Merugi Setelah Situ Menjadi Perumahan
Alih fungsi puluhan situ di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi, tak hanya merugikan warga tapi juga pemerintah, tetapi pengembang perumahan yang menguasai situ tersebut
JAKARTA, KOMPAS - Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Alih fungsi puluhan situ di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi, tak hanya merugikan warga tapi juga pemerintah. Bahkan pengembang perumahan yang menguasai situ dengan alas hak alas hak berupa sertifikat hak milik (SHM) dan hak guna bangunan (HGB) juga ikut merugi.
Sertifikat alas hak di atas situ membuka jalan beralihnya fungsi situ dari kawasan konservasi dan pengendali banjir menjadi perumahan. Situ Ciming di Depok dan Situ Asem di Kota Bogor, merupakan sebagian situ di Jabodetabek yang beralih fungsi menjadi perumahan sejak 1980-an. Perubahan fungsi kedua situ tersebut bermula dari penerbitan HGB di areal situ hingga kemudian didirikan perumahan di atasnya.
Alih fungsi Situ Ciming menjadi perumahan telah menghilangkan areal resapan air. Akibatnya, perumahan yang berdiri di atas areal bekas situ itu pun rawan banjir. Pemerintah daerah setempat pun terbebani membangun infrastruktur pengendali banjir di permukiman itu dengan biaya tak sedikit, mencapai Rp 3 miliar.
Kompas bersama Litbang Kompas menemukan dari 208 situ yang dikelola dan dipelihara Kementerian Pekerjaan Umum Perumahan Rakyat, ada 30 situ di antaranya yang terbit SHM dan HGB. Beberapa SHM dan HGB itu ada yang atas nama perseorangan dan juga perusahaan pengembang. Temuan itu diperoleh dari pemeriksaan silang setiap titik kordinat lokasi situ di Jabodetabek itu dengan data penerbitan sertifikat di peta bidang tanah di situs atrbpn.go.id.
Situ Ciming di Kelurahan Abadijaya, Kecamatan Sukmajaya, Kota Depok, kini dikenal sebagai Perumahan Mekar Perdana. Jejak situ masih tampak pada lingkungan perumahan seluas hampir 1 hektar dengan topografi menyerupai mangkuk. Perumahan dikelilingi tebing setinggi 4-5 meter. Di atas tebing dipadati permukiman dan sebagian tanah kosong.
Tak kurang dari 300 rumah berdiri di perumahan Mekar Perdana yang dibangun PT Antar Samudra Perdana tahun 1986. Dari kopi HGB yang diperoleh Kompas, diketahui perumahan berdiri di atas lahan yang dicatat dalam dokumen HGB Nomor 1, dan diterbitkan pada 15 Maret 1986.
Pada 2012, Direktur PT Antar Samudra Perdana, Syamsul Bahri Athar, menyerahkan prasarana dan sarana umum di perumahan itu kepada Pemerintah Kota Depok dalam berita acara Nomor 593/1052/BA PSU/DPPKA/VIII/2012. Sejak itu, menurut sejumlah warga perumahan, banjir di lingkungan tempat tinggal mereka baru dapat diatasi karena adanya bantuan pembangunan infrastruktur pengendali banjir dari Pemkot Depok.
Baca juga : Situ Jadi Perumahan, Banjir Pun Melanda
Dua kali Kompas mendatangi rumah Syamsul di kawasan Jakarta Selatan, tetapi Syamsul tak pernah dapat ditemui. Pesan permohonan konfirmasi yang Kompas tinggalkan di rumahnya pun tidak memperoleh jawaban.
Menurut Ketua RW di Perumahan Mekar Perdana Sulaeman, sejak tahun 2005 banjir di lingkungan tempat tinggalnya bertambah parah dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Saat itu, areal tanah kosong di sekitar Perumahan Mekar Perdana mulai dibangun perumahan, tempat ibadah, hingga fasilitas umum lainnya. Akibatnya, seluruh air pembuangan dari hunian di sekitarnya mengalir ke Perumahan Mekar Perdana yang berada paling rendah.
