Singapura memahami keinginan Indonesia untuk mengelola wilayah udaranya, di sisi lain Indonesia diminta memahami kebutuhan strategis Singapura.
Oleh
·2 menit baca
Bertahun-tahun pemerhati dunia penerbangan Tanah Air mengamati penguasaan wilayah informasi penerbangan (FIR) di Kepulauan Riau oleh Singapura.
Penguasaan ini sesuatu yang ganjil dan juga mengganggu rasa kedaulatan. Dengan kondisi itu, setiap pergerakan pesawat di wilayah kedaulatan Indonesia harus mendapat izin dari otoritas penerbangan Singapura. Ini berlangsung sejak 1946, jauh sebelum Singapura lahir, dan Indonesia belum menjadi anggota Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO). Saat itu, ICAO mewakilkan pengelolaan lalu lintas penerbangan kepada kolonialis Inggris di Singapura.
Bahwa terus berkelanjutan hingga saat ini, sebenarnya hal itu bertentangan dengan Konvensi Chicago tahun 1944 yang menegaskan: kedaulatan negara di wilayah udaranya bersifat penuh (complete) dan eksklusif. Jadi, Indonesia berhak penuh atas wilayah udaranya. Bahwa sebelum itu ada pengelolaan oleh negara lain, hal itu bersifat sementara.
Mengapa wilayah informasi penerbangan atau flight information region (FIR) di Kepulauan Riau ”bablas” sampai sekarang? Ada beragam faktor yang menjadi alasannya. Dari buku FIR di Kepulauan Riau yang ditulis Kepala Staf TNI AU 2002-2005 Marsekal (Purn) Chappy Hakim, tersirat bahwa ada ”pertimbangan keselamatan penerbangan internasional”, di mana mungkin RI belum cukup memiliki sumber daya—baik SDM maupun infrastruktur—untuk mendukungnya. Kedua, RI menenggang kebutuhan Singapura akan ruang udara dalam semangat ”menjaga hubungan baik antarnegara tetangga”.
Meski sikap seperti itu baik, dari satu sisi Singapura bisa disebut ”kebablasan”. Misalnya dengan menetapkan wilayah bahaya (danger area) di wilayah Indonesia, yang tak boleh digunakan negara lain, termasuk Indonesia, agar Singapura bisa leluasa menyelenggarakan latihan militer.
Menanggapi masalah itu, pemerintah melalui Instruksi Presiden pada 8 September 2015 menyatakan ingin mengambil alih pengelolaan FIR di wilayah Indonesia. Namun, setelah empat tahun, belum ada kemajuan nyata.
Kita kembali mendengar lagi soal FIR Kepulauan Riau saat Presiden Joko Widodo melawat ke Singapura dan bertemu PM Lee Hsien Loong, Selasa (8/10/2010), bahwa masalah FIR akan dirundingkan lagi secara intensif. Namun, satu hal tampaknya ”prinsip saling pengertian” dan ”bertetangga baik” tetap tak bisa dikesampingkan. Singapura memahami keinginan Indonesia untuk mengelola wilayah udaranya, di sisi lain Indonesia diminta memahami kebutuhan strategis Singapura.
Kedua negara harus bisa bekerja sama secara terbuka dan konstruktif, seperti ditulis harian The Straits Times. Satu hal yang diminta Singapura adalah pengakuan atas hak Singapura melakukan latihan militer di Laut China Selatan sesuai Pasal 51 Konvensi PBB Tahun 1982 tentang Hukum Laut Internasional, serta memahami kepentingan Singapura terkait masa depan Bandara Changi.
Kita berpandangan, sejauh ada saling percaya, masing-masing tulus, dan saling menghormati, tidak ada hal yang tak bisa diselesaikan.