Buaya Putih di Balik Asrinya Setu Babakan
Mitos keberadaan buaya putih yang hidup dalam lintasan waktu perlahan mengantarkan Setu Babakan menjadi cagar budaya masyarakat Betawi yang tetap asri hingga kini.
Konon, di Setu Babakan tersiar kabar kemunculan siluman buaya putih yang asalnya dari Sungai Ciliwung. Mitos yang hidup dalam lintasan waktu perlahan mengantarkan Situ Babakan menjadi cagar budaya masyarakat Betawi yang tetap asri hingga kini.
Setu Babakan pada mulanya adalah lokasi penampungan air alami di wilayah pinggiran Jakarta yang masih dikelilingi tetumbuhan. Warga sekitar mengandalkan setu ini sebagai sumber air untuk kehidupan sehari-hari dan perkebunan mereka. Selain sumber air, warga tak menampik adanya siluman buaya putih yang kadang muncul di sana (Sejarah Perkampungan Betawi Setu Babakan, 2014).
Menurut kisah yang kerap diturunkan, siluman buaya putih merupakan wujud dari seorang gadis setempat. Ia menunggu kekasihnya pulang merantau dan menolak dijodohkan dengan pria lain.
Akhirnya, ia menghanyutkan diri di danau, tetapi ditolong dan diubah menjadi buaya putih oleh para ”penunggu” di sana berkat ketulusan gadis itu. Dari sanalah, dalam upacara pernikahan budaya Betawi, roti buaya menjadi lambang kesetiaan terhadap pasangan hidup (Folklor Betawi: Kebudayaan dan Kehidupan Orang Betawi, 2012).
Lain lagi dengan kisah yang dimuat dalam majalah Seribu Wajah Jakarta (1984) yang mewawancarai Nenek Maryama. Selaku saksi yang kerap berjumpa dengan sosok legenda itu, Nenek Maryama mengaku bahwa buaya putih juga sering ditemani harimau hitam.
Setu Babakan menjadi salah satu setu yang belum memiliki sertifikasi lahan.
Cara memanggilnya pun ia tahu, yakni dengan menyediakan tiga telur rebus dan kopi manis, lalu dibungkus ke dalam kain dan dicemplungkan ke dalam sungai.
Mengenai mitos buaya putih atau harimau hitam, ada warga yang masih percaya dan ada yang tidak. Rachmad ”Bening” Sadeli, pemilik Pusat Pustaka Betawi, menuturkan, adanya mitos tersebut tentu tidak dapat dibuktikan dan cenderung dibiarkan saja oleh warga. Hal jauh lebih penting ialah budaya Betawi yang tetap bisa lestari di kawasan Setu Babakan.
Anggapan Rachmad bisa saja tepat karena di balik legenda rakyat setempat, pasti ada nilai yang diperjuangkan. Kelestarian Setu Babakan dan budaya Betawi menjadi warisan yang penting bagi masyarakat Betawi saat ini.
Mitos dan identitas
Mitos buaya putih dan harimau hitam yang tersiar di kalangan urban Jakarta mengambil peran dalam penunjukan Setu Babakan sebagai cagar budaya kala itu. Setu yang menjadi salah satu muara Sungai Ciliwung dan mitosnya itu menjadi daya tawar lebih untuk menggantikan kawasan Condet.
Bukan berarti karena adanya mitos lantas Setu Babakan langsung terpilih, melainkan mitos menjadi pemeran dalam menjaga keasrian dan kelestarian alam di wilayah sekitarnya.
Gagasan mengenai peran mitos dalam kelestarian alam sesungguhnya sudah dilontarkan sejak lama di bidang antropologi modern. Claude Levi-Strauss (1908-2009), seorang filsuf, antropolog, dan etnolog Perancis, mencetuskan ide ini dalam sesi kuliah-kuliah yang diberikannya sepanjang 1951-1982 dan dibukukan dalam Anthropology and Myth (1987).
Melalui kacamata antropolognya, Levi-Strauss melihat mitos atau dongeng sebagai unsur awal terbentuknya suatu budaya. Dari mitos yang ditularkan dalam budaya tutur, budaya terbentuk dan diwariskan. Hanya saja, budaya dalam pemikiran Levi-Strauss tidak sebatas masyarakat atau sekumpulan orang saja, tetapi juga berlaku bagi tempat dan benda mati.
Dengan pisau analisisnya, Levi-Strauss membedah mitos (Latin: miteme) sebagai cerita yang abadi dan selalu mengandung makna yang jauh lebih penting dari isi cerita dalam mitos itu. Singkatnya, masyarakat menciptakan mitos karena ingin menyampaikan nilai penting untuk diturunkan kepada generasi selanjutnya. Hasilnya, cerita imajinatif dan terkadang mistis menjadi produk budaya yang diwariskan.
Fenomena adanya mitos buaya putih dan harimau hitam mungkin bisa dinalar secara logis. Misalnya, buaya albino yang dulu pernah muncul di Sungai Ciliwung, lalu disangka siluman atau jaguar (kucing hitam besar) yang disangka siluman harimau hitam. Artinya, upaya rasionalisasi atas mitos tentu ada dan tidak ada larangan untuk hal itu.
Akan tetapi, tetap saja selalu ada cerita hingga berita mengenai kemunculan siluman-siluman yang menghuni Sungai Ciliwung di Jakarta. Biasanya, mitos ini kembali muncul ketika ada warga sekitar yang mengaku melihat sosok buaya di aliran Sungai Ciliwung, kemudian dihubung-hubungkan ke mitos siluman buaya putih. Berarti, mitos ini tetaplah abadi dan akan diteruskan dari masa ke masa.
Strategi
Setu Babakan saat ini bukan sekadar tempat penampungan air alami yang sarat unsur mitos. Lokasi ini beralih menjadi simbol identitas dan upaya bertahan masyarakat Betawi dari gempuran modernisasi kota. Wajar saja, kampung-kampung asli warga Betawi di Jakarta telah digusur karena pembangunan gedung atau pusat perkantoran (Setu Babakan: Dari Penelitian ke Penelitian, 2014).
Awalnya, lokasi cagar budaya Betawi diprioritaskan ke wilayah Condet lantaran di sanalah tumbuh buah condet yang diyakini sebagai buah asli Jakarta. Lambat laun, tanda-tanda masalah mulai bermunculan. Mulai dari keberlangsungan tanaman dan buah condet hingga masyarakat sekitar Condet yang tidak memberikan perhatian lebih pada cagar budaya ini.
Akhirnya, setelah proses yang cukup panjang (1998-2000), cagar budaya Betawi dialihkan ke Setu Babakan. Kendati Perkampungan Budaya Betawi di Setu Babakan adalah hasil rekonstruksi, nyatanya strategi ini cukup ampuh untuk tetap mempertahankan identitas Betawi di Jakarta.
Menurut analisis Yahya Andi Saputra dkk, melalui bukunya, Setu Babakan: Dari Penelitian ke Penelitian (2014), terbangunnya perkampungan Betawi di Setu Babakan bukanlah ide asli (genuine) dari masyarakat setempat.
Gagasan perkampungan Betawi asalnya justru dari para elite Betawi (orang-orang Betawi yang memiliki modal) dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Maka, ada semacam pengondisian yang disengaja sehingga identitas tetap terjaga.
Strategi para elite Betawi dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tampaknya tepat dengan kondisi Setu Babakan kini cukup bergairah. Setu yang letaknya di Kelurahan Srengseng Sawah, Jakarta Selatan, ini sudah hampir 20 tahun menjadi kawasan pusat Perkampungan Budaya Betawi.
Penetapan lokasi cagar budaya ini berlaku sejak Gubernur Sutiyoso menerbitkan SK Gubernur Nomor 92 Tahun 2000 tentang Penataan Lingkungan Perkampungan Budaya Betawi.
Menurut laporan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN 2018, Situ Babakan menjadi salah satu dari 31 situ prioritas. Langkah lanjut utama yang dilakukan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN ialah mengurus sertifikat kepemilikan dan fungsi di setu seluas 32 hektar ini. Saat ini, menurut data Litbang Kompas, Setu Babakan menjadi salah satu setu yang belum memiliki sertifikasi lahan.
Kendati demikian, kawasan Setu Babakan yang berhasil menjadi kawasan khusus budaya Betawi patut diapresiasi. Para pengunjung dapat datang dan menikmati sekaligus belajar tentang budaya Betawi. Galeri, rumah adat, panggung seni, serta berbagai pertunjukan seni adat Betawi yang sering ditampilkan menjadi daya tarik lebih pengunjung.
Apalagi, masyarakat sekitar dapat memperoleh keuntungan ekonomi dari keberadaan obyek wisata Jakarta ini. Biasanya, setiap peringatan ulang tahun Jakarta, kawasan ini ramai dikunjungi. Penjual bir pletok, kerak telor, dodol betawi, penjaja cenderamata, hingga tukang parkir turut memperoleh keuntungan.
Bisa jadi, perjalanan Setu Babakan yang semula kawasan alam yang mistis lalu berubah menjadi bagian kompleks cagar budaya dapat diterapkan dalam upaya pelestarian alam. Di Indonesia, masih banyak kawasan konservasi yang dibiarkan tidak terawat dan mungkin akan terancam keberadaannya. Pembelajaran penting didapatkan dari Setu Babakan: mitos dan budaya menjadi modal menjaga kelestarian alam. (LITBANG KOMPAS)