MATARAM, KOMPAS—Remaja mesti mengonsumsi makanan bergizi seimbang dan terhindar dari anemia. Hal itu bertujuan mencegah terkena berbagai penyakit saat dewasa. Bagi remaja putri, hal itu menjadi bagian penyiapan fisik sebagai calon ibu agar bayi yang dilahirkan tak mengalami tengkes.
"Pencegahan sejak usia dini lebih efektif dibandingkan intervensi kepada ibu hamil dan seribu hari pertama kehidupan," kata pakar gizi Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Anak-anak (Unicef) Airin Rosita di Mataram, Lombok, Nusa Tenggara Barat pada hari Kamis (10/10/2019).
Pencegahan sejak usia dini lebih efektif dibandingkan intervensi kepada ibu hamil dan seribu hari pertama kehidupan.
Ibu hamil dengan anemia berisiko melahirkan bayi kekurangan bobot. Akibatnya, tumbuh kembangnya terhanbat sehingga menghasilkan tengkes (stunting), yaitu tumbuh lebih pendek dan kecil dibandingkan anak-anak seumuran akibat kurang gizi kronis. Selain itu, perkembangan otak anak yang tengkes juga tidak optimal.
Riset Kesehatan Dasar 2018 menyebutkan Indonesia mengalami beban ganda masalah gizi. Sebanyak 32 persen penduduk usia 15-24 tahun menderita anemia. Di saat sama, ada 16 persen anak usia 13-15 tahun yang mengalami obesitas. Penyebabnya ialah kurang mengonsumsi makanan bergizi seimbang. "Mencegah anemia dapat dilakukan dengan banyak memakan protein, sayuran hijau, dan kacang-kacangan," ungkap Airin.
Persoalannya, anak-anak Indonesia tidak memiliki pola makan yang baik. Hal itu ditunjukkan oleh hasil survei kesehatan siswa sekolah berumur 12-17 tahun yang dilakukan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan bersama Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2015. Dalam studi itu terungkap, hanya 30 persen siswa yang menyantap sarapan secara teratur tiap hari.
Lebih memprihatinkan, hanya 5 persen siswa yang konsumsi hariannya mencakup sayur dan buah. Dari aktivitas fisik yang menyehatkan juga cuma 5 persen siswa yang rutin berolahraga. Mayoritas siswa jarang sarapan dan ketika makan isinya tidak bergizi. Bahkan, mayoritas siswa mengaku meminum minuman manis dalam kemasan setiap hari.
Mendekati sekolah
Terkait hal itu, menurut Airin, salah satu solusinya adalah melaksanakan program Aksi Bergizi bekerja sama sekolah-sekolah, yaitu SMP dan SMA sederajat. Proyek rintisan dilakukan di 48 sekolah di Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat dan 62 sekolah di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah.
Para siswa setiap pekan diberi tablet penambah darah. Idealnya adalah satu tablet mengandung 60 miligram besi elemental dan 2.800 mikrogram asam folat. Namun, karena keterbatasan pasokan, pemerintah Indonesia hanya bisa menyediakan tablet dengan kandungan asam folat 400 mikrogram.
Selain itu ada pendidikan gizi remaja dan sosialisasi perubahan perilaku. "Orangtua, petugas kantin, dan komunitas sekitar juga diadvokasi soal gizi baik. Kantin sekolah diubah agar tidak lagi menjual makanan dan minuman instan," papar Airin.
Lintas sektor
Kepala Dinas Pendidikan Lombok Barat Lalu Hendrayadi menjelaskan, program kantin sehat bekerja sama dengan Dinas Kesehatan setempat yang menetapkan standar jenis makanan dan minuman yang boleh dijual. Mi instan, minuman dalam kemasan, dan permen tidak diperkenankan tersedia di kantin sekolah.
Dalam pendidikan gizi ini juga dimasukkan konten pengetahuan kesehatan reproduksi, gerakan keluarga berencana, bahaya narkoba dan zak adiktif lainnya, serta mitigasi bencana. Tujuannya agar siswa ketika tumbuh dewasa sudah dilengkapi wawasan mengenai hal-hal esensial dalam kehidupan mereka.
"Beberapa hal yang perlu diluruskan di masyarakat adalah untuk penyediaan makanan bergizi di sekolah komite sekolah boleh menarik dana dari orangtua selama berdasarkan kesepakatan bersama, tidak ada pemaksaan kepada individu tertentu, dan pengelolaan yang transparan," ujar Hendrayadi.
Sementara Kepala Dinas Kesehatan Lombok Barat Rachman Sahnan Putra memaparkan, kerja sama antardinas dilakukan guna menyediakan makanan bergizi, sanitasi, air bersih, dan layanan kesehatan rutin di masyarakat. Apabila ada satu balita dengan gizi buruk, pihak rukun tetangga dan rukun warga harus terlibat memastikan keluarga tersebut memiliki pola makan yang baik.
Masalah gizi buruk di Lombok Barat dinilai bukan karena tidak mampu menyediakan pangan. Sejatinya mereka sangat mudah mengakses hasil tani di sekitar. Namun, pengetahuan mengenai pola makan sehat, aktivitas fisik, dan perilaku mementingkan makanan cepat saji merupakan alasan utama.
Pihaknya juga mengerahkan 61 tenaga ahki madya gizi untuk mendampingi posyandu di 122 desa. Total Lombok Barat memiliki 909 posyandu dengan 5.000 kader dari warga. "Pendidikan gizi di sekolah juga dilanjutkan dengan kelas rutin untuk istri dan suami di posyandu," tuturnya.