Banjir kala itu juga diperparah dengan adanya luapan aliran air dari Kali Cijantung. Sebagai areal bekas situ, perumahan ini berada tepat di samping Kali Cijantung.
Ketinggian banjir kala itu, menurut Sulaeman, bisa mencapai 2 meter. Sepeda motor warga pun pernah ada yang hanyut terbawa banjir. Namun sejak dibangun tanggul dan rumah pompa secara bertahap selama 2012-2015 oleh Pemkot Depok, perumahan ini sudah tidak banjir besar lagi. “Sejak 2015 sampai sekarang, perumahan ini tidak pernah terendam banjir lagi,” jelasnya.
Ketinggian banjir kala itu, bisa mencapai 2 meter. Sepeda motor warga pun pernah ada yang hanyut terbawa banjir.
Kepala Seksi Operasi dan Pemeliharaan, Bidang Sumber Daya Air, Dinas PUPR Depok, Bakhtiar Ardiansyah mengaku, setidaknya Rp 3 miliar sudah dikeluarkan Pemkot Depok untuk membangun pengendali banjir di Perumahan Mekar Perdana. “Yah sebenarnya, logikanya, negara rugi. Namun jika kita tidak akomodir, tidak kita turap, itu kan warga kita. Mereka bayar pajak ke kita juga. Serba salah juga,” jelasnya.
Bakhtiar pun mengungkapkan, Situ Ciming bukan satu-satunya situ yang mengalami alih fungsi atau hilang. Ada 4 situ lainnya di Depok yang juga sudah hilang, yakni Situ Bunder, Situ Telaga Subur, Situ Lembah Gurame, dan Situ Cinere. “Situ Telaga Subur itu masih ada air, tetapi di atasnya ada rumah makan apung. Kondisinya sudah sertifikat,” jelasnya.
Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Depok 2012-2023, Situ Ciming dan 4 situ yang hilang tidak diatur pemanfaatan ruangnya. Dari kelima situ itu pun, hanya Situ Ciming yang masih terdata titik kordinat lokasinya di Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung-Cisadane, Kementerian PUPR, sedangkan 4 situ lainnya sudah tak terdata.
Situ Asem
Sementara Situ Asem di Kelurahan Cibadak, Kecamatan Sareal, Kota Bogor, telah menjadi perumahan sejak 1998. Situ Asem beralih fungsi menjadi Perumahan Tamansari Persada
Latifah (55), salah seorang penghuni Perumahan Tamansari Persada mengungkapkan, sudah bertahun-tahun tempat tinggalnya menjadi langganan banjir. Ia harus memperkuat rumahnya dengan menambah tiang-tiang penyangga karena tanahnya bergeser. Jalan di depan rumahnya pun ambles hingga akhirnya harus ditutup agar tak dilalui kendaraan.
Baca juga : Situ Hilang Bencana Datang
Latifah (55), salah seorang penghuni Perumahan Tamansari Persada yang berdiri di bekas Situ Asem mengungkapkan, pada 2007 saat membeli rumah, ia tak memperoleh informasi bahwa kompleks perumahan itu bekas situ. Rumah itu ia beli dari pengembang PT Wika Realty.
Setelah beberapa tahun tinggal di perumahan itu, Latifah baru memperoleh informasi dari warga sekitar bahwa kompleks tempat tinggalnya itu bekas situ. Sudah bertahun-tahun tempat tinggalnya menjadi langganan banjir. Bahkan ia harus memperkuat rumahnya dengan menambah tiang-tiang penyangga karena tanahnya bergeser. Jalan di depan rumahnya pun ambles hingga akhirnya harus ditutup agar tak dilalui kendaraan.
“Setelah pindah baru tahu (tempat tinggalnya bekas situ),” ucapnya.
