Jauhkan Anak dari Unjuk Rasa, Mereka Rentan Diprovokasi
Larangan anak berunjuk rasa bukan berarti anak dilarang menyampaikan pendapatnya. Negara menjamin anak bebas menyatakan pandangannya, tetapi penyampaiannya harus disesuaikan dengan usianya.
Oleh
Ayu Pratiwi
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Anak rentan diprovokasi. Oleh karena itu, tak sepantasnya mereka diajak berpolitik, apalagi terlibat dalam unjuk rasa. Undang-Undang Perlindungan Anak juga telah mengamanahkan setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari penyalahgunaan dalam kegiatan politik.
”Sebenarnya, anak-anak tidak diizinkan untuk berpolitik. Tugas anak adalah belajar. Anak wajib sekolah hingga lulus SMA,” kata Deputi Bidang Tumbuh Kembang Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Lenny L Rosalin pada acara diskusi membahas unjuk rasa yang melibatkan pelajar SMA/SMK akhir September 2019, di kantor Kementerian PPPA, di Jakarta, Jumat (11/10/2019).
Pasal 15 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak menyatakan, anak seharusnya dilindungi dari pelibatan dalam kerusuhan sosial atau peristiwa yang mengandung unsur kekerasan serta penyalahgunaan politik.
”Anak adalah grup yang paling rentan diprovokasi, dihasut, serta memperoleh informasi yang belum tentu benar,” ujar Lenny.
Diberitakan sebelumnya, pemicu pelajar ikut berunjuk rasa akhir September hingga awal Oktober 2019 adalah ajakan demonstrasi yang beredar di media sosial.
”Tidak semua anak dapat informasi yang pasti mengenai apa yang sebenarnya ingin diperjuangkan melalui aksi demo itu. Tidak semua peserta demo menyampaikan secara eksplisit substansi dari undang-undang yang kontroversial itu. Tampaknya, itu semua adalah setting-an. Ini terorganisasi, tetapi yang mengorganisasi tidak menampakkan dirinya. Anak-anak itu hanya ikut-ikutan temannya, tanpa tahu tujuannya,” tutur Lenny.
Larangan anak berunjuk rasa bukan berarti anak dilarang menyampaikan pendapatnya. Menurut dia, negara menjamin anak bebas menyatakan pandangannya mengenai segala hal yang menyangkut anak itu. Hak tersebut dijamin dalam Pasal 24 UU No 35/2014 dan Konvensi Hak Anak yang ditandatangani negara peserta Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
”Tetapi, cara anak menyampaikan pendapatnya harus sesuai dengan usianya. Dalam Pasal 56 UU No 35/2014, pemerintah daerah juga didorong agar membantu anak bagaimana menyampaikan pendapatnya. Upaya itu disesuaikan usia dan tingkat kemampuan agar tak menghambat perkembangan anak,” tambahnya.
Salah satu contohnya adalah Forum Anak Nasional. Forum itu dibina oleh pemerintah dan menjadi tempat anak berkumpul dan berorganisasi. Forum ada pada tingkat desa, kecamatan, kelurahan, kota, provinsi, hingga level nasional. Di sana, anak dilatih untuk menyampaikan pendapatnya.
Saat ini, menurut Lenny, ada sekitar 10 juta anak yang tergabung dalam Forum Anak Nasional. Padahal, jumlah anak Indonesia sekitar 80 juta orang. Masih minimnya anak yang masuk forum karena forum belum tersedia di seluruh wilayah.
”PR (pekerjaan rumah) kita adalah bagaimana mengajak anak bergabung supaya mereka paham dengan hak mereka untuk menyuarakan pendapatnya,” katanya.
Anak direhabilitasi
Terkait unjuk rasa pelajar akhir September lalu, Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Susanto mengatakan, saat ini, ada tujuh anak peserta unjuk rasa yang dibina di Balai Rehabilitasi Sosial Anak yang Memerlukan Perlindungan Khusus Handayani, Jakarta Timur. Mereka diduga melempar batu dan merusak fasilitas umum saat unjuk rasa berlangsung.
Selain itu, KPAI juga telah menjalin kesepakatan dengan sejumlah sekolah di Jakarta, Jawa Barat, dan Banten, yang muridnya ikut berunjuk rasa, agar tidak mengeluarkan pelajar peserta unjuk rasa tersebut.
”Anak perlu diberikan literasi bagaimana menyampaikan ide atau gagasannya secara nyaman, proporsional, dan melalui mekanisme yang tepat. Mereka juga berhak diberikan perlindungan dari penyalahgunaan kegiatan politik,” ucap Susanto.