereka itu punya 46 renda. Namun, mereka tak kecil hati sebab kue cucur buatan mereka tersebut langsung dinikmati oleh Wali Kota Bitung Max Lomban.
Max mengatakan, rasa lezat, tekstur lunak, dan warna yang cokelat gelap tak kalah penting dalam menentukan pemenang lomba. Namun, jumlah renda kue cucur yang tepat 36 adalah salah satu kriteria utama yang harus dipenuhi peserta memenangkan lomba.
“Ada dua peserta yang berhasil dapat 36, ada yang cuma 26. Saya sendiri tidak tahu apa makna di balik 36 renda itu. Yang pasti, jika campuran gula, tepung, dan air pas, kue cucur akan punya jumlah renda yang tepat juga,” kata Max.
Bagian budaya
Perencanaan kompetisi kue cucur bukan sekonyong-konyong tanpa alasan. Menurut Max, kue cucur adalah bagian dari budaya tanah Minahasa yang kini mencakup Kabupaten Minahasa, Minahasa Utara, Minahasa Selatan, Minahasa Tenggara, Kota Manado, dan Bitung. Karena itu, hampir semua orang etnis Minahasa bisa membuat kue cucur.
“Di Jawa juga ada kue cucur, tapi orang Minahasa sudah sangat akrab dengan kue cucur. Tinggal mencampurkan gula aren, tepung beras, kayu manis, anais, air, dan pandan. Kue ini juga ada di mana-mana. Di berbagai acara, baik saat suka maupun duka, kue cucur selalu ada,” kata Max.
Kue cucur memiliki cerita yang cukup unik. Budayawan Minahasa Bodewyn Talumewo mengatakan, konon, kue ini menjadi lambang kematangan seorang wanita untuk menikah. Jika sudah siap menikah, kue cucur buatannya pasti akan memiliki 36 renda.
“Ada tradisi calon mempelai wanita memasak kue cucur untuk mertua mereka. Namun, tradisi itu sekarang sudah hilang. Hanya beberapa keluarga yang melaksanakannya,” katanya.
Bisa jadi, mereka belajar bikin kue cucur di Batavia karena kue cucur juga dikenal sebagai bagian dari budaya Betawi.
Secara historis, belum ada riset yang dapat memastikan kapan kue cucur dikenal di tanah Minahasa. Bodewyn berhipotesis, kue cucur bisa jadi mulai dikenal sejak awal abad ke-20, saat orang-orang Minahasa yang menjadi Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL) dibawa ke Batavia (Jakarta) bersama keluarganya.
“Bisa jadi, mereka belajar bikin kue cucur di Batavia karena kue cucur juga dikenal sebagai bagian dari budaya Betawi,” katanya. Lebih luas lagi, kue cucur juga dikenal sebagai kuih cucur di Malaysia dan khanom chuchun di selatan Thailand.
Merakyat
Kini, kebiasaan membuat kue cucur di tanah Minahasa, terutama di kota besar seperti Manado dan Bitung, mulai ditinggalkan. Warga lebih suka membeli daripada membuat sendiri karena padatnya kesibukan. Kini, cucur menjadi kue yang selalu ada dalam acara keluarga, suka maupun duka.
Lalu, mengapa para kepala dinas dan lembaga pemerintahan yang diikutkan ajang memasak kue cucur selama FPSL? Max Lomban mengatakan, ia ingin mengetahui apakah para pejabat masih mengenal tradisi asli Minahasa. Jika semakin banyak orang bisa membuat kue cucur, budaya Minahasa akan bertahan meski zaman berganti.
Baca juga: Watu Pinawetengan, Ingatan Kebaikan Nenek Moyang
Lewat kompetisi ini, Max juga berharap para pejabat di Bitung mengingat bahwa mereka adalah bagian dari rakyat. “Karena itu, lomba ini juga diadakan untuk untuk mendorong pejabat agar terus melayani masyarakat dengan baik,” katanya.
Di tahun ke-29 setelah Bitung mendapatkan otonomi daerah sebagai kota, Max mengaku bangga akan kerja pemerintah. Pariwisata disandingkan dengan perikanan sebagai sektor ekonomi unggulan.
Pada 2016, Bitung kedatangan 65.521 pelancong nusantara dan mancanegara, bertepatan dengan pelaksanaan FPSL pertama di bawah tanggung jawab pemkot. Pada 2017, jumlah kedatangan meningkat ke 147.094, lalu berlipat menjadi 338.279 pada 2018. Max mengklaim, ini efek dari pelaksanaan FPSL secara teratur.
Kebijakan ini diambil bersamaan dengan sektor perikanan yang melesu pada 2015. Pertumbuhan ekonomi jatuh ke 3,54 persen dari 6,39 persen pada 2014. Sejak FPSL dijadikan agenda rutin, pertumbuhan ekonomi naik lagi ke 5,43 persen pada 2016, lalu mencapai 6,01 persen pada 2018.
Baca juga: Incar Wisman, Bitung Poles Festival Selat Lembeh
“FPSL akan kami lanjutkan. Saya harap, siapa pun yang memimpin kota ini nantinya akan meneruskannya. Kegiatan pariwisata bertujuan mengembangkan ekonomi masyarakat Bitung. Saya harap, bitung akan semakin hebat dan bisa menikmati kesejahteraan,” kata Max.
Para pejabat di Bitung telah kembali mengingat akarnya sebagai bagian dari rakyat. FPSL adalah momen yang pas untuk menunjukkan kerja keras pemerintah bagi masyarakat. Namun, niat kerja yang tulus juga dinanti dalam pelayanan sehari-hari bagi warga.