Kepala Seksi SDA Wilayah II Dinas PekerjaanUmum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Kota Bogor, Andi Siswandi pun mengungkapkan, sejak pengembang menyerahkan fasilitas sosial dan fasilitas umum perumahan ke Pemkot Bogor pada 2018, penanganan banjir di perumahan itu menjadi pekerjaan rumah. Setidaknya dibutuhkan biaya Rp 1,7 miliar untuk mengendalikan banjir di Perumahan Tamansari Persada, salah satunya meningkatkan kapasitas drainase yang tak memadai.
Sebelumnya pada 2014-2015, Dinas PUPR Bogor juga telah melakukan pengerukan di bendungan pengendali banjir sebagai upaya mengurangi banjir di perumahan tersebut. Menurut Andi, pengerukan itu memakan biaya Rp 150-200 juta.
Setidaknya dibutuhkan biaya Rp 1,7 miliar untuk mengendalikan banjir di Perumahan Tamansari Persada, salah satunya meningkatkan kapasitas drainase yang tak memadai.
Saat dikonfirmasi Sekretaris Perusahaan PT Wika Realty Juni Ermawan mengatakan bahwa dirinya tidak mengetahui sejarah Situ Asem yang kini telah menjadi perumahan Tamansari Persada, Bogor.
“Itu kan udah lama banget kali ya. Jadi saya juga enggak begitu tahu sejarahnya. Mungkin perlu saya telusuri dulu,” kata Juni saat dihubungi pada Rabu (9/10/2019) dari Jakarta.
Juni menceritakan bahwa saat pembelian lahan dimulai sejak sekitar pertengahan 1990-an, area tersebut tidak hanya berbentuk tanah darat. “Ada yang berbentuk rawa-rawa. Ada yang berbentuk tegalan,” kata Juni.
Juni meyakini bahwa cara perolehan lahan tersebut melalui proses yang legal. Menurutnya, Wika Realty membeli tanah dari sebuah perusahaan dengan luas setidaknya 20 hektar yang sudah berstatus sertifikat hak guna bangunan.
Baca juga : “Waktu Ada Situ, Sumur Enggak Mudah Kering”
“Pasti (legal). Apalagi kita perusahaan BUMN ya. Tetapi secara umum, kalau sudah terbit sertifikat pasti sudah lewat jalur yang sudah sesuai dengan persyaraatan yang ditentukan oleh BPN,” kata Juni.
Merugikan Pengembang
Terbitnya SHM dan HGB di atas areal situ juga menimbulkan masalah baru bagi pengembang. PT Hana Kreasi Persada, yang dimenangkan Pengadilan Tinggi Banten sebagai pemilik lahan di Situ Kayu Antap, Tangerang Selatan, hingga saat ini, tidak juga bisa memperoleh Izin Mendirikan Bangunan (IMB) untuk membangun perumahan di areal itu.
Direktur Utama PT Hana Kreasi Persada, Hendrik Kadarusman mengungkapkan, pada 2010, pihaknya telah dimenangkan oleh Pengadilan Negeri Serang, sebagai pemilik lahan yang didata pemerintah sebagai Situ Kayu. HGB yang dimiliki pun dinyatakan sah. Apalagi HGB yang dimiliki itu berasal dari SHM atas nama Tadjuddin yang diterbitkan tahun 1974.
Namun, lanjutnya, pada 2011 Pemerintah Kota Tangsel malah memasukkan areal lahannya itu dalam zona biru atau air di dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Tangsel tahun 2011-2031.
“Padahal sebelumnya, lahan kami masuk zona kuning, permukiman. Kami pun sudah memperoleh IMB pagar saat (Tangsel) masih masuk Kabupaten Tangerang. Giliran sekarang, IMB untuk membangun rumah tidak juga diterbitkan oleh Pemkot Tangsel,” jelasnya.
Pada 2011 Pemerintah Kota Tangsel malah memasukkan areal lahannya itu dalam zona biru atau air di dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Tangsel tahun 2011-2031.
