Buah Kesetiaan Politik PKS
Prestasi spektakuler yang diraih PKS dalam Pemilu 2019 membuktikan, corak kepartaian yang dibangun atas dasar kekuatan ideologi dan kaderisasi yang solid masih dapat bertahan dan bahkan semakin menguat.
Prestasi spektakuler yang diraih Partai Keadilan Sejahtera dalam Pemilu 2019 membuktikan, corak kepartaian yang dibangun atas dasar kekuatan ideologi dan kaderisasi yang solid masih dapat bertahan dan bahkan semakin menguat di tengah kepungan arus politik kekuasaan yang dominan.
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dapat dinilai sebagai partai paling spektakuler capaiannya dalam Pemilu 2019. PKS memang bukan pemenang pemilu. Posisinya masih pada barisan tengah perolehan suara, tak jauh beranjak dibandingkan dengan capaiannya pada pemilu-pemilu sebelumnya. Akan tetapi, dalam pemilu kali ini PKS menunjukkan peningkatan proporsi dukungan yang terbesar.
Pada Pemilu 2019, PKS dipilih 11.493.663 pemilih. Jumlah dukungan sebesar itu menempatkan PKS pada urutan ke-6, di bawah rivalnya, Partai Nasdem, PKB, Golkar, Gerindra, dan PDI-P. Namun, dibandingkan dengan capaian partai ini pada Pemilu 2014, terjadi tambahan dukungan sangat signifikan, yaitu sebesar 3.013.459 suara atau 35,5 persen.
Proporsi itu jauh lebih besar dari yang diperoleh oleh Partai Gerindra, partai politik yang juga mendapatkan proporsi lonjakan suara besar (19,2 persen). Proporsi tambahan suara PKS juga masih jauh di atas proporsi tambahan suara yang diperoleh pemenang pemilu, PDI-P (14,2 persen).
Lonjakan dukungan pemilih sebesar itu menjadi suatu keistimewaan yang tak dialami partai politik lain. Padahal, jalan politik yang dilalui PKS belakangan ini tak mudah. Berbagai persoalan menyertai partai itu yang sejak Pemilu 1999 berlaga dalam persaingan perebutan pengaruh pemilih.
Jalan politik yang dipilih, menjadi partai yang berkiprah di luar pemerintahan, misalnya, secara langsung menempatkan PKS sebagai oposisi. Dalam posisi itu, lima tahun secara Pemilu 2014 dilalui PKS tanpa bersinggungan langsung dengan kekuatan kapital negara. Berbeda dengan partai-partai lain, terutama koalisi partai politik pendukung presiden yang berbagi jatah posisi kementerian dan pejabat negara, PKS berada di luar arena kekuasaan. Dapat dikatakan, selama itu, PKS hanya bertopang pada kekuatan kapital internal yang disokong ikatan kader kepartaian.
Tidak hanya berada di luar arena kekuasaan, dalam kurun waktu yang dilaluinya, PKS dihadapkan pada problem perpecahan internal. Pada periode inilah, keberadaan faksi-faksi kepentingan, yang sering dirujuk sebagai faksi ”Keadilan”, terdiri dari kalangan konservatif seperti Hilmi Aminuddin (mantan Ketua Majelis Syuro), Salim Segaf Al’Jufri (Ketua Majelis Syuro), dan Sohibul Iman (Presiden PKS), berkonflik dengan faksi ”Sejahtera”, yang dikenal sebagai kalangan muda seperti Anis Matta (mantan Presiden PKS, 2013-2015), Fahri Hamzah, dan Mahfudz Siddiq. Konflik tersebut tergambar dalam pemecatan Fahri Hamzah dari keanggotaan dan aktivitas politiknya di DPR.
Persoalan kepartaian bukan kali ini saja dihadapi PKS. Dalam periode kepemimpinan Luthfi Hasan Ishaaq (2010-2015), PKS juga mengalami persoalan terkait dengan keterlibatan Luthfi Hasan dalam kasus suap kuota impor daging sapi tahun 2013. Pamor partai yang semula diidentikkan sebagai partai yang ”bersih” tersebut sontak runtuh.
PKS saat itu terancam tersingkir dalam persaingan pemilih. Namun, menariknya, sejak pergantian Luthfi Hasan ke Anis Matta pada 1 Februari 2013, PKS masih dapat bertahan dalam Pemilu 2014. Bahkan dalam pemilu tersebut, PKS membalikkan banyak prediksi yang memandang suram performa politik partai ini. Justru saat itu, PKS mampu meningkatkan jumlah dukungan pemilih hingga 273.249 (3,33 persen).
