Irwansyah (50) sangat berharap, suatu saat nanti, Situ Kayu Antep, Rempoa, Tangerang Selatan, Banten, bisa kembali berfungsi. Tak hanya menyimpan kenangan, bagi Irwansyah, Situ Kayu Antep memelihara suplai air sumur warga di tempat tinggalnya. ”Sewaktu masih ada setu (situ), sumur enggak mudah kering. Kalau sekarang, sejak setu hilang, air sumur kami selalu kering pada musim kemarau,” ujarnya.
Meskipun berfungsi vital untuk menjaga ketersediaan air baku dan pengendali banjir, perlindungan dari pemerintah terhadap situ-situ di Jabodetabek masih lemah. Situ Kayu Antep, contohnya, sejak terbitnya putusan Pengadilan Tinggi Banten pada 2012, situ itu dapat dimiliki dan dikuasai oleh pengembang, PT Hana Kreasi Persada.
Proses jual-beli melibatkan notaris dan Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) setempat, tak diketahui warga di sekitar situ, seperti Irwansyah. ”Tahu-tahu situ sudah dikuasai oleh pengembang. Kami sama sekali tidak tahu,” katanya.
Jual-beli situ
Proses jual-beli lahan Situ Kayu Antep dimuat dalam petikan putusan Pengadilan Tinggi Banten terkait sengketa lahan situ, melibatkan PT Hana Kreasi Persada dengan Pemerintah Kota Tangerang Selatan.
Dalam putusan disebutkan, sertifikat hak milik lahan Situ Kayu Antep telah diterbitkan BPN sejak 1974 atas nama Tadjuddin. Lahan Situ Kayu Antep sempat dijual ke pihak lain sehingga sertifikatnya dibalik nama menjadi atas nama Darnelis. Hingga akhirnya pada 2008, situ dibeli PT Hana.
Tim Kompas sempat kesulitan menemukan keberadaan PT Hana. Pada beberapa putusan pengadilan terkait sengketa lahan Situ Kayu Antep, perusahaan ini mencatatkan alamat yang berbeda-beda. Pada salah satu putusan, perusahaan ini disebut beralamat di Jalan BSD. Namun, pada putusan lain disebut beralamat di Alam Sutera, Tangerang Selatan.
Setelah mendatangi alamat itu satu per satu, baru ditemukan keberadaan PT Hana di salah satu ruko kawasan Alam Sutera. Di ruko itu, pengembang ini menjalankan usaha menjual pintu.
PT Hana mengungkapkan, upaya mereka memiliki lahan situ ditempuh sesuai prosedur. Erwin Kallo, kuasa hukum Direktur Utama PT Hana Hendrik Kadarusman, menjelaskan, kliennya tidak mungkin membeli tanah yang bermasalah, apalagi areal situ. Dari segi dokumen pun sudah kuat karena sertifikat hak milik di lahan itu untuk pertama kali terbit tahun 1974.
”Kami telah ikuti aturannya. Di pengadilan pun kami dimenangkan. Tidak mungkin kalau itu adalah rencana situ, kami beli. Konyol juga,” kata pengacara properti ini.
Sertifikat bertumpuk
Nasib Situ Cipondoh, Kota Tangerang, tak jauh beda. Meski kini tiada aktivitas pembangunan di atasnya, di areal 126 hektar ini malah terbit tak kurang dari 18 SHM dan HGB. Tim Kompas menemukan, pada Peta Bidang Tanah yang dipublikasikan BPN di situs atrbpn.go.id, hampir seluruh areal Situ Cipondoh diberi warna abu-abu sebagai simbol bidang tanah dengan jenis dokumen sertifikat HGB.
Jika pada umumnya bidang tanah berbentuk kotak, bidang tanah Situ Cipondoh mengikuti setiap lekuk bibir situ. Hampir seluruh permukaan situ tertutup bidang tanah yang dicatat dalam dokumen HGB. Peta bidang tanah hanya memberi informasi terkait nomor bidang tanah dan jenis sertifikat yang diterbitkan. Sementara nama pemilik dan luas areal lahan tak disebutkan.
Identitas pemilik HGB di lahan Situ Cipondoh diketahui dari penelusuran laporan hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terkait anggaran Pemerintah Kota Tangerang tahun 2014. Di dalam laporannya, BPK menyebut, ditemukan sejumlah dokumen kepemilikan tanah yang terbit di atas Situ Cipondoh.
Masih dalam laporan itu, juga disebutkan bahwa Situ Cipondoh yang ditaksir senilai Rp 345,06 miliar tersebut telah dicatat sebagai aset Provinsi Banten. Pencatatan itu disertai bukti Sertifikat Hak Pengelolaan (HPL) Nomor 1 Tahun 1996 atas nama Pemerintah Provinsi Jawa Barat yang telah dibalik nama ke Pemprov Banten pada 3 April 2012.
Meski sudah terbit HPL, BPK melaporkan bahwa di areal situ itu juga terbit HGB atas nama PT Griya Tritunggal Paksi (PT GTP). Selain terbit HGB, BPK juga melaporkan bahwa di areal Situ Cipondoh terbit 16 SHM atas nama berbeda-beda dengan total luas 2,8 hektar.
Dalam laporannya, BPK menilai, adanya tumpang tindih sertifikat dapat menyebabkan Situ Cipondoh berpotensi hilang. Apalagi, BPK juga menemukan HGB yang diterbitkan di atas Situ Cipondoh itu telah diagunkan PT GTP kepada PT Sinar Mas Multifinance dengan nilai 15 juta dollar AS atau sekitar Rp 210 miliar.
Kepala Seksi Penanganan Masalah dan Pengendalian Pertanahan BPN Kota Tangerang Edy Dwi Daryono mengaku tidak tahu bagaimana bisa ada permasalahan tumpang tindih sertifikat di Situ Cipondoh. ”Sebenarnya tidak bisa (terbit sertifikat hingga tumpang tindih) karena sudah terbit HPL,” ujarnya.
Gubernur Banten Wahidin Halim mengatakan, sampai saat ini, pihaknya masih berusaha menelusuri keberadaan dokumen HGB Situ Cipondoh yang digadaikan PT GTP. ”Situ Cipondoh disertifikatkan atas nama pengembang, apakah betul sertifikatnya. Nanti akan kelihatan, akan kami proses (ajukan gugatan). Kalau perlu, pemerintah akan menggugat karena mungkin ini prosesnya tidak sah,” katanya.
Sejak 2017, pemerintah berupaya melindungi situ, danau, embung, dan waduk di Jabodetabek. Namun hingga kini, dari 208 situ di Jabodetabek yang dikelola pemerintah pusat, baru 4 situ yang berhasil disertifikasi, yakni Situ Pagam, Situ Cogreg, Situ Tlajung Udik, dan Situ Rawa Lumbu.(SATRIO PANGARSO WISANGGENI/RYAN RINALDY/MADINA NUSRAT)