Penyerangan terhadap Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Wiranto menjadi pelajaran penting. Sudah saatnya prosedur pengamanan pejabat negara dievaluasi total.
Oleh
SHARON PATRICIA DAN INSAN ALFAJRI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kepolisian RI mengevaluasi prosedur pengamanan pejabat negara. Evaluasi dilakukan agar pengamanan bisa berjalan lebih efektif. Di sisi lain, evaluasi ini dibutuhkan sebagai antisipasi serangan teror terhadap mereka.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Brigadir Jenderal (Pol) Dedi Prasetyo menyatakan bahwa evaluasi tersebut dilakukan secara komprehensif. Polri akan membangun koordinasi dengan protokoler keamanan yang melekat pada pejabat tersebut. Menurut dia, tak mungkin membatasi pejabat publik yang ingin berinteraksi dengan masyarakat. ”Tetapi ketika interaksi itu terjadi, semuanya harus waspada,” kata Dedi, Jumat (11/10/2019), di Jakarta.
Rencana ini sejalan dengan gagasan yang diungkapkan pengajar Kajian Politik dan Keamanan Internasional dari Universitas Katolik Parahyangan, Idil Syawfi. Menurut Idil, sudah selayaknya pengamanan pejabat negara ditingkatkan. Sebab, sinyalemen adanya gangguan keamanan kepada mereka pernah terungkap sebelumnya.
”Kejadian ini sudah beberapa kali ada peringatan. Penanganan dan peningkatan keamanan seharusnya bukan project by project kejadian yang ada tetapi harus dilakukan berkelanjutan,” ujar Idil kepada Kompas.
Terlebih, menurut Idil, pelantikan presiden dan wakil presiden tinggal sembilan hari lagi, maka evaluasi terhadap standar operasional dan prosedur (SOP) pengamanan harus benar-benar maksimal. Sebab, bukan tidak mungkin sel-sel (teroris) lain juga akan menunjukkan eksistensinya.
Nama Wiranto sebelumnya pernah menjadi salah satu sasaran rencana pembunuhan dalam kerusuhan 21-22 Mei. Ini seharusnya menjadi perhatian untuk meningkatkan pengamanan. Berdasarkan catatan Kompas, dalam kerusuhan 21-22 Mei terdapat empat pejabat negara yang menjadi sasaran rencana pembunuhan. Selain Wiranto, nama lain yang disebut polisi terancam keselamatannya adalah Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut B Panjaitan, Kepala Badan Intelijen Negara Budi Gunawan, dan Staf Khusus Presiden Bidang Intelijen dan Keamanan Gories Mere.
Gerak-gerik
Polri sebenarnya sudah mengetahui gerak-gerik terduga teroris itu. Hasil pemantauan Detasemen Khusus 88 Antiteror Mabes Polri, SA alias Abu Rara, dan istrinya, FA, belum memperlihatkan tanda-tanda akan melakukan teror.
Dedi menyatakan, ada lima tahapan dari pergerakan teroris, antara lain, berjaga-jaga, taklim umum, taklim khusus, i\'dad, dan amaliyah. Menurut dia, polisi baru bisa bertindak setelah terduga teroris memasuki fase i\'dad dan amaliyah. Dia menjelaskan, i\'dad merupakan persiapan dan latihan-latihan rutin menjelang amaliyah. Memasuki fase amaliyah, sasaran dan metode yang akan digunakan teroris sudah ditentukan.
Serangan terhadap Wiranto di Alun-alun Kecamatan Menes, Pandeglang, Banten, merupakan reaksi spontan Abu Rara dan istrinya ketika mengetahui ada pejabat publik yang berkunjung ke sana. Dari pantauan sebelumnya oleh Densus 88 Antiteror, tidak ada tanda-tanda kedua pelaku akan melakukan amaliyah (aksi teror).
”Baru di tahap 4 dan 5 Polri, dengan menggunakan bukti permulaan yang cukup, Polri melakukan penegakan hukum. Sebelum itu, kami masih monitoring karena belum ada bukti pendukung yang cukup untuk melakukan kejahatan,” kata Dedi Prasetyo.
Setelah diperiksa penyidik, kata Dedi, baru diketahui bahwa tindakan Abu Rara merupakan respons setelah mengetahui pemimpinnya, Abu Zee, koordinator Jamaah Ansharut Daulah (JAD) Bekasi, ditangkap pada September lalu. Sebelum ditangkap, Abu Zee adalah orang yang menikahkan Abu Rara dan istrinya. Abu Rara juga pernah berkomunikasi dengan Abu Zee melalui media sosial.
”Abu Rara takut, stres, dan tertekan setelah mendengar Abu Zee tertangkap. Makanya ia langsung mengajak istri melakukan amaliyah,” katanya. Selain Wiranto, Kepala Kepolisian Sektor Menes Komisaris Dariyanto dan seorang lainnya, yaitu Fuad, juga mengalami luka tusuk.
Selain terpantau oleh Densus 88 Antiteror, Badan Intelijen Negara (BIN) juga sudah memantau Abu Rara sejak tiga bulan lalu. Ia juga teridentifikasi mengumpulkan senjata tajam. ”Belum tahap merakit bom, pola penyerangannya masih sebatas senjata tajam,” kata Kepala BIN Budi Gunawan (Kompas, 11/10/2019).
Pengamat militer dan pertahanan Salim Said mempertanyakan kinerja intelijen dalam mengawasi gerak-gerik jaringan teroris. ”Apakah BIN benar memiliki data yang pasti? Kalau ada informasi dari BIN bahwa penusuk ini terafiliasi dengan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS), kenapa kok bisa terjadi kebobolan? Yang ditikam ini enggak main-main lho, Kepala Keamanan Indonesia. Saya bertanya saja,” ujarnya.
Salim pun menyoroti adanya perubahan pola penyerangan dari pengeboman di tengah masyarakat sipil ke arah penusukan pejabat negara. Persoalannya, apa yang terjadi di masyarakat sehingga memunculkan radikalisme dalam bentuk fisik. ”BIN harus mempelajari dan menganalisis persoalan ini dengan baik. Kalau tidak, pejabat negara akan terus-menerus menjadi sasaran. Jangan dipolitisasi,” ujar Salim.