Dari berbagai persoalan yang dihadapi, tampaknya justru di saat itu pula PKS semakin perkasa, mampu meningkatkan kekuatan elektoralnya. Menarik dikaji, kekuatan apa saja yang dimiliki partai sehingga dari waktu ke waktu tetap berperan agresif di tengah persoalan-persoalan yang dihadapi.
Satu kekuatan yang dimiliki PKS adalah modal ideologi kepartaian yang terbangun sangat kokoh. Dalam tipologi kepartaian yang dibangun oleh Gunther dan Diamond (2003), karakteristik semacam ini hanya dimiliki tipe partai berbasis massa kader (mass-based parties).
Dirk Tomsa dalam karyanya, Party Politics in Southeast Asia (2013), menempatkan PKS sebagai satu-satunya partai politik di Indonesia yang berada dalam kelompok partai fundamentalist-religious dan model denominational parties. Partai-partai politik lainnya di negeri ini, seperti PDI-P, Gerindra, Demokrat, dan beberapa lainnya lebih banyak terbangun sebagai personalistic parties.
Sebagai partai hibridasi fundamentalist-religious dan model denominational parties, kekuatan utama partai jelas terletak pada kekuatan ideologi yang melekat pada setiap massa kader. Sekalipun memiliki sosok-sosok kader partai yang berkarakter politik kuat, PKS tidak banyak ditopang oleh kekuatan tersebut. Gambaran itu pula yang melekat kuat pada hasil survei Pemilu 2019.
Hasil survei secara tegas menyatakan bahwa kekuatan ideologi dan cerminannya dalam program-program kepartaian menjadi rujukan para pemilih PKS. Kedua aspek merupakan alasan terbesar, mengambil proporsi hingga di atas separuh jumlah pemilihnya, dan jauh di atas kekuatan sosok-sosok pimpinan partai. Hasil survei menunjukkan, hanya 1,6 persen yang memilih PKS oleh karena daya tarik ketua umum, serta 6,8 persen berdasarkan daya tarik sosok-sosok anggota legislatif partai (Grafik).
Kekuatan ideologi dan kekaderan inilah yang menjadi basis pelebaran penetrasi politik elektoral PKS. Hanya saja, terdapat pandangan lain yang menempatkan keunggulan PKS kali ini tak lepas pula dari persoalan yang dihadapi partai politik lain, terutama partai yang mengusung nilai keislaman.
Hasil pemilu lalu, misalnya, menempatkan PPP dan PBB, dua partai politik yang mengusung keislaman, dalam kondisi keterpurukan. Dalam Pemilu 2019, capaian PPP merosot hingga 1,8 juta. Begitu pula PBB, kehilangan hingga 725.000 pemilih dibandingkan dengan pemilu sebelumnya. Suara-suara pemilih kedua partai yang merosot itu diperkirakan berlabuh pada PKS.
Apa pun perdebatannya, hasil Pemilu 2019 menguji sekaligus menjadikan PKS sebagai contoh dari kejayaan partai yang dibangun lewat kekuatan ikatan ideologi. Dengan segenap kekuatan yang dimiliki, kader-kader partai yang berkarakteristik pendidikan ataupun sosial ekonomi kelompok menengah ke atas itu terbangun solid. Hal ini menjadi sisi lebih yang tak banyak dimiliki partai politik lainnya.
Hanya saja, segenap kekuatan itu masih teruji pada kader generasi kekinian partai. Memang secara demografis, usia pemilih PKS berkumpul pada kelompok usia menengah produktif, kalangan berusia 31-52 tahun. Pada kategori kelompok usia Milenial Dewasa (31-40 tahun) hingga Generasi X (41-52 tahun) itulah, dua pertiga pemilih PKS bertumpu. Sebaliknya, pada kelompok usia muda, terutama mereka yang terkategorikan sebagai pemilih pemula (berusia kurang dari 22 tahun) masih sangat rendah (2,2 persen). Bahkan, dibandingkan dengan partai politik lainnya, tetap termasuk yang terendah.
Dalam kalkulasi sederhana, besaran pemilih mula itu lebih banyak dihasilkan dari perluasan dukungan pemilih yang bersifat tertutup, dari kalangan yang selama ini sudah lekat dengan PKS. Jelas, kondisi ini menjadi alarm sekaligus ujian masa depan perluasan kader politik partai.
(Bestian Nainggolan, Litbang Kompas)