Waspadai Potensi Bunuh Diri pada Remaja
JAKARTA, KOMPAS — Bunuh diri adalah persoalan kegawatan medis dan kesehatan mental serius. Bukan hanya penduduk dewasa, bunuh diri juga mudah ditemukan pada remaja. Padahal, mereka adalah aset bangsa untuk mencapai kehidupan yang lebih sejahtera.
Bunuh diri pada remaja adalah sebuah tragedi, kerugian besar bagi bangsa. Berbagai persoalan pemicu stres yang tak mampu mereka hadapi dan lemahnya dukungan keluarga atau lingkungan sekitar membuat remaja mati dalam kesia-siaan.
"Kesepian, perundungan langsung maupun siber, hingga perasaan diabaikan oleh keluarga membuat banyak remaja memilih mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri," kata Pendiri Into The Light, komunitas pencegahan bunuh diri, Benny Prawira Siauw di Jakarta, Rabu (9/10/2019).
Kesepian, perundungan langsung maupun siber, hingga perasaan diabaikan oleh keluarga membuat banyak remaja memilih mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri.
Survei Perilaku Berisiko Kesehatan pada Pelajar SMP dan SMA di Indonesia yang dilakukan Kementerian Kesehatan 2015 menunjukkan 5,14 persen siswa SMP-SMA berpikir ingin bunuh diri, 5,54 persen siswa punya rencana bunuh diri, dan 2,39 persen siswa pernah melakukan percobaan bunuh diri.
Dibanding negara Asia Tenggara dan Asia Selatan, prevalensi bunuh diri pada remaja di Indonesia memang lebih rendah. Namun, jika ditarik berdasarkan populasi, jumlah remaja dan penduduk dewasa muda yang bunuh diri di Indonesia bisa lebih besar. Selain itu, survei itu juga memiliki keterbatasan karena hanya dilakukan pada siswa sekolah, bukan populasi remaja secara umum.
Sementara itu, dari pemantauan Into The Light terhadap pemberitaan tentang bunuh diri pada media daring Indonesia antara 2013-2017 menunjukkan jumlah bunuh diri pada siswa SMP-SMA menuruti urutan kedua setelah polisi. Bunuh diri pada siswa SMP-SMA itu lebih banyak dibanding pada kelompok mahasiswa yang ada di urutan ketiga. Namun, data pemantauan ini tetap memiliki biasa karena bisa jadi kematian siswa dan mahasiswa kurang dilaporkan karena dianggap aib, sedangkan bunuh diri pada petugas kepolisian bisa jadi mendapat perhatian lebih besar dari media.
Dari pemantauan Into The Light terhadap pemberitaan tentang bunuh diri pada media daring Indonesia antara 2013-2017 menunjukkan jumlah bunuh diri pada siswa SMP-SMA menuruti urutan kedua setelah polisi.
Remaja adalah tahapan tumbuh kembang manusia yang penting dan genting. Berbagai risiko kesehatan fisik dan mental umumnya muncul saat remaja. Kondisi itu membuat kesehatan remaja memberi dasar bagi kesehatan penduduk saat dewasa, bahkan berpeluang diwariskan kepada anak mereka kelak.
"Remaja adalah fase pembentukan identitas peran dan identitas seksual," tambah psikiater Departemen Kesehatan Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta Sylvia D Elvira.
Ada banyak hal yang membuat remaja melakukan bunuh diri, baik dari aspek biologis, psikologi maupun sosial. Genetika memiliki peran dalam menyebabkan bunuh diri. Namun, proses tumbuh kembang anak, pola asuh orangtua dan dukungan lingkungan sekitar juga bisa memicu bunuh diri.
Repotnya, di masa pembentukan identitas remaja itu, hubungan remaja dengan orangtuanya biasanya cukup renggang. Situasi itu sering membuat remaja kesepian, merasa tidak dibutuhkan, dan tidak ada yang memedulikan hingga berpikir mengakhiri hidup jadi jalan terbaik.
Di sisi lain, remaja saat ini menghadapi tantangan makin besar. Gawai dan media sosial memang bisa mendekatkan remaja dengan teman seminat dan mencari teman baru, namun dia juga bisa menjadi sumber stres baru. Karena itu, kebijaksanaan dalam penggunaan perangkat teknologi perlu ditanamkan sejak dini.
Seiring peringatan Hari Kesehatan Jiwa Sedunia 10 Oktober 2019 yang fokus pada pencegahan bunuh diri, langkah penyelamatan remaja perlu segara diambil. Remaja perlu lebih didengar, jangan sepelekan keluh kesah mereka dengan alasan itu wajar pada usia mereka. Orang dewasa perlu lebih sensitif dengan stres remaja.
Remaja perlu lebih didengar, jangan sepelekan keluh kesah mereka dengan alasan itu wajar pada usia mereka. Orang dewasa perlu lebih sensitif dengan stres remaja.
"UKS (unit kesehatan sekolah) perlu dimanfaatkan kembali untuk mengampanyekan kesehatan jiwa," kata Benny. Kampanye kesehatan jiwa perlu dikemas lebih menarik, baik melalui kegiatan olah raga maupun seni. Guru bimbingan karir pun perlu dibekali kemampuan untuk mendengar keluh kesah siswa di luar persoalan pendidikan.
Nilai-nilai keluarga pun perlu diperkuat. Pola komunikasi searah dari orangtua ke anak perlu diubah. Orangtua perlu memerhatikan pandangan remaja, bukan memaksakan nilai mereka yang belum tentu cocok buat remaja. Kepedulian semua yang lebih baik pada remaja bisa menguatkan kesehatan jiwa mereka dan menyelamatkan mereka dari kematian yang sia-sia.