"Waktu Ada Situ, Sumur Enggak Mudah Kering"
Irwansyah (50) sangat berharap, suatu saat nanti, Situ Kayu Antep, Rempoa, Tangerang Selatan, Banten, bisa kembali berfungsi.
Irwansyah (50) sangat berharap, suatu saat nanti, Situ Kayu Antep, Rempoa, Tangerang Selatan, Banten, bisa kembali berfungsi. Tak hanya menyimpan kenangan, bagi Irwansyah, Situ Kayu Antep memelihara suplai air sumur warga di tempat tinggalnya.
”Sewaktu masih ada setu (situ), sumur enggak mudah kering. Kalau sekarang, sejak setu hilang, air sumur kami selalu kering pada musim kemarau,” tuturnya.
Situ Kayu Antep seluas 1,7 hektar merupakan satu dari 208 situ di Jabodetabek yang dikelola oleh Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung-Cisadane (BBWSCC), Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Dalam Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2008 tentang penataan ruang kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur, disebutkan bahwa situ memiliki fungsi penting sebagai daerah tangkapan air dan juga sumber air baku, termasuk sebagai pengendali banjir.
Meskipun berfungsi vital untuk menjaga ketersediaan air baku dan pengendali banjir, perlindungan dari pemerintah terhadap situ-situ di Jabodetabek masih lemah. Situ Kayu Antep, contohnya, sejak terbitnya putusan Pengadilan Tinggi Banten pada 2012, situ itu dapat dimiliki dan dikuasai oleh pengembang, PT Hana Kreasi Persada.
Proses jual-beli melibatkan notaris dan Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) setempat, tak diketahui warga di sekitar situ, seperti Irwansyah. ”Tahu-tahu situ sudah dikuasai oleh pengembang. Kami sama sekali tidak tahu,” katanya.
Nadih (70), mantan Kepala Dusun 2 Rempoa ini pun mengungkapkan, sebagai perangkat desa Rempoa sejak 1983-1998, ia pun tak pernah mendengar adanya jual beli lahan Situ Kayu Antep. Baru sekitar tahun 2000-an, ia memperoleh informasi bahwa Situ Kayu Antep itu ada pemiliknya. Informasi itu pun ia peroleh dari seseorang yang mendatangi dirinya dan mengaku sebagai ahli waris Situ Kayu Antep.
Guna mendapatkan informasi yang benar terkait nasib Situ Kayu Antep, sekitar 2013, Nadih bersama ketua RW dan tiga ketua RT setempat memutuskan berangkat ke Pengadilan Tinggi Banten. Di sana, mereka memperoleh informasi bahwa sengketa terkait lahan Situ Kayu Antep yang melibatkan Pemerintah Provinsi Banten dengan pihak pengembang PT Hana Kreasi Persada, sudah selesai pada 2012.
Baca juga : Situ Hilang Bencana Datang
Menurut Nadih, pihak pengadilan hanya memberikan penjelasan bahwa pengembang yang dimenangkan dalam perkara tersebut. Sejauh ini pun, Nadih mengaku, ia hanya mengetahui bahwa lahan Situ Kayu Antep akan digunakan untuk perluasan perumahan.
“Saya ke sana (pengadilan) bukan buat apa-apa. Jadi supaya kalau ada orang tanya, saya bisa jawab jelas, enggak cuman katanya. Apalagi Situ Kayu Antep ini diandalkan sebagai resapan air warga,” ujar Nadih.
Jual-beli situ
Proses jual-beli lahan Situ Kayu Antep dimuat dalam petikan putusan Pengadilan Tinggi Banten terkait sengketa lahan situ, melibatkan PT Hana Kreasi Persada dengan Pemerintah Kota Tangerang Selatan.
Dalam putusan disebutkan, sertifikat hak milik lahan Situ Kayu Antep telah diterbitkan BPN sejak 1974 atas nama Tadjuddin. Lahan Situ Kayu Antep sempat dijual ke pihak lain sehingga sertifikatnya dibalik nama menjadi atas nama Darnelis. Hingga akhirnya pada 2008, situ dibeli PT Hana.
Proses jual-beli lahan Situ Kayu Antep dimuat dalam petikan putusan Pengadilan Tinggi Banten terkait sengketa lahan situ
Tim Kompas sempat kesulitan menemukan keberadaan PT Hana. Pada beberapa putusan pengadilan terkait sengketa lahan Situ Kayu Antep, perusahaan ini mencatatkan alamat yang berbeda-beda. Pada salah satu putusan, perusahaan ini disebut beralamat di Jalan BSD. Namun, pada putusan lain disebut beralamat di Alam Sutera, Tangerang Sel.
Setelah mendatangi alamat itu satu per satu, baru ditemukan keberadaan PT Hana di salah satu ruko kawasan Alam Sutera. Di ruko itu, pengembang ini menjalankan usaha menjual pintu.
PT Hana mengungkapkan, upaya mereka memiliki lahan situ, ditempuh sesuai prosedur. Erwin Kallo, kuasa hukum Direktur Utama PT Hana, Hendrik Kadarusman menjelaskan, kliennya tidak mungkin membeli tanah yang bermasalah, apalagi areal situ. Dari segi dokumen pun sudah kuat, karena sertifikat hak milik di lahan itu untuk pertama kali terbit tahun 1974.
Baca juga : Empat Situ di Tangsel Diusulkan Ditata
“Kami telah ikuti aturannya. Di pengadilan pun kami dimenangkan. Tidak mungkin kalau itu adalah rencana situ, kami beli. Konyol juga,” jelas pengacara properti ini.
Sertifikat Bertumpuk
Nasib Situ Cipondoh, Kota Tangerang, tak jauh beda. meski kini tiada aktivitas pembangunan di atasnya. Di areal 126 hektar ini malah terbit tak kurang dari 18 SHM dan HGB.
Tim Kompas menemukan, pada Peta Bidang Tanah yang dipublikasikan BPN di situs atrbpn.go.id, hampir seluruh areal Situ Cipodoh diberi warna abu-abu sebagai simbol bidang tanah dengan jenis dokumen sertifikat HGB.
Jika pada umumnya, bidang tanah berbentuk kotak, bidang tanah Situ Cipondoh mengikuti setiap lekuk bibir situ. Hampir seluruh permukaan situ tertutup bidang tanah yang dicatat dalam dokumen HGB.
Peta bidang tanah hanya memberi informasi terkait nomor bidang tanah dan jenis sertifikat yang diterbitkan. Sementara nama pemilik dan luas areal lahan tak disebutkan.
Identitas pemilik HGB di lahan Situ Cipondoh, diketahui dari penelusuran laporan hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terkait anggaran Pemkot Tangerang tahun 2014. Di dalam laporannya, BPK menyebut bahwa ditemukan sejumlah dokumen kepemilikan tanah yang terbit di atas Situ Cipondoh.
Masih dalam laporan itu, juga disebutkan bahwa Situ Cipondoh yang ditaksir senilai Rp 345,06 miliar, telah dicatat sebagai aset Provinsi Banten. Pencatatan itu disertai bukti Sertifikat Hak Pengelolaan (HPL) Nomor 1/1996, atas nama Pemerintah Jawa Barat yang telah dibalik nama ke Pemprov Banten pada 3 April 2012.
Meskipun sudah terbit HPL, BPK melaporkan bahwa di areal situ itu juga terbit HGB atas nama PT Griya Tritunggal Paksi (PT GTP). Selain terbit HGB, BPK juga melaporkan, bahwa di areal Situ Cipondoh juga terbit 16 SHM atas nama berbeda-beda, dengan total luas 2,8 hektar.
Dalam laporannya, BPK menilai bahwa adanya tumpang tindih sertifikat dapat menyebabkan Situ Cipondoh berpontensi hilang. Apalagi, BPK juga menemukan HGB yang diterbitkan di atas Situ Cipondoh itu telah diagunkan PT GTP kepada PT Sinar Mas Multifinance dengan nilai sebesar 15 juta dollar AS, atau sekitar Rp 210 miliar.
Dalam laporannya, BPK menilai bahwa adanya tumpang tindih sertifikat dapat menyebabkan Situ Cipondoh berpontensi hilang
Kepala Seksi Penanganan Masalah dan Pengendalian Pertanahan BPN Kota Tangerang Edy Dwi Daryono mengaku tak tahu bagaimana bisa ada permasalahan tumpang tindih sertifikat di Situ Cipondoh. “Sebenarnya tidak bisa (terbit sertifikat hingga tumpang tindih) karena sudah terbit HPL,” ujarnya.
Sebelum tahun 2000, menurut Edy, bidang tanah yang diterbitkan SHM maupun HGB belum dipetakan secara sistematis di BPN. Akibatnya, lahan yang sama bisa diperjualbelikan ke pihak lain seandainya lahan tersebut ditinggal pemiliknya.
"Zaman itu kan alat (program peta bidang tanah) tidak selengkap saat ini," ucapnya.
Lihat juga : Denyut Kehidupan Situ Cibeureum Saat Kemarau
Untuk saat ini, menurut Edy, sudah tidak ada lagi SHM dan HGB yang diterbitkan secara tumpang tindih di satu bidang tanah. "Setiap bidang tanah sudah diplotkan (dimasukkan) ke sistem masing-masing," kata Edy.
Untuk menyelesaikan permasalahan SHM dan HGB yang tumpang tindih di Situ Cipondoh, Edy mengaku, pihaknya menunggu laporan dari masyarakat. "Salah satu pihak harus ada yang mengajukan permohonan (mediasi terkait sengketa bidang tanah)," ucapnya.
Gubernur Banten, Wahidin Halim mengatakan, sampai saat ini masih berusaha ditelusuri keberadaan dokumen HGB Situ Cipondoh yang digadaikan PT GTP. “Situ Cipondoh, disertifikatkan atas nama pengembang, apakah betul sertifikatnya. Nanti akan kelihatan, akan kita proses (ajukan gugatan). Kalau perlu pemerintah akan menggugat karena mungkin ini prosesnya tidak sah,” jelasnya.
Pengamat perkotaan Nirwono Joga menilai, adanya beberapa lahan situ yang diterbitkan SHM atas nama perseorangan maupun pengembang sejak tahun 1974, diduga itu berkaitan erat dengan maraknya pembangunan perumahan yang terjadi 1980-an. Seperti diberitakan Kompas, 25 Juli 1980, pemerintah saat itu tengah menggenjot pembangunan 150.000 unit rumah selama Pelita III, dan 30.000 unit di antaranya dibangun perusahaan real-estate.
“Munculnya (situ-situ yang hilang) banyak di tahun 1980-an, saat booming property. Lahan-lahan situ yang lama tak terpelihara dengan baik itu mengalami proses sedimentasi, kemudian muncul daratan dan tanaman liar. Yang kemudian dimanfaatkan masyarakat sekitar untuk fungsi yang lain (pertanian hingga perumahan). Kemudian masuklah pengajuan izin sertifikat baik masyarakat secara individu maupun pengembang,” jelasnya.
Hingga saat ini pun, menurut Nirwono, masih ditemukan upaya penghilangan situ oleh sejumlah pihak. Artinya, lanjut Nirwono, sampai 2019 ini belum tampak dan belum ada upaya serius dari pemerintah, baik pemerintah pusat maupun daerah, untuk melindungi situ. “Buktinya, sebagian besar situ belum bersertifikat,” ucapnya.
Sejak 2017, pemerintah berupaya melindungi situ, danau, embung, dan waduk di Jabodetabek. Namun hingga kini, dari 208 situ di Jabodetabek yang dikelola pemerintah pusat, baru 4 situ yang berhasil disertifikasi yakni Situ Pagam, Situ Cogreg, Situ Tlajung Udik, dan Situ Rawa Lumbu.