Upaya hukum pun telah ditempuh Hendrik agar pihaknya dapat memperoleh IMB, dengan menggugat Pemkot Tangsel di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Serang belum lama ini. Dalam gugatan itu, Hendrik menuntut agar Badan Koordinasi Perencanaan Ruang Daerah Tangsel dapat menerbitkan rekomendasi sebagai syarat penerbitan IMB. Gugatan itu pun dikabulkan sepenuhnya oleh majelis hakim, seperti tertuang dalam putusan Nomor 01/P/FP/2019/PTUN-SRG.
Namun hingga kini, Erwin Kallo selaku kuasa hukum Hendrik mengungkapkan, Pemkot Tangsel tidak juga mematuhi putusan pengadilan. Sebaliknya, kliennya dibiarkan terkatung-katung sehingga tidak bisa memanfaatkan lahan yang dimiliki. “Kalau seperti ini kan modal klien saya di lahan ini jadi idle (terhenti). Ini sangat mengganggu investasi,” jelasnya.
Staf Bagian Hukum Pemkot Tangsel, Teten Haryanto, dengan didampingi Sekretaris Dinas PU Tangsel Aries Kurniawan menyampaikan, tidak diterbitkannya IMB di atas lahan Situ Kayu Antap itu sudah terjadi sejak Tangsel belum berdiri dan Tangerang masih menjadi bagian dari Provinsi Jawa Barat. “Sampai sekarang juga tidak ada IMB yang diterbitkan, baik oleh Tangsel maupun Jabar,” jelasnya.
Lewat RDTR pula, Kementerian Agraria Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional ternyata kini tengah mengendalikan penyusutan dan hilangnya situ-situ.
Direktur Jenderal Pengendalian Pemanfaatan Ruang dan Penguasaan Tanah Kementerian ATR/BPN Budi Situmorang mengatakan, pemerintah tentu menghargai hak keperdataan warganya terkait kepemilikan bidang tanah. Namun, untuk menjaga agar proses penyusutan situ tidak semakin parah, pemerintah juga bertanggung jawab dengan mengendalikannya melalui Perda RDTR.
“Upaya pencegahan perubahan fungsi itu kita masukkan di ketentuan zonasinya. Contohnya, tidak mengubah fungsi lindung yang ada di pinggir danau dan tidak mengubah batas danau. Supaya tidak menyusut lagi,” kata Budi.
Budi mengatakan, pihaknya akan terus mendorong pemerintah kabupaten/kota yang memiliki situ untuk membuat perda RDTR di kawasan tersebut.
Jika pemda masih alami hambatan, Kementerian ATR/BPN telah membuat terobosan agar proses pembuatan RDTR yang sejalan dengan konservasi situ berjalan lebih cepat. Dalam hal ini, Budi mengatakan, pihaknya dapat membantu menyusun draf RDTR, termasuk peraturan perizinan setiap zonasinya. “Sejauh ini, kami sudah menyusun draf RDTR untuk 19 situ,” jelasnya.
Menghadapi situ-situ yang telah menjadi perumahan, Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane, Kementerian PUPR, lebih memilih melakukan revitalisasi pada situ-situ yang masih berfungsi normal.
Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane (BBWSCC) Kementerian PUPR selaku pengelola situ di Jabodetabek lebih memilih merevitalisasi situ yang masih berfungsi normal. Dari 208 situ yang dikelola BBWSCC, ada 78 situ yang selesai disurvei dan didata kembali. BBWSCC merevitalisasi dengan mengeruk dan membangun jogging track sebagai sempadan situ, seperti di Situ Pagam, Babakan, dan Pondok Jagung.
Kepala BBWSCC Bambang Hidayat mengatakan, pihaknya hanya bisa mencatat situ yang telah menjadi perumahan. Sebab, situ adalah kekayaan negara sehingga tidak bisa dimiliki perorangan atau korporasi. “Kalau mau mengatasi (revitalisasi situ) ya yang ada saja dulu,